‘Ied
“lebaran” merupakan hari berbahagia dan bersuka cita bagi kaum muslimin
di seluruh penjuru dunia. Kegembiraan ini nampak di wajah,tindak-tanduk
dan kesibukan mereka. Orang yang dulunya berselisih dan saling benci,
pada hari itu saling mema’afkan. Ibu-ibu rumah tangga sibuk membuat
berbagai macam kue, ketupat, makanan yang akan dihidangkan kepada para
tamu yang akan berdatangan pada hari ied. Bapak-bapak sibuk belanja baju
baru buat anak dan keluarganya. Para pekerja dan penuntut ilmu yang ada
diperantauan nun jauh di negeri orang sibuk menghubungi keluarga
mereka, entah lewat surat atau telepon.
Di
balik kesibukan dan kegembiraan ini, terkadang mengantarkan sebagian
manusia lalai untuk mempersiapkan apa yang mereka harus kerjakan di hari
Ied. Diantaranya, seperti berikut ini
1. Dianjurkan mandi sebelum berangkat ke musholla (Lapangan).
Seorang
di hari ied disunnahkan untuk bersuci dan membersihkan diri agar bau
tak sedap tidak mengganggu saudara kita yang lain ketika sholat dan
bertemu. Ini berdasarkan atsar dari
Ali bin Abi Tholib Radhiyallahu anhu pernah ditanya tentang mandi, maka beliau menjawab,
يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَيَوْمَ عَرَفَةَ وَيَوْمَ النَّحْرِ وَيَوْمَ الْفِطْرِ
“(Mandi seyogyanya dilakukan) di hari Jum’at, hari Arafah (wuquf), hari Iedul Adh-ha, dan hari Iedul Fitri“. [HR.Asy-Syafi’i dalam Al-Musnad (114), dan Al-Baihaqy (5919)]
2. Memakai Pakaian yang Bagus dan Berhias dengannya
Diantara
bentuk kegembiraan seorang muslim, dia mempersiapkan dan memakai
pakaian baru di hari raya iedul Fitri dan iedul Adhha. Ketahuilah,
Sunnah ini diambil dari hadits Ibnu Umar , ia berkata:
أَخَذَ
عُمَرُ جُبَّةً مِنْ إِسْتَبْرَقٍ تُبَاعُ فِيْ السُّوْقِ فَأَخَذَهَا
فَأَتَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ
يَارَسُولَ اللهِ اِبْتَعْ هَذِهِ تَجَمَّلْ بِهَا لِلْعِيْدِ
وَالْوُفُوْدِ
” Umar
mengambil jubah dari sutera yang dijual di pasar. Diapun mengambilnya
lalu dibawa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam seraya
berkata: [" Ya Rasulullah, Belilah ini agar engkau bisa berhias
dengannya untuk hari ied dan para utusan …"] ” [HR.Al-Bukhory dalam Shohih-nya (906), Muslim dalam Shohih-nya (2068)]
Al-Allamah Asy-Syaukani -Rahimahullah- berkata dalam Nail Al-Author (3/349),” Segi
pengambilan dalil dari hadits ini tentang disyari’atkannya berhias di
hari ied adalah adanya taqrir Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bagi
Umar atas dasar bolehnya berhias di hari ied, dan terpokusnya
pengingkaran beliau atas orang yang memakai sejenis pakaian tersebut,
karena ia dari sutera”.
3. Di hari Iedul Fithri Disunnahkan Makan Sebelum ke Musholla (Lapangan)
Sebelum
berangkat ke musholla (dalam hal ini: lapangan), maka dianjurkan makan
–utamanya kurma- sebagaimana ini dilakukan oleh Nabi kita Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wassalam pada hari iedul fitri. Adapun iedul Adhha,
maka sebaliknya seseorang dianjurkan makan setelah sholat ied agar
nantinya bisa mencicipi hewan kurbannya.
Buraidah –Radhiyallahu- anhu berkata:
كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفِطْرِ لَا
يَخْرُجُ حَتَّى يَطْعَمَ وَيَوْمَ النَّحْرِ لَا يَطْعَمُ حَتَّى يَرْجِعَ
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam tidaklah keluar di hari iedul Fithri sampai beliau makan, dan pada hari iedul Adh-ha beliau tak makan sampai beliau kembali”. HR. Ibnu Majah dalam As-Sunan (1756). Di-hasan-kan oleh Syu’aib Al-Arna’uth dalam Takhrij Al-Musnad (5/352/no.23033)
Al-Muhallab bin Abi Shofroh – Rahimahullah – berkata,”Hikmahnya
makan sebelum sholat ied adalah agar orang tidak menyangka wajibnya
puasa sampai usai sholat ied. Seakan Nabi r hendak menepis persangkaan
itu” . [Lihat Fath Al-Bari (2/447)]
Diantara
hikmahnya agar masih ada waktu mengeluarkan shodaqoh di waktu-waktu
yang cocok dan sangat dibutuhkannya oleh para faqir-miskin.
Ibnul Munayyir Rahimahullah- berkata: “Nabi
Shallallahu ‘alaihi wassalam makan di dua hari ied pada waktu yang
masyru’ (disyari’atkan) agar bisa mengeluarkan shodaqoh khusus bagi ied
tersebut. Maka waktu mengeluarkan shodaqoh ied fithri sebelum berangkat
(ke musholla), dan waktu mengeluarkan shodaqoh kurban setelah
disembelih. Jadi, keduanya bersatu pada satu sisi, dan berbeda pada sisi
yang lain.“. [Lihat Fath Al-Bari (2/448)]
4.Bertakbir Menuju Lapangan
Mengumandangkan
takbiran saat menuju musholla merupakan sunnah yang dilakukan pada dua
hari raya kaum muslimin. Sunnah ini dilakukan bukan Cuma saat keluar
dari rumah, bahkan terus dilakukan dengan suara keras sampai tiba di
lapangan. Setelah tiba di lapangan, tetap bertakbir sampai imam datang memimpin sholat ied. Inilah sunnahnya !
Ada suatu riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam : “Bahwa
beliau keluar di hari iedul Fithri seraya bertakbir sampai tiba di
musholla (lapangan) dan sampai usai sholat. Jika usai sholat, beliau
hentikan takbir“. HR.Ibnu
Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (2/165) dan Al-Firyabi dalam Ahkam
Al-Iedain (95).Lihat juga Silsilah Ahadits Ash-Shohihah (171)]
Dalam riwayat lain, Ibnu Umar Radhiyallahu berkata,
أَنَّ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْرُجُ فِيْ
الْعِيْدَيْنِ مَعَ الْفَضْلِ بْنِ عَبَّاسٍ وَعَبْدِاللهِ وَالْعَبَّاسِ
وَعَلِيٍ وَجَعْفَرٍ وَأُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ وَزَيْدٍ بْنِ حَارِثَةَ
وَأَيْمَنَ بْنِ أُمِّ أَيْمَنَ رَافِعًا صَوْتَهُ بِالتَّهْلِيْلِ
وَالتَّكْبِيْرِ
“Nabi
Shallallahu ‘alaihi wassalam keluar di dua hari raya bersama Al-Fadhl
bin Abbas, Abdullah, Al-Abbas, Ali, Ja’far, Al-Hasan,Al- Husain , Usamah
bin Zaid, Zaid bin Haritsah, dan Aiman bin Ummi Aiman sambil mengangkat
suaranya bertahlil dan bertakbir“. [HR.Al-Baihaqy dalam As-Sunan Al-Kubro (3/279) dan dihasankan oleh Al-Albany dalam Al-Irwa’ (3/123)
Jadi,
disyari’atkan di hari ied saat hendak keluar ke lapangan untuk
mengumandangkan takbir dengan suara keras berdasarkan kesepakatan empat
Imam madzhab. Tapi tidak dilakukan secara berjama’ah.[Lihat Majmu’
Al-Fatawa 24/220]
Muhaddits
Negeri Syam, Muhammad Nashiruddin Al-Albany-rahimahullah berkata dalam
Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah (1/281) ketika mengomentari hadits
pertama di atas,” Dalam hadits ini terdapat dalil disyari’atkannya
sesuatu yang telah dilakukan oleh kaum muslimin berupa adanya takbir
dengan suara keras di jalan-jalan menuju musholla. Sekalipun kebanyakan
di antara mereka sudah mulai meremehkan sunnah ini sehingga hampir
menjadi tinggal cerita belaka. Itu disebabkan lemahnya dasar agama
mereka serta canggungnya mereka menampakkan sunnah“.
Tentang
lafazh takbir, tak ada yang shohih datangnya dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wassalam . Akan tetapi disana ada beberapa atsar yang shohih
datangnya dari para sahabat Radhiyallahu anhum ajma’in.
Dari sahabat Ibnu Mas’ud, beliau mengucapkan:
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ لَاإِلَهَ إِلَّااللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
[HR.Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (2/168) dengan sanad yang shohih]
Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhu-, beliau mengucapkan:
اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ اَللهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ اَللهُ أَكْبَرُ عَلَى مَا هَدَانَا
[HR.Al-Baihaqy dalam As-Sunan Al-Kubro (3/315) dengan sanad yang shohih.]
Salman Al-Farisy, beliau mengucapkan :”Bertakbirlah :
اَللهُ أَكْبَرُاَللهُ أَكْبَرُاَللهُ أَكْبَرُكَبِيْرًا
[HR.Al-Baihaqy dalam As-Sunan Al-Kubro (3/316) dengan sanad yang shohih.]
Adapun
tambahan yang diberikan oleh orang-orang di zaman kita pada lafazh
takbir, maka semua itu merupakan buatan orang-orang belakangan, tak ada
dasarnya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Asy-Syafi’i -rahimahullah-berkata dalam Al-Fath (2/536), “Di zaman ini telah diciptakan semacam tambahan pada masalah (lafazh takbir) itu yang tak ada dasarnya“.
Waktu
takbiran di hari raya iedul Adhha mulai waktu fajar hari Arafah
(tanggal 9 Dzulhijjah) sampai akhir hari Tasyriq (13 Dzulhijjah). Inilah
madzhab Jumhur salaf dan ahli fiqh dari kalangan sahabat dan lainnya.
[Lihat Majmu’ Al-Fatawa (24/220)]
Sebagian orang mengkhususkannya takbiran sehabis sholat. Tapi ini tak ada dalilnya. Ini dikuatkan dengan sebuah atsar :”Ibnu
Umar bertakbir di Mina pada hari-hari itu –tasyriq,pen-, seusai sholat,
di atas tempat tidur, dalam tenda, majlis, dan waktu berjalan pada
semua hari-hari tersebut “. [HR.Al-Bukhory dalam Ash-Shohih (1/330)]
5.Disyari’atkan Wanita dan Anak Kecil Ikut ke Lapangan
Di
hari ied wanita-walaupun ia haid- dan anak-anak kecil disyari’atkan
untuk keluar menyaksikan sholat dan doanya kaum muslimin. Ummu Athiyyah
berkata:
أَمَرَنَا
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِيْ
الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَ ذَوَاتِ الْخُدُوْرِ .
فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ
وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِيْنَ قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ إِحْدَانَا لَا
يَكُوْنُ لَهَا جِلْبَابٌ؟ قَالَ: لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ
جِلْبَابِهَا
“Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan kami mengeluarkan para
wanita gadis, haidh, dan pingitan. Adapun yang haidh , maka mereka
menjauhi sholat, dan menyaksikan kebaikan dan dakwah/doanya kaum muslimin.Aku
berkata: ” Ya Rasulullah, seorang di antara kami ada yang tak punya
jilbab”. Beliau menjawab: “Hendaknya saudaranya memakaikan (meminjamkan)
jilbabnya kepada saudaranya“. [Al-Bukhory dalam Ash-Shohih (971) dan Muslim dalam Ash-Shohih (890)]
Al-Hafizh Ibnu Hajar Asy-Syafi’i -rahimahullah- berkata dalam Fath Al-Bari (2/470), “Di
dalamnya terdapat anjuran keluarnya para wanita untuk menyaksikan dua
hari raya, baik dia itu gadis, ataupun bukan; baik dia itu wanita
pingitan ataupun bukan“. Bahkan sebagian ulama’ mewajibkan.
6.Mencari Jalan lain Ketika Pulang ke Rumah
Disunnahkan
mencari jalan lain ketika selesai melaksanakan sholat ied. Artinya
ketika ia pergi ke musholla mengambil suatu jalan, dan ketika pulang ke
rumah di mencari jalan lain dalam rangka mencontoh Nabi Shallallahu
‘alaihi wassalam .
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berkata :
كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ إِلىَ الْعِيْدِ
رَجَعَ فِيْ غَيْرِ الطَّرِيْقِ الَّذِيْ خَرَجَ فِيْهِ
“Nabi Shollallahu ‘alaihi wasallam- jika keluar ied, beliau kembali pada selain jalan yang beliau tempati keluar“. [HR.Ibnu Majah dalam As-Sunan (1301). Lihat Shohih Ibnu Majah (1076) karya Al-Albaniy]
Berjalan Menuju dan Kembali dari Musholla (lapangan)
Pada
hari ied di sunnahkan berjalan menuju musholla untuk melaksanakan
sholat ied. Demikian pula ketika kembali ke rumah. Tapi ini jika
mushollanya dekat sehingga orang tak berat jalan menuju musholla. Adapun
jika jauh atau perlu sekali, maka tak masalah.
Ali bin Abi Tholib-Radhiyallahu anhu- berkata:
مِنَ السُّنَّةِ أَنْ تَخْرُجَ إِلَى الْعِيْدِ مَاشِيًا
“Diantara sunnah, kamu keluar menuju ied sambil jalan“. [HR.At-Tirmidzy dalam As-Sunan (2/410); di-hasan-kan Al-Albany dalam Shohih Sunan At-Tirmidzy (530)]
Abu ‘Isa At-Tirmidzy- rahimahullah-berkata dalam Sunan At-Tirmidzy (2/410), “Hadits ini di amalkan di sisi para ahli ilmu. Mereka menganjurkan seseorang keluar menuju ied sambil jalan“.
7.Bersegera (Cepat Berangkat) Melaksanakan Sholat Ied
Demikian
pula bersegera berangkat menuju musholla untuk menunaikan sholat ied.
Perkara ini dianjurkan agar setiap orang mengambil tempat dan banyak
mengumandangkan takbir sampai keluarnya memimpin sholat ied.
Setelah
tiba di musholla (lapangan) seseorang tidak dianjurkan sholat sebelum
dan setelah sholat ied; juga tidak disunnahkan melakukan adzan dan
iqomat, karena Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- kita tak pernah
melakukan hal itu kecuali jika sholat iednya di masjid ia harus sholat
dua raka’at tahiyyatul masjid.
Ibnu Abbas berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى يَوْمَ الْفِطْرِ رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلَا بَعْدَهَا
“Nabi
Shallallahu ‘alaihi wassalam melaksanakan sholat iedul fithri sebanyak
dua raka’at, namun beliau tidak sholat sebelum dan sesudahnya“. [HR.Al-Bukhory dalam Ash-Shohih (989)]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Walhasil,
sholat ied tidak terbukti memiliki sholat sunnah sebelum dan
setelahnya, berbeda dengan orang yang meng-qiyas-kannya dengan sholat
jum’at“. [Lihat Fath Al-Bari (2/476)]
Jabir bin Samurah -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
صَلًَّيْتُ
مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيْدَيْنِ
غَيْرَ مَرَّةٍ وَلَا مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ
“Aku
telah melaksanakan sholat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam -bukan Cuma sekali dua kali saja- tanpa adzan dan iqomat”.
Al-Allamah Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah – rahimahullah- berkata, “Nabi
Shallallahu ‘alaihi wassalam jika tiba di musholla, beliau memulai
sholat, tanpa ada adzan dan iqomah; tidak pula ucapan, “Ash-Sholatu
jami’ah”. Sunnahnya, tidak dilakukan semua itu“. [Lihat Zaadul Ma’ad (1/441)]