Para
ahli fiqih (fuqaha) berbeda pendapat tentang kafa’ah (kufu) dalam
pernikahan, namun yang benar sebagaimana dijelaskan Ibnul Qayyim dalam
Zaadul Ma‘ad (4/22), yang teranggap dalam kafa’ah adalah perkara dien
(agama). Beliau t berkata tentang permasalahan ini diawali dengan
menyebutkan beberapa ayat Al Qur’an, di antaranya :
“Wahai
sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki
dan perempuan dan Kami jadikan kalian bersuku-suku dan
berkabilah-kabilah agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (Al Hujurat: 13)
“Orang-orang beriman itu adalah bersaudara.” (Al Hujurat: 10)
“Kaum mukminin dan kaum mukminat sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain.” (At Taubah: 71)
“Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik…” (An Nur: 26)
Kemudian beliau lanjutkan dengan beberapa hadits, di antaranya sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassallam:
“Tidak
ada keutamaan orang Arab dibanding orang ajam (non Arab) dan tidak ada
keutamaan orang ajam dibanding orang Arab. Tidak pula orang berkulit
putih dibanding orang yang berkulit hitam dan sebaliknya orang kulit
hitam dibanding orang kulit putih, kecuali dengan takwa. Manusia itu
dari turunan Adam dan Adam itu diciptakan dari tanah”.
Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda kepada Bani Bayadlah: “Nikahkanlah wanita kalian dengan Abu Hindun”.
Maka merekapun menikahkannya sementara Abu Hindun ini profesinya sebagai tukang bekam.
Nabi
Shalallahu ‘alaihi wassalam sendiri pernah menikahkan Zainab bintu
Jahsyin Al Qurasyiyyah, seorang wanita bangsawan, dengan Zaid bin
Haritsah bekas budak beliau. Dan menikahkan Fathimah bintu Qais Al
Fihriyyah dengan Usamah bin Zaid, juga menikahkan Bilal bin Rabah dengan
saudara perempuan Abdurrahman bin `Auf.
Dari
dalil yang ada dipahami bahwasanya penetapan Nabi Shalallahu ‘alaihi
wassalam dalam masalah kufu adalah dilihat dari sisi agama. Sebagaimana
tidak boleh menikahkan wanita muslimah dengan laki-laki kafir, tidak
boleh pula menikahkan wanita yang menjaga kehormatan dirinya dengan
laki-laki yang fajir (jahat/jelek).
Al
Qur’an dan As Sunnah tidak menganggap dalam kafa’ah kecuali perkara
agama, adapun perkara nasab (keturunan), profesi dan kekayaan tidaklah
teranggap. Karena itu boleh seorang budak menikahi wanita merdeka dari
turunan bangsawan yang kaya raya apabila memang budak itu seorang yang
‘afif (menjaga kehormatan dirinya) dan muslim. Dan boleh pula wanita
Quraisy menikah dengan laki-laki selain suku Quraisy, wanita dari Bani
Hasyim boleh menikah dengan laki-laki selain dari Bani Hasyim. (Zaadul
Ma‘ad, 4/22) .