Pengetahuan
tentang najis sangat penting bagi seorang muslim karena berkaitan erat
dengan ibadah. Jangan sampai karena ketidaktahuannya, benda yang
sebenarnya hanya kotoran biasa dianggap najis dan sebaliknya menganggap
remeh benda-benda yang dianggap najis oleh syariat.
Najis
merupakan hal yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan
harus diperhatikan keberadaannya khususnya oleh seorang muslim karena
berkaitan dengan ibadahnya kepada Allah Subhanahu wa ta`ala. Contoh yang
paling mudah, ketika seseorang hendak menegakkan shalat, ia harus
memperhatikan kesucian diri dan tempat shalatnya dari hadats maupun
najis.
Namun
sangat disayangkan, berapa banyak kaum muslimin yang belum mengetahui
dengan benar masalah najis ini – walaupun sebenarnya permasalahan ini
telah banyak dibahas oleh para ulama, baik dari sisi pengertian maupun
penjelasan macam-macamnya secara rinci. Terkadang sesuatu yang najis
disangka sebagai sesuatu yang bukan najis. Pada kali yang lain, sesuatu
yang sebetulnya tidak najis berusaha dihindari karena disangka najis.
Keadaan ini adalah kenyataan pahit yang kita dapati dalam kehidupan kaum
muslimin.
Agama
kita yang sempurna telah menjelaskan dengan lengkap dan rinci tentang
najis ini. Para ulama telah menerangkan bahwa najis adalah kotoran yang
wajib dijauhi oleh seorang muslim dan harus dibersihkan apabila mengenai
sesuatu. Di antara macam-macam najis tersebut ada yang disepakati oleh
para ulama bahwa perkara itu adalah najis, dan ada pula yang
diperselisihkan tentang kenajisannya, apakah hal itu termasuk sesuatu
yang najis atau bukan. Untuk itu dengan izin Allah ta`ala, kita akan
mengupasnya satu per satu.
Kali ini kami akan menjelaskan terlebih dahulu hal-hal yang disepakati oleh para ulama sebagai najis sepanjang pengetahuan kami dengan ilmu yang kami miliki.
1. Kotoran (tahi) dan kencing manusia
Najisnya
kotoran manusia diisyaratkan dalam hadits yang diriwayatkan dari
sahabat yang mulia, Abu Sa’id al-Khudri radliyallahu‘anhu. Beliau
menceritakan bahwasanya Rasulullah ‘alaihish Shalatu Wasallam pernah
shalat bersama para shahabatnya dalam keadaan mengenakan sandal namun
tiba-tiba beliau melepas sandalnya dan meletakkannya di sebelah kiri
beliau dan perbuatan ini diikuti oleh para shahabat. Ketika selesai
shalat beliau mempertanyakan perbuatan para shahabatnya tersebut dan
memberitahukan alasan beliau melepas sandal karena Jibril mengabarkan
bahwa di sandal beliau ada kotoran dan beliau bersabda:
Apabila
salah seorang dari kalian datang ke masjid, hendaklah dia membalikkan
dan melihat sandalnya. Apabila ia melihat ada kotoran (tahi) padanya,
hendaknya digosokkan ke tanah kemudian dipakai untuk shalat.”
(Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan berkata Syaikh Muqbil rahimahullah
tentang hadits ini dalam karya beliau al-Jami’ush Shahih Mimma Laysa
fish Shahihain juz 1, hal. 526: Ini adalah hadits shahih, rijalnya (para
periwayatnya) adalah rijal Shahih al-Bukhari)
Adapun
najisnya kencing manusia dijelaskan dalam hadits Ibnu Abbas
radliyallahu‘anhuma yang diriwayatkan di dalam Shahihain (Shahih
al-Bukhari dan Shahih Muslim) tentang dua orang penghuni kubur yang diazab. Dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam :
Adapun salah satu dari keduanya tidak membersihkan dirinya dari kencingnya. (HR. Bukhari no. 216, 218, 1361, 1378 dan Muslim no. 292)
Masalah
kenajisan kotoran dan kencing manusia ini banyak ataupun sedikit-
disepakati oleh ulama. Adapun Abu Hanifah dalam masalah kencing beliau
berpendapat, jika didapati kencing setitik jarum, maka ini tidak memudharatkan.
Namun sebagaimana diterangkan di atas, kencing manusia baik banyak
ataupun sedikit adalah najis, dengan dalil yang jelas dan terang, serta
merupakan kesepakatan ulama sebagaimana disebutkan Imam Nawawi
rahimahullah dalam Syarh Muslim. Sedangkan apa yang datang dari Abu
Hanifah adalah pendapat yang tertolak.
Lain
halnya dengan kencing anak kecil laki-laki yang masih menyusu dan belum
makan makanan tambahan kecuali kurma untuk tahnik (tahnik adalah
mengunyah sesuatu -dalam hal ini kurma- sampai lumat kemudian
dimasukkan/digosok-gosokkan ke langit-langit mulut bayi yang baru lahir)
dan madu untuk pengobatan. Kebanyakan para ibu mengatakan bahwa itu
bukan najis sehingga mereka bermudah-mudah dalam hal ini.
Walaupun
memang di sana ada perselisihan ulama dalam masalah najisnya kencing
anak laki-laki yang dalam keadaan seperti ini, akan tetapi pendapat yang
kuat menyatakan bahwa kencing anak laki-laki yang masih menyusu dan
belum makan makanan tambahan itu najis, sebagaimana dinyatakan Imam
Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim, namun najisnya ringan. Dalil
keringanannya diisyaratkan dengan ringannya cara membersihkannya seperti
dalam hadits Ummu Qais bintu Mihshan yang diriwayatkan oleh Imam
al-Bukhari (no. 223) dan Imam Muslim (no.287) :
Ummu
Qais bintu Mihshan al-Asadiyah membawa anaknya yang masih kecil dan
belum makan makanan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu
Rasulullah mendudukkan anak itu di pangkuannya. Kemudian anak itu
kencing di baju beliau. Maka Rasulullah meminta air dan mengguyurkannya
ke bajunya (hingga air menggenangi bekas kencing tersebut) dan tidak
mencucinya. (Dalam lafaz lain: lalu beliau menuangkan air ke atas bekas
kencing tersebut).
Walaupun
najis tersebut ringan, namun masih tetap harus dibersihkan dengan
mengguyurkan air padanya sesuai dengan apa yang bisa kita lihat pada
hadits di atas.
Adapun
dalam masalah kotoran dan kencing hewan, kita akan mendapatkan adanya
perselisihan di kalangan ulama. Diantara mereka ada yang mengatakan
bahwa kotoran hewan – baik yang dimakan dagingnya maupun tidak adalah
najis, sebagaimana pendapat jumhur ulama dan Syafi’i. Sebagian yang lain
berpendapat, yang najis hanya kotoran hewan yang tidak dimakan
dagingnya. Sementara pendapat yang lain dari kalangan ulama dan –
wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab – ini adalah pendapat yang kuat, pada
asalnya semua kotoran hewan suci, kecuali ada nash yang mengatakan
najis, maka barulah dikatakan najis. Ini merupakan pendapat Ibnul
Mundzir, dan dinukilkan oleh Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarhul
Muhadzdzab bahwa ini adalah perkataan Dawud azh-Zhahiri, Ibrahim
an-Nakha’i dan asy-Sya’bi. Pendapat ini juga didukung oleh al-Imam
Asy-Syaukani di dalam kitab-kitab beliau, diantaranya Nailul Authar dan
ad-Daraari.
Dengan
apa yang telah diterangkan di atas, maka jelaslah bahwa tidak semua
yang kotor pada wujudnya itu najis, kecuali ada nash yang menerangkan
kenajisannya. Misalnya tahi cicak, tidak ada nash yang menunjukkan
kenajisannya, maka itu bukan najis. Namun bila dikatakan kotoran
(sesuatu yang kotor) maka tahi cicak itu memang termasuk kotoran.
Hal lain yang berkaitan dengan masalah ini adalah kencing unta. Sebagaimana kita ketahui, kencing unta adalah kotoran,
namun bukan najis. Bahkan didapati riwayat dari Anas bin Malik
radliyallahu‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam memerintahkan untuk minum air kencing unta, sebagaimana termaktub dalam Shahihain (Shahih Bukhari no. 233) dan Shahih Muslim no. 1671) dan lainnya :
Sekelompok
orang dari Bani ‘Akl atau Bani ‘Urainah datang menemui Nabi namun
mereka merasa tidak betah tinggal di Madinah karena sakit yang menimpa
mereka maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar
didatangkan seekor unta betina yang banyak susunya dan menyuruh mereka
minum air kencing dan susunya. Lalu mereka beranjak melakukannya. Ketika
telah sehat, mereka membunuh penggembala ternak Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam dan meminum susu ternak itu. Datanglah berita tentang
peristiwa itu menjelang siang sehingga Rasulullah memerintahkan untuk
mengikuti jejak mereka. Pada siang harinya mereka didatangkan ke hadapan
Nabi, lalu beliau memerintahkan agar dipotong tangan dan kaki mereka,
dicungkil matanya, dan dilemparkan ke tengah padang pasir yang panas.
Mereka meminta-minta minum, namun tidak diberi minum.
2. Madzi
Madzi adalah cairan yang hampir mirip dengan mani.
Bedanya, madzi lebih tipis (encer) dan tidak pekat. Keluarnya madzi ini
tidak terasa dan keluar ketika seseorang bersyahwat sebelum dia
bercampur dengan istrinya (jima’) atau di luar jima’.
Kaum muslimin bersepakat bahwa madzi itu najis,
sebagaimana dinukilkan Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’. Juga datang
dalil yang menunjukkan najisnya madzi dalam hadits yang dikeluarkan oleh
Imam Bukhari (hadits no. 269) dan Imam Muslim (hadits no. 303)
rahimahumallah dari hadits ‘Ali radliyallahu ‘anhu ketika ‘Ali menyuruh
seorang shahabi, Miqdad ibnul Aswad, untuk menanyakan tentang madzi ini
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Beliau menjawab :
Hendaknya dia mencuci kemaluannya dan berwudhu.
Ibnu Daqiqil ‘Id rahimahullah mengatakan dalam Ihkamul Ihkam: “Dari
hadits ini diambil dalil tentang najisnya madzi, di mana Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wasallam memerintahkan untuk mencuci kemaluan yang
terkena madzi tersebut.”
Satu
hal yang perlu kita ketahui, madzi ini menimpa laki-laki maupun wanita,
namun lebih sering dan kebanyakan terjadi pada wanita seperti yang
dikatakan Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim.
3. Wadzi
Wadzi adalah cairan yang keluar setelah kencing atau saat mengejan setelah buang air besar.
Hukum wadzi sama dengan madzi atau kencing, yaitu najis. Bahkan Imam
an-Nawawi rahimahullahu ta’ala di dalam kitab beliau al-Majmu menukilkan
ijma’ (kesepakatan) bahwa wadzi itu najis. Beliau mengatakan, “Telah bersepakat umat ini tentang najisnya madzi dan wadzi.”
4. Darah Haid dan Nifas
Darah
haid dan nifas adalah dua hal yang secara umum dijumpai oleh kaum
wanita. Namun mungkin ada di kalangan mereka yang belum mengetahui,
apakah darah haid dan nifas termasuk najis atau bukan, sementara ini
adalah perkara yang sangat penting bagi mereka.
Telah
datang dalil yang menunjukkan kenajisan darah haid dalam hadits Asma’
bintu Abi Bakr radliyallahu ‘anha. Beliau menceritakan :
Seorang wanita bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia berkata, “Ya
Rasulullah, jika salah seorang dari kami terkena darah haid pada
pakaiannya, apa yang harus ia lakukan?” Maka Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wasallam bersabda, “Apabila darah haid mengenai pakaian salah
seorang dari kalian, hendaknya dia mengeriknya lalu membasuhnya,
kemudian ia shalat memakai pakaian tersebut.” (Hadits shahih, diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari no. 330, 331 dan Muslim no.110 )
Berkata Imam As Shan`ani rahimahullah di dalam Subulus Salam setelah membawakan hadits di atas: “Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan najisnya darah haid“.
Kaum
muslimin sendiri telah bersepakat bahwa darah haid itu najis dengan
nash yang ada ini dan Imam an-Nawawi menukilkan adanya ijma` dalam hal
ini. Adapun darah nifas, hukumnya sama dengan darah haid.
5. Bangkai
Begitu
pula halnya dengan bangkai, ulama sepakat tentang kenajisannya
sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid,
juga Imam Nawawi dalam Al Majmu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda :
Apabila kulit telah disamak maka itu merupakan pensuciannya. (HR. Muslim no. 105)
Dari
hadits di atas dipahami bahwa kulit hewan yang telah mati (bangkai) itu
najis sehingga bila ingin disucikan harus disamak terlebih dahulu.
Apabila kulitnya saja dihukumi najis maka tentunya bangkainya lebih
utama lagi untuk dihukumi akan kenajisannya.
Dikecualikan dari bangkai ini adalah :
1. Bangkai manusia dengan keumumam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam:
Sesungguhnya mukmin itu tidak najis. (HR. Bukhari no. 283 dan Muslim no. 371)
2. Bangkai hewan laut dengan dalil firman Allah ta`ala :
Dihalalkan bagi kalian binatang buruan dari laut dan makanan dari hasil laut… (Al Maidah : 96)
Imam
Thabari menukilkan dari Ibnu Abbas rahimahumullah tafsir dari ayat di
atas, yakni yang dimaksud dengan صَيْدُهُ adalah binatang laut itu
diambil dalam keadaan hidup dan طَعَامُهُ adalah binatang itu diambil
dalam keadaan mati (telah menjadi bangkai) .
Dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda :
Laut itu suci airnya dan halal bangkainya. (Hadits shahih diriwayatkan Ashabus Sunan dan dishahihkan Syaikh Albani dalam kitab beliau Ash Shahihah 1/480)
3. Setiap hewan yang tidak memiliki darah yakni
darahnya tidak mengalir ketika hewan itu dibunuh atau terluka seperti
lalat, belalang, kalajengking dan lainnya. Berdalil dengan hadits :
Apabila
jatuh lalat dalam bejana salah seorang dari kalian maka hendaklah ia
mencelupkan lalat tadi ke dalam air kemudian dibuangnya. (HR. Bukhari no. 3320)
Imam Ash Shan`ani rahimahullah berkata: “Dimaklumi
bahwa lalat akan mati apabila jatuh ke dalam air ataupun makanan
terlebih lagi apabila makanannya dalam keadaan panas. Maka sendainya
lalat itu menajisi makanan tersebut niscaya makanan tersebut rusak
sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam memerintahkan untuk
memperbaiki makanan yang ada, tidak merusakkannya“. (Subulus Salam)
Ketiga point di atas sebenarnya
ada perselisihan pendapat tentang kenajisannya, namun pendapat yang
kuat dengan dalil yang ada, ketiganya bukanlah najis, wallahu ta`ala
a`lam bishawwab.
Sudah
semestinya setiap muslim mengetahui perkara-perkara penting dalam
agamanya khususnya dalam pembahasan kita tentang najasat agar tidak
terjatuh dalam kekeliruan dan kesalahan yang dapat merusakkan ibadahnya
kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Wallahul muwaffiq lima yuriduhu ilashawab.
Dikutip dari: http://www.asysyariah.com Penulis : Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq al-Atsary Judul: NAJIS Mudah Dijumpai, Jarang Dikenali
Hukum Asal Segala Sesuatu Itu Suci
Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah :
- Setiap yang halal itu suci
- Setiap yang najis itu haram
- Tidaklah setiap yang haram itu najis (Asy Syarhul Mumti, 1/77)
Menyambung
pembicaraan kami dalam edisi terdahulu tentang pembahasan najis yang
sepanjang pengetahuan kami kenajisannya disepakati oleh ulama , maka
dalam edisi kali ini kami akan memaparkan apa-apa yang sepanjang
pengetahuan kami diperselisihkan masalah kenajisannya, disertai dengan
penjelasan mana yang rajih (kuat) dari perselisihan itu, apakah itu
najis atau bukan najis, wallahu al muwaffiq.
Air liur anjing
Telah
datang riwayat dalam shahihain dan selain keduanya dari kitab-kitab
hadits, menyebutkan hadits Abu Hurairah radliallahu anhu bahwasanya Nabi
shallallahu alaihi wasallam bersabda :
“Apabila anjing minum dari bejana salah seorang dari kalian hendaklah ia mencucibejana tadi sebanyak tujuh kali”.) (HR. Bukhari no. 172 dan Muslim no. 279)
Dalam riwayat Muslim ada tambahan :
“cucian yang pertama dicampur dengan tanah“.
Pencucian
yang disebutkan dalam hadits di atas menunjukkan najisnya air liur
anjing dan pendapat inilah yang rajih (kuat) sebagaimana yang dipegangi
oleh Abu Hanifah, Ats Tsauri, satu riwayat dari Ahmad, Ibnu Hazm,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan yang lainnya. Pendapat ini dikuatkan
pula oleh Syaukani di dalam kitab-kitabnya.
Sebagaimana
yang kami sebutkan di atas bahwa di dalam permasalahan najis yang kami
bahas di sini ada perselisihan, maka demikian juga masalah air liur
anjing ini. Di sana ada pula pendapat yang lain. Sebagian ahlul ilmu
berpendapat seluruh tubuh anjing itu najis. Ini merupakan pendapat
jumhur ulama dengan berdalil hadits yang telah disebutkan di atas.
Mereka mengatakan : “Karena air liur itu keluar dari mulut anjing
(yang dia itu najis) maka seluruh tubuhnya lebih utama lagi untuk
dihukumi kenajisannya“.
Dan
yang lainnya mengatakan air liur anjing bukan najis, adapun perintah
mencucinya adalah sekedar perkara ta`bbudiyah (ibadah) bukan karena
kenajisannya. Ini merupakan pendapat yang dipegangi Imam Malik dan yang
lainnya..
Mani
Ada dua pendapat dalam masalah mani ini.
Pendapat pertama mengatakan najis sedang pendapat kedua mengatakan yang
sebaliknya, mani itu suci. Yang kuat dalam hal ini adalah pendapat yang
mengatakan sucinya mani dan ini dipegangi oleh Imam Ahmad, Syafi`i dan
selain keduanya. Dan pendapat inilah yang rajih. Imam Nawawi
rahimahullah berkata: “Kebanyakan ulama berpendapat mani itu suci“. (Syarah Shahih Muslim juz 3, hal 198).
Mereka
berdalil dengan hadits Aisyah radliallahu anha yang hanya mengerik
bekas mani yang telah mengering pada pakaian Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam tanpa mencucinya. (sebagaimana diriwayatkan oleh Imam
Muslim dalam shahihnya no. 288, 290). Walaupun didapatkan pula riwayat
Aisyah radliallahu anha mencuci bekas mani yang menempel pada pakaian
beliau shallallahu ‘alaihi wasallam (sebagaimana diriwayatkan oleh
Bukhari dalam shahihnya no. 229, 230, 231, 232 dan Muslim no. 289)
Namun
kedua riwayat ini tidak saling bertentangan (riwayat mengerik atau
mencuci). Hal ini dikatakan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al Atsqalani
rahimahullah : “Hadits yang menunjukkan dicucinya bekas mani yang
menempel pada pakaian dan hadits yang menunjukkan dikeriknya mani
tersebut tidaklah saling bertentangan karena bisa dikumpulkan antara
keduanya dengan jelas bagi yang berpendapat sucinya mani. Hadits tentang
mencuci dibawa kepada hukum istihbab (disenanginya mencuci bekas mani
yang menempel pada pakaian) dalam rangka kebersihan bukan karena
kewajiban. Ini merupakan cara yang ditempuh oleh Imam Syafi`i, Ahmad dan
ashabul hadits “. (Fathul Bari juz 1 hal. 415)
Berkata
Imam Nawawi rahimahullah: “Seandainya mani itu najis niscaya tidak
cukup menghilangkannya dengan sekedar mengerik”. (“Syarah Shahih Muslim
juz 3, hal. 198)
Darah
Yang
kita maksudkan dalam pembahasan ini adalah selain darah haid dan nifas
yang disepakati kenajisannya sebagaimana telah kami paparkan dalam
pembahasaan terdahulu.. Memang dalam perkara ini juga terdapat
perselisihan namun yang rajih/kuat darah itu suci. Ada baiknya kita
menengok pembahasan yang dipaparkan Syaikh Albani rahimahullah: “(Mereka
yang berpendapat najisnya darah) juga menyelisihi hadits Al Anshari
yang dipanah oleh seorang musyrik ketika ia sedang shalat malam. Maka ia
mencabut anak panah yang menancap di tubuhnya. Lalu ia dipanah lagi
dengan tiga anak panah, namun ia tetap melanjutkan shalatnya dalam
keadaan darah terus mengucur dari tubuhnya, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara mu`allaq (terputus sanadnya dari
Imam Bukhari sampai kepada perawi hadits) dan secara maushul (bersambung
sanadnya) oleh Imam Ahmad dan selainnya, dishahihkan dalam “Shahih
Sunan Abu Daud” (no. 193). Hadits ini dihukumi marfu` (sampai
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) karena mustahil beliau
shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memperhatikan hal ini.
Seandainya
darah yang banyak itu membatalkan wudhu niscaya beliau shallallahu
‘alaihi wasallam akan menerangkannya, karena tidak boleh menunda
keterangan pada saat diperlukan sebagaimana hal ini diketahui dari
kaidah ilmu ushul. Kalau dianggap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
tidak mengetahui perbuatan shahabatnya tersebut maka tidak ada
sesuatupun di langit maupun di bumi yang tersembunyi dari Allah ta`ala.
Seandainya darah tersebut najis atau membatalkan wudhu niscaya Allah
akan mewahyukan kepada Nabi-nya sebagaimana hal ini jelas tidak
tersembunyi bagi seorang pun. Pendapat ini dipegangi oleh Imam Bukhari
sebagaimana pemaparan beliau terhadap sebagian atsar yang mu`allaq, yang
diperjelas oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari dan ini merupakan
pendapatnya Ibnu Hazm”.
Kemudian beliau berkata: “Adapun pembahasan masalah ini dari sisi fiqih, bisa ditinjau sebagai berikut:
Pertama:
Menyamakan darah haid dengan darah yang lainnya seperti darah manusia
dan darah dari hewan yang dimakan dagingnya adalah kesalahan yang jelas
sekali dari dua sisi ;
1.
Tidak ada dalil yang menunjukkan hal tersebut dari Al Qur’an dan As
Sunnah, sementara hukum asal darah terlepas dari anggapan najis kecuali
ada dalil.
2.
Penyamaan seperti itu menyelisihi keterangan yang datang di dalam As
Sunnah. Adapun darah seorang muslim secara khusus ditunjukkan dalam
hadits Al Anshari yang berlumuran darah ketika shalat dan ia tetap
melanjutkan shalatnya. Sedangkan darah hewan ditunjukkan dalam riwayat
yang shahih dari Ibnu Mas`ud radliallahu anhu, dia pernah menyembelih
seekor unta hingga ia terkena darah unta tersebut berikut kotorannya,
lalu diserukan iqamah maka ia pun pergi menunaikan shalat dan tidak
berwudhu lagi. (Riwayat Abdurrazzaq “Al Mushannaf” 1/125, Ibnu Abi
Syaibah 1/392, Ath Thabrani “Mu`jamul Kabir” 9/284 dengan sanad yang
shahih darinya. Dan diriwayatkan juga oleh Al Baghawi “Al Ja`diyaat”
2/887/2503).
Uqbah
meriwayatkan dari Abi Musa Al Asy`ari: “Aku tidak peduli seandainya aku
menyembelih seekor unta hingga aku berlumuran dengan kotoran dan
darahnya. Lalu aku shalat tanpa aku menyentuh air”. Dan sanad atsar dari
Abu Musa ini dlaif (lemah).
Kemudian beliau melanjutkan :
Kedua:
Membedakan antara darah yang sedikit dengan darah yang banyak (najis
atau tidaknya), walaupun pendapat ini telah didahului oleh para imam,
maka tidak ada dalil yang menunjukkannya bahkan hadits Al Anshari
membatalkan pendapat ini. (Lihat Tamamul Minnah hal, 51-52)
Orang kafir
Ibnu
Hazm dan orang-orang dari kalangan ahlu dhahir berpegang dengan apa
yang dipahami dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :
“Sesungguhnya orang islam itu tidak najis” (HR. Bukhari no. 283 dan Muslim no.371)
Untuk
menyatakan orang kafir itu najis tubuhnya dan mereka perkuat pendapat
ini dengan firman Allah ta`ala dalam surat At Taubah ayat 28 :
“Hanyalah orang-orang musyrik itu najis“. (QS. At Taubah : 28)
Namun
jumhur ulama membantah pendapat ini dengan menyatakan bahwa yang
dimaksud oleh hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang
muslim itu suci anggota tubuhnya karena ia terbiasa menjauhkan dirinya
dari najis, adapun orang musyrik tidak menjaga diri dari najis. Sedang
yang dimaksud dengan ayat di atas adalah orang musyrik itu najis dalam
hal keyakinannya dan dalam kekotorannya.
Juga
dengan dalil bahwasanya Allah Ta`ala dalam Al Qur’an membolehkan kaum
muslimin menikahi wanita ahlul kitab sementara seorang suami yang
menyetubuhi istrinya tentunya tidak bisa lepas dari bersentuhan dengan
keringat istrinya, bersamaan dengan itu tidak diwajibkan atas si suami
untuk bersuci karena bersentuhan dengan istrinya, namun mandinya wajib
karena jima`. Juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
berwudhu dari tempat air minum wanita musyrikah dan diikatnya Tsumamah
bin Atsal di masjid ketika masih musyrik, dan lain sebagainya. (Fathul
Bari 1/487, Nailul Authar 1/45, Sailul Jaraar 1/38,39, Asy Syarhul
Mumti` 1/383)
Dan pendapat jumhur inilah yang rajih.
Khamar
Khamar adalah segala sesuatu yang memabukkan baik terbuat dari anggur, kurma, gandum atau yang selainnya.
Khamar ini haram hukumnya sebagaimana ditunjukkan dalam Al Qur’an, As
Sunnah dan ijma` (kesepakatan) kaum muslimin. Lalu apakah khamar ini
najis ?
Jumhur ulama berpandangan khamar ini najis berdalil ayat Allah subhanahuwa ta`ala :
“Wahai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar , judi, berkorban untuk
berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah rijs dari perbuatannya
setan…”. (QS. Al Maidah : 90)
Mereka
memaknakan rijs di sini dengan najis, namun yang benar dari pendapat
yang ada, khamar bukanlah najis dan ini merupakan pendapatnya Rabi`ah Ar
Ra’yi, Al Laits, Al Muzani, Syaukani, Syaikh Albani, Syaikh Ibnu
Utsaimin dan selain mereka.
Adapun
yang dimakud dengan ayat Allah dalam surat Al Maidah di atas, kata Imam
Syaukani rahimahullah : “Tatkala khamar di sini digandengkan
penyebutannya dengan الأنصاب dan الأزلام maka kata yang menyertai ini
memalingkan makna rijs (dalam ayat) kepada selain najis yang syar`i”.
(Ad Darari, hal. 20)
Syaikh
Ibnu Utsaimin rahimahullah juga menerangkan tentang makna ayat dalam
surat Al Maidah ini bahwa yang dimaksud najis di sini adalah najis
maknawi (secara makna) bukan najis hissiyah (indrawi) dari dua sisi :
1. Khamar disertakan dengan الأنصاب , الأزلام dan الميسر dan najis di sini secara maknawi.
2.
Sesungguhnya rijs di sini dikaitkan dengan firman-Nya : ((من عمل
الشيطان)) sehingga maknanya rijs amali (perbuatannya) bukan rijs `aini
(bendanya yang najis) yang dengannya semua perkara ini dihukumi najis.
Muntah manusia
Yang rajih muntah manusia itu tidak najis karena
tidak ada dalil yang menyatakan kenajisannya. Adapun pendapat yang
mengatakan muntah itu najis telah dibantah oleh Imam Syaukani
rahimahullah dalam kitabnya Sailul Jaraar (1/43). Beliau menyatakan:
“Aku telah menyebutkan padamu di awal kitab Thaharah bahwa segala
sesuatu itu hukum asalnya adalah suci dan tidak bisa berpindah dari
hukum asalnya ini kecuali dalil yang memindahkannya benar (shahih) dan
pantas untuk dijadikan argumen lebih kuat ataupun seimbang. Bila kita
dapatkan dalil tersebut maka tentunya baik sekali, namun kalau kita
tidak mendapatkannya wajib bagi kita untuk tawaqquf (berdiam diri) di
tempat yang kita dilarang untuk berbicara tentangnya. Kemudian kita
katakan kepada orang yang menganggap muntah itu najis bahwasanya dengan
anggapannya ini berarti :
- Allah subhanahu wa ta`ala telah mewajibkan kepada hamba-Nya suatu kewajiban.
- Muntah yang dikatakan najis itu harus dicuci
- Tercegah keabsahan shalat dengan adanya muntah itu.
Sehingga kita meminta kepadanya untuk mendatangkan dalil akan hal ini.
Kalau orang ini membawakan dalil dengan hadits Ammar :
“Engkau hanyalah mencuci pakaianmu apabila terkena kencing, tahi, muntah darah dan mani“.
Maka
kami jawab hadits ini tidak kokoh dari sisi shahihnya, ataupun dari
sisi hasannya bahkan tidak pula sampai kepada derajat yang paling rendah
untuk bisa dijadikan dalil dan diamalkan. Lalu bagaimana mungkin hukum
ini bisa ditetapkan oleh hadits Ammar ini sementara hadits tersebut
tidak pantas untuk dijadikan penetapan terhadap hukum yang paling rendah
sekalipun atas satu individu pun dari hamba-hamba Allah..
Kalau orang ini berkata lagi : “Telah datang hadits bahwasanya muntah itu membatalkan wudhu “.
Maka kami jawab : “Apakah di sana ada keterangan bahwasanya tidaklah membatalkan wudhu kecuali perkara yang najis“.
Kalau kamu katakan iya, maka kamu tidak akan mendapatkan jalan untuk mengatakan demikian (bahwa muntah itu najis).
Kalau kamu mengatakan bahwa telah berkata sebagian ahlul furu` (ahli fiqih) bahwasanya muntah itu satu cabang dari kenajisan.
Maka kami jawab apakah ucapan sebagian orang itu merupakan dalil yang bisa menguatkan pendapatnya terhadap seseorang ?
Kalau
kamu katakan iya berarti sungguh kamu telah mengucapkan perkataan yang
tidak diucapkan oleh seorang pun dari kaum muslimin. Kalau kamu katakan
tidak, maka kami nyatakan : kenapa kamu berdalil dengan perkara yang
tidak digunakan oleh seseorang untuk berdalil terhadap orang lain
wallahu a’lam
