Hebat, Bocah Amerika Ini Memutuskan Menjadi Muslim Sebelum Bertemu Seorang Muslimpun
Keunikan
dari kisah masuk Islamnya bocah ini adalah bahwa ibunya menghadirkan
untuknya buku-buku agama dari semua agama. Setelah membaca dengan penuh
teliti, akhirnya dia memutuskan untuk menjadi seorang muslim sebelum dia
bertemu dengan seorang muslimpun.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
”Setiap
bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanyalah
yang menjadikannya Yahudi, atau Nashrani, atau Majusi” (HR. Al-Bukhari
no. 1296).
Kisah kita kali ini, tidak lain adalah sebuah bukti yang membenarkan hadits tersebut di atas.
►►►
Alexander
Pertz dilahirkan dari kedua orang tua Nasrani pada tahun 1990 M. Sejak
awal ibunya telah memutuskan untuk membiarkannya memilih agamanya jauh
dari pengaruh keluarga atau masyarakat. Begitu dia bisa membaca dan
menulis maka ibunya menghadirkan untuknya buku-buku agama dari seluruh
agama, baik agama langit atau agama bumi. Setelah membaca dengan
mendalam, Alexander memutuskan untuk menjadi seorang muslim.
Dia
sangat cinta dengan agama ini sampai pada tingkatan dia mempelajari
shalat, dan mengerti banyak hukum-hukum syar’i, membaca sejarah Islam,
mempelajari banyak kalimat bahasa Arab, menghafal sebagian surat, dan
belajar adzan.
Semua
itu tanpa bertemu dengan seorang muslimpun. Berdasarkan bacaan-bacaan
tersebut dia memutuskan untuk menjadikan namanya yang baru adalah
Muhammad ’Abdullah, dengan tujuan agar mendapatkan keberkahan Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wasallam yang dia cintai sejak masih kecil.
Salah seorang wartawan muslim menemuinya, dan terjadilah dialog berikut :
Sebelum
wartawan tersebut bertanya kepadanya, bocah tersebut bertanya kepada
wartawan itu : ”Apakah engkau seorang yang hafal A-Qur’an?” (dia
bertanya dalam bahasa ’Arab).
Wartawan
itu berkata: ”Tidak”. Kemudian ia (wartawan tersebut) mengatakan : ”Dan
aku merasakan kekecewaannya (anak itu) atas jawabaku ini”.
Dia
berkata : ”Akan tetapi engkau adalah seorang muslim, dan mengerti
bahasa Arab, bukankah demikian ?”. Dia menghujaniku dengan banyak
pertanyaan. ”Apakah engkau telah menunaikan ibadah haji? Apakah engkau
telah menunaikan ’umrah? Bagaimana engkau bisa mendapatkan pakaian
ihram? Apakah pakaian ihram tersebut mahal? Apakah mungkin aku
membelinya di sini, ataukah mereka hanya menjualnya di Arab Saudi saja?
Kesulitan apa sajakah yang engkau alami, dengan keberadaanmu sebagai
seorang muslim di komunitas yang bukan Islami?”.
Wartawan
tersebut menceritakan keadaannya, seraya berkata ; ”Aku sudah menduga
dia menyebutkan tentang beberapa hal berkenaan dengan kawan-kawannya,
atau gurunya, sesuatu yang berkenaan dengan makan atau minumnya, peci
putih yang dikenakannya, ghutrah (surban) yang dia lingkarkan di
kepalanya dengan model Yaman, atau berdirinya di kebun umum untuk
mengumandangkan adzan sebelum dia shalat.
Akan
tetapi jawabannya tidak disangka-sangka, dia dengan tenang bercampur
penyesalan mengatakan : ”Terkadang aku kehilangan sebagian shalat karena
ketidaktahuanku tentang waktu-waktu shalat”.
Wartawan
(selanjutnya disingkat W) : ”Apa yang membuatmu tertarik pada Islam?
Mengapa engkau memilih Islam, tidak yang lain saja?”. Dia diam sesaat
kemudian menjawab.
Muhammad
(selanjutnya disingkat M) : ”Aku tidak tahu, segala yang aku ketahui
adalah dari yang aku baca tentangnya, dan setiap kali aku menambah
bacaanku, maka semakin banyak kecintaanku”.
W : ”Apakah engkau telah puasa Ramadhan?”.
M
– tersenyum – dan berkata : ”Ya, aku telah puasa Ramadlan yang lalu
secara sempurna alhamdulillah, dan itu adalah pertama kalinya aku
berpuasa di dalamnya. Dulunya sulit, terlebih pada hari-hari pertama”.
Kemudian dia meneruskan : ”Ayahku telah menakutiku bahwa aku tidak akan
mampu berpuasa, akan tetapi aku berpuasa dan tidak mempercayai hal
tersebut”.
W : ”Apakah cita-citamu?”.
M
– dengan cepat ia menjawab – : ”Aku memiliki banyak cita-cita. Aku
berkeinginan untuk pergi ke Makkah dan mencium Hajar Aswad”.
W : ”Sungguh aku perhatikan bahwa keinginanmu untuk menunaikan ibadah haji adalah sangat besar. Adakah penyebab hal tersebut?”.
Ibu
Muhamad untuk pertama kalinya ikut angkat bicara, dia berkata :
”Sesungguhnya gambar Ka’bah telah memenuhi kamarnya, sebagian manusia
menyangka bahwa apa yang dia lewati pada saat sekarang hanyalah semacam
khayalan, semacam angan yang akan berhenti pada suatu hari. Akan tetapi
mereka tidak mengetahui bahwa dia tidak hanya sekedar serius, melainkan
mengimaninya dengan sangat dalam sampai pada tingkatan yang tidak bisa
dirasakan oleh orang lain”.
Tampaklah
senyuman di wajah Muhammad ’Abdullah, dia melihat ibunya membelanya.
Kemudian dia memberikan keterangan kepada ibunya tentang thawaf di
sekitar Ka’bah, dan bagaimanakah haji sebagai sebuah lambang persamaan
antar sesama manusia sebagaimana Tuhan telah menciptakan mereka tanpa
memandang perbedaan warna kulit, bangsa, kaya, atau miskin.
Kemudian
dia meneruskan : ”Sesungguhnya aku berusaha mengumpulkan sisa dari uang
sakuku setiap minggunya agar aku bisa pergi ke Makkah Al-Mukarramah
pada suatu hari. Aku telah mendengar bahwa perjalanan ke sana
membutuhkan biaya 4 ribu dollar, dan sekarang aku mempunyai 300 dollar”.
Ibunya
menimpalinya seraya berkata untuk berusaha menghilangkan kesan
keteledorannya : ”Aku sama sekali tidak keberatan dan menghalanginya
pergi ke Makkah, akan tetapi kami tidak memiliki cukup uang untuk
mengirimnya dalam waktu dekat ini”.
W : ”Apakah cita-citamu yang lain?”.
M
: “Aku bercita-cita agar Palestina kembali ke tangan kaum muslimin. Ini
adalah bumi mereka yang dicuri oleh orang-orang Israel (Yahudi) dari
mereka”.
Ibunya
melihat kepadanya dengan penuh keheranan. Maka diapun memberikan
isyarat bahwa sebelumnya telah terjadi perdebatan antara dia dengan
ibunya sekitar tema ini.
M : ”Ibu, engkau belum membaca sejarah, bacalah sejarah, sungguh benar-benar telah terjadi perampasan terhadap Palestina”.
W : ”Apakah negkau mempunyai cita-cita lain?”.
M : “Cita-citaku adalah aku ingin belajar bahasa Arab, dan menghafal Al-Qur’an”.
W : “Apakah engkau berkeinginan belajar di negeri Islam?”.
Maka dia menjawab dengan meyakinkan : “Tentu”.
W : ”Apakah engkau mendapati kesulitan dalam masalah makanan? Bagaimana engkau menghindari daging babi?”.
M
: ”Babi adalah hewan yang sangat kotor dan menjijikkan. Aku sangat
heran, bagaimanakah mereka memakan dagingnya. Keluargaku mengetahui
bahwa aku tidak memakan daging babi, oleh karena itu mereka tidak
menghidangkannya untukku. Dan jika kami pergi ke restoran, maka aku
kabarkan kepada mereka bahwa aku tidak memakan daging babi”.
W : ”Apakah engkau shalat di sekolahan?”.
M : ”Ya, aku telah membuat sebuah tempat rahasia di perpustakaan yang aku shalat di sana setiap hari”.
Datanglah waktu shalat maghrib, maka dia melihatku seraya berkata : ”Apakah engkau mengijinkanku untuk mengumandangkan adzan ?”.
Kemudian dia berdiri dan adzan pada waktu air mata mengalir di kedua mataku.
(Majalah Qiblati, edisi 07 tahun II – April 2007)