- Batu Akik, Keris, Rajah, rantai babi, mustika, benda-benda bertuah, dll
- Jimat keberuntungan
- Jimat penghasilan
- Jimat penglaris dagangan
- Jimat kekuatan dan keberanian
- Jimat kebal senjata tajam
- Jimat perlindungan diri
- Jimat perlindungan kendaraan dan rumah
- Jimat kecintaan
- Jimat keselamatan, dll
Ketahuilah, mengenakan jimat dan mempercayainya dapat memberikan manfaat atau melindungi dari bahaya dan menolak bala’ adalah syirik besar yang menyebabkan pelakunya murtad, keluar dari Islam.
Adapun mengenakan jimat dan meyakini Allah ta’ala yang memberikan
manfaat atau melindungi dari bahaya dan menolak bala’, sedang jimat itu
hanya sebagai sebab adalah syirik kecil, termasuk dosa besar yang membinasakan.
Dan lakukanlah amalan hanya bagi
Allah dengan kesyukuran dalam keyakinan. Dan ketahuilah, kesabaran atas
sesuatu yang engkau benci adalah kebaikan yang banyak, dan pertolongan
itu selalu bersama kesabaran, kelapangan bersama kesusahan, dan bersama
kesulitan itu ada kemudahan”[1].” [Tafsir Ibnu Katsir, 7/100]
Penjelasan Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah di
atas merupakan kaidah penting dalam memahami tauhid dan syirik. Bahwa
tauhid adalah bergantung sepenuhnya kepada Allah ta’ala, sedangkan
mengambil sebab untuk meraih suatu kemanfaatan dan menolak kemudaratan
tidak dilarang dalam Islam, bahkan dianjurkan. Tetapi dengan syarat,
sebab tersebut adalah sebab syar’i atau sebab qodari.
“Bahwasannya Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam melihat di tangan seorang laki-laki terdapat gelang dari tembaga,
maka beliau berkata, “Celaka engkau, apa ini?” Orang itu berkata,
“Untuk menangkal penyakit yang dapat menimpa tangan.” Beliau bersabda,
“Ketahuilah, benda itu tidak menambah apapun kepadamu kecuali kelemahan,
keluarkanlah benda itu darimu, karena sesungguhnya jika engkau mati dan
benda itu masih bersamamu maka kamu tidak akan beruntung
selama-lamanya”[2].” [HR. Ahmad, no. 20000]
[1] HR. Ahmad (1/293) dan At-Tirmidzi (2516) dari jalan Al-Laits bin Sa’ad, dari Qois bin Al-Hajjaj. Dan At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih.”
[2] Sanad hadits ini didha’ifkan oleh Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah (no. 1029). Akan tetapi terdapat riwayat lain sebagai penguat yang dkeluarkan oleh Al-Khallal dal As-Sunnah (5/64 no. 1623) dan penguat lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Batthah dalam Al-Ibanah Al-Kubro (2/860 no. 1172), Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (2/99 no. 1439 dan 8/167 no. 7700), sebagaimana dalam Tanbihat ‘ala Kutubi Takhrij Kitabit Tauhid (hal. 3-6).