بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”. (QS. Ali Imran: 102)
O you who have believed, fear Allah as He should be feared and do not die except as Muslims [in submission to Him].(QS. Ali Imran: 102)
Ayat di atas sering terdengar di setiap mimbar-mimbar Jumat, yakni saat sang khatib menyampaikan pembukaan khutbahnya. Taqwa adalah wasiat yang harus disampaikan setiap khatib dalam khutbah Jumatnya. Karena wasiat agar bertakwa adalah termasuk rukun khutbah Jum’at.
Sewaktu Nabi Daud;Sewaktu Nabi Daud memberikan pelajaran akhlak kepada muridnya, masuk seorang lelaki yang memakai jubah putih, menyebarkan aroma yang wangi.
Lelaki berjanggut itu datang sambil mengucapkan salamkepada Nabi Daud, tetapi beliau tidak menghiraukannya dan tidak juga menjawab salam orang itu.
Nabi Daud terus menyampaikan pelajaran kepada muridnya tanpa menoleh sedikit pun kepada orang itu. Lelaki itu segera menunaikan solat sebagaimana yang disyariatkan pada waktu itu. Dia melaksanakan sembahyangnya dalam waktu yang lama, dengan rukuk dan sujud yang panjang. Selesai sembahyang, orang itu berdoa dengan mengangkat kedua-dua tangannyadan dengan suara penuh harap sambil menangis.
Nabi Daud tetap meneruskan pengajarannya, tanpa memberi perhatian kepada lelaki itu untuk berkenalan. Dia juga tidak memberi kesempatan kepada muridnyauntuk mengambil perhatian kepada orang itu.
Melihat keadaan demikian, muridnya kurang senang dengan sikap Nabi Daud. Mereka menganggap Nabi Daud tidak memberikan contoh baik dalam menghormati tamu.
Lelaki berdoa panjang dengan penuh tangisan selepas sembahyang. Dia kemudian keluar dari tempat peribadatan itu, selepas meminta diri dengan mengucapkan salam. Namun Nabi Daud tetap tidak menaruh hormat sedikit pun kepada orang itu.
Selepas Nabi Daud mengakhiri pelajarannya mengenai akhlak baik, seorang muridnya bertanya kepada beliau : “Wahai Nabi Allah, boehkah saya bertanya ?” “Ya, silakan,” jawab Nabi Daud.
Murid itu berkata : “Bukankah Nabi mengajar kepada kami bagaimana cara untuk menghormati tamu ?.
“Betul,” jawab Nabi Daud.
Murid itu berkata : “Tetapi mengapa engkau sebagai seorang guru tidak memberikan perhatian atau menghormati tamu yang datang pada waktu engkau sedang memberikan pelajaran ?” Nabi Daud menjawab : “Aku tidak memberikan sedikit pun perhatian kepadanya kerana tamu itu tidak mempunyai akhlak baik.
“Ingatlah bagaimana caranya untuk memasuki majlis ketika guru mengajar. Mula-mula dia perlu melangkah dengan kaki kanan terlebih dahulu sebagai tanda menghormati tempat ibadat ini. Kemudian dia sepatutnya tidak mengucapkan salam terlebih dahulu, melainkan langsung duduk ikut mendengarkan pelajaran.”
Salah seorang murid mencelah : “Mungkin tetamu itu belum mengetahui tata cara memasuki suatu majlis pengajian seperti ini.”
Nabi Daud menjawab : “Tetapi jubah dan serbannya menunjukkan seolah-olah dia itu orang alim. Apakah layak jika memang dia itu orang yang alim, tidak mengetahui sopan santun dan tata cara memasuki tempat peribadatan dan majlis ilmu ?”
“Orang seperti itulah yang akan menjatuhkan agama kita. Ini kerana penampilannya tidak sesuai dengan sikapnya dalam menjalankan agama.”
Muridnya berkata lagi : “Tetapi kita melihat bahawa orang yang berjubah itu tadi melaksanakan sembahyang dengan lama sekali, bagaimana dengan itu?” Nabi Daud menjawab : “Itulah tanda kepalsuannya. Dia hanya ingin menunjukkan kesolehan kepada kita semua, pada hal dia sebenarnya bukan orang soleh. Dia melakukan sembahyang buat kita, bukan bagi tuhan.”
Seorang muridnya bertanya : “Tetamu tadi juga berdoadengan panjang sambil menangis, bukankah itu menunjukkan kealimannya.”
Nabi Daud menjawab : “Apakah doa yang panjang itu menjamin keikhlasan hatinya?
“Bukankah Tuhan lebih menyukai doa yang khusyuk dan penuh keyakinan kepada-Nya. Kalau dia ingin menangis, tidak selayaknya di depan kita.
“Menangislah dengan penuh kesedihan di depan Allah ketika sendirian dalam sembahyang malam pada waktu semua makhluk sedang tidur dengan lelap hingga mereka tidak melihat tangisan itu kecuali Tuhan.
Seorang murid bertanya : “Bukankah wajahnya begitu bersih laksana wajah orang yang sangat ikhlas. Pakaiannya bersih serba putih melambangkan keikhlasan hatinya. Bukankah dia itu orang yang bertaqwa.”
Nabi Daud menjawab : “Taqwa itu tidak dilihat daripada rupa dan wajah seseorang, juga tidak dilihat daripada pakaian seseorang.”
“Tuhan hanya melihat hati manusia dan menilai dari amal perbuatannya.”
Namun, apa saja kriteria takwa itu? Imam Ali ra mendefinisikan taqwa dalam empat kriteria, yakni
1.Al-khouf bil Jalil , -(Takut kepada Allah yang Maha Mulia)
2.wal hukmu bit tanzil, -(berhukum dengan al-Quran yang telah diturunkan)
3.wal isti’dad li yaumil rahil , -(bersiap diri untuk hari akhir)
4.war ridho bil qolil.,- (dan ridho dengan bagian sedikit)Pertama, Al-Kouf bil Jalil (Takut kepada Allah yang Maha Mulia). Yang dimaksud takut disini bukan seperti kepada algojo atau atasan yang jahat. Namun, yang dimaksud takut disini adalah takut karena kebesaran dan kemahabiajksanaan Allah SWT, sehingga dia takut jika melanggar aturan Allah SWT, bahkan dia takut padaNya meskipun manusia tidak melihatnya. Hal ini pernah tercermin pada seorang wanita yang meminta Nabi saw agar ia dihukum rajam karena perbuatannya, sebab dia takut akan siksa Allah di akhirat. Namun Rasulullah saw masih mengulur-ngulur waktu dalam menjatuhkan sangsi karena kehamilannya. Meskipun pelaksanaan sangsi diundur, namun wanita ini tidak sabar menunggu, dan pada waktunya ia pun dengan kesadaran sendiri mendatangi Nabi saw untuk dihukum. Setelah Nabi saw menjatuhkan hukuman rajam padanya hingga wafat, Nabi pun menshalatkan jenazahnya. Saat itu Umar bin Khattab ra bertanya memprotes Nabi, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau mau menshalatkan wanita penzina ini?” Nabi saw menjawab, “Wahai Umar, seandainya taubat wanita ini ditimbang dengan taubat sepuluh penduduk Madinah, pastilah taubatnya melampaui mereka”.
Perasaan takut kepada Allah inilah yang membuat manusia berhati-hati dalam melakukan segala kejahatan.
Kedua, al-hukmu bit tanzil (Berhukum kepada al-Quran yang diturunkan). Banyak di antara umat Islam yang ingin berhukum kepada Al-Quran, namun mereka masih memakai hukum kuffar. Mau bertuhankan Allah namun masih percaya dengan praktek klenik dan khurafat.
Suatu hari dua muallaf Yahudi telah resmi masuk Islam, namun dalam amalannya, mereka masih menikmati ritual agama Yahudi, dimana setiap hari sabtu masih melakukan ibadah cara Yahudi, maka turunlah ayat Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”.
(QS. Al-Baqarah: 208)
Ayat ini menunjukkan agar kita totalitas dalam berIslam serta hanya mengacu kepada tuntunan al-Quran dan sunnah Rasulullah saw, serta tidak mencampuradukkan ritual Islam dengan ritual agama lain.
Ketiga, Al-isti’dad li yaumil rahil (Menyiapkan diri untuk hari akhirat). Nabi saw pernah menyatakan bahwa orang yang cerdas adalah orang yang dapat menahan hawa nafsunya dan beramal untuk persiapan setelah meninggal dunia. Karena pada hakekatnya, hidup di dunia laksana menyebarang jalan. Artinya, dunia bukanlah tujuan akhir, melainkan alam akhirt-lah tujuan akhir hidup kita. Oleh karena menyiapkan diri untuk tujuan akhir adalah penting, agar selamat sampai tujuan.
Suatu hari, tatkala Umar bin Abdul Aziz menerima tampuk kekhalfihan, beliau bersitirahat sejenak setelah menghadiri upacara pemakaman khalifah sebelumnya. Baru saja umar rebahan untuk beristirhat, tiba-tiba ada orang yang berkata, “Wahai, tidakkah anda segera mengembalikan harta yang pernah diambil khalifah sebelummu secara zhalim?”. Umar bin Abdul Aziz menjawab, “Tunggulah sebentar, aku akan beristirahat terlebih dahulu, nanti setelah zuhur akan aku serahkan harta yang pernah diambil secara zalim itu”. Namun kemudian orang itu berkata, “Siapakah yang menjaminmu tetap hidup setelah zuhur nanti?”. Mendengar kata-kata itu, segera saja Umar bin Abdul aziz tersentak dan tidak bisa tidur lagi, dan beliau segera mengembalikan harta yang pernah diambil secara zalim oleh khalifah sebelumnya.
Perasaan Umar seperti di atas adalah karena beliau ingin agar di akhirat tidak dituntut siapapun. Ini adalah penyikapan orang yang selalu mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat.
Keempat, al-ridho bil qolil (Ridho dengan bagian yang sedikit). Sikap ini sepadan dengan makna qona’ah (rasa puas dengan pemberian Allah). Sikap ini sangat sulit jika tidak didorong dengan sikap husnuzzhon (baik sangka) kepada Allah SWT, sebab sifat dasar manusia adalah selalu ingin lagi dan ingin lagi.
Keluarga pasangan Ali bin bi Thalib dan Fatimah adalah cermin manusia yang ridho dengan pembagian Allah, bahkan saat Allah telah memberi rezeki pada mereka, mereka harus memberikannya kembali kepada orang yang lebih tidak mampu dari mereka.
Itulah empat kriteria takwa yang didefiniskan Saidina Ali bin Abi Thalib.
“Adakah amal perbuatan dan sikapnya sehari-hari sesuai dengan hokum syariat dan akhlak. Manusia itu tidak dihargai daripada kulitnya, melainkan dinilai daripada isi dan mutu kemanusiaannya yang diukur dengan pelaksanaannya terhadap hukum dan akhlak agama.”
Adakah kriteria itu dalam diri kita?
Jika belum, berarti ramadhan kita yang lalu harus dievaluasi, demikian juga fungsi wasiat takwa yang selalu disampaikan khatib setiap Jumatnya.
Wallahu a’lam.