Hukum Membuka Aurat di Depan Waria


Keberadaan wanita setengah pria (waria) adalah fenomena yang tak terelakkan dlm kehidupan masyarakat kita saat ini. Lepas dari sifat pembawaan, mereka sesungguhnya juga tumbuh dari lingkungan pergaulan yang memang jauh dari nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, tuntunan agama menjadi modal penting bagi kita utk dapat menghadapi derasnya arus penyesatan. Lalu bagaimana tuntunan berhijab bagi wanita di hadapan waria?

Allah  dgn kekuasaan-Nya yang maha sempurna menciptakan dua jenis manusia, laki-laki & wanita, di mana masing-masingnya memiliki tabiat berbeda. Secara keumuman & kewajaran, laki-laki memang diciptakan memiliki kecenderungan, senang, & tertarik terhadap wanita. Demikian pula sebaliknya. Namun ada di antara laki-laki yang memiliki kelainan sehingga tak tertarik & tak memiliki syahwat terhadap wanita. Mereka inilah yang Allah I sebutkan dlm firman-Nya:
“Atau laki-laki yang mengikuti kalian yang tak punya syahwat terhadap wanita.” (An-Nur: 31)
Al-Imam Al-Qurthubi t berkata: “Manusia berbeda pendapat tentang makna firman Allah: (). Ada yang berpendapat: orang itu adalah laki-laki yang pandir/ dungu yang tak berhajat (tidak berselera) terhadap wanita. Ada yang berpendapat: orang yang lemah akalnya. Ada pula yang berpendapat: laki-laki yang mengikuti (tinggal bersama) suatu kaum, makan bersama mereka & menggantungkan hidupnya pada mereka, sementara dia punya kelemahan sehingga tak menaruh perhatian terhadap wanita & tak berselera dgn wanita. Ada pula yang berpendapat: dia adalah laki-laki yang lemah dzakar1. Yang lain mengatakan: laki-laki yang dikebiri. Ada yang berkata: dia mukhannats (banci)2. Namun ada juga yang berpendapat: laki-laki yang tua renta & anak kecil yang belum baligh. Perbedaan pendapat ini sebenarnya menunjukkan makna yang berdekatan (hampir sama), yang intinya laki-laki yang dimaksud dlm ayat tersebut adalah yang tak paham & tak ada keinginan yang membangkitkannya kepada soal wanita.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 12/156)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t berkata dlm tafsirnya: () yaitu laki-laki yang mengikuti kalian & bergantung kepada kalian sementara mereka tak memiliki syahwat terhadap wanita seperti orang yang kurang waras yang tak tahu tentang keindahan wanita, atau seperti laki-laki yang lemah dzakarnya sehingga tak memiliki syahwat sedikitpun, baik pada kemaluannya maupun dlm hatinya. Laki-laki yang seperti ini keadaannya tidaklah ada kekhawatiran pada dirinya bila memandang (wanita).” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 566)

Dalam ayat disebutkan lafadz () (laki-laki yang mengikuti), dari sini muncul perbedaan pendapat di kalangan ulama, apakah pengikutan itu merupakan syarat atau tidak? Di antara mereka ada yang menganggapnya sebagai syarat, sama saja apakah laki-laki itu merupakan khadim (pembantu), pelayan, atau orang yang menggantungkan hidupnya (minta makan & minumnya) pada suatu kaum. Sehingga dlm hal kebolehan memandang ini, harus terkumpul dua syarat; laki-laki itu tak punya syahwat terhadap wanita & dia merupakan tabi’ (pembantu, pelayan, atau orang yang bergantung hidupnya pada keluarga tertentu). Demikian ditunjukkan oleh dzahir ayat: ().
Ulama yang lain tak menganggap pengikutan sebagai syarat, yang menjadi pegangan hanyalah ketidakadaan syahwat pada diri seorang laki-laki. Wallahu ta’ala a’lam. (Kitabun Nazhar fi Ahkamin Nazhar bi Hassatil Bashar, hal. 230)

Mukhannats
Mukhannats adalah laki-laki yang menyerupai wanita dlm tingkah laku, ucapan, & gerakannya (Syarah Shahih Muslim 14/163, Fathul Bari 9/404). Karena mukhannats ini terhitung laki-laki yang tak memiliki syahwat terhadap wanita, maka Rasulullah r pada awalnya tak melarangnya masuk menemui istri-istri beliau, ummahatul mukminin.
Aisyah x berkisah:
“Dulunya ada seorang mukhannats biasa masuk menemui istri-istri Nabi r, karena mereka menduganya termasuk laki-laki yang tak memiliki syahwat terhadap wanita. Maka suatu hari Nabi r masuk ke rumah sementara mukhannats ini berada di sisi sebagian istri beliau dlm keadaan ia sedang mensifatkan seorang wanita. “Wanita itu bila menghadap, menghadap dgn empat3 & bila membelakang, membelakang dgn delapan4”, katanya. Mendengar ucapannya yang demikian Nabi r bersabda:  “Aku semula tak berpandangan orang ini tahu perkara wanita sampai seperti itu. Sama sekali ia tak boleh lagi masuk menemui kalian”. Kata Aisyah : “Mereka pun berhijab darinya.” (HR. Muslim no. 2181)
Ummu Salamah  bertutur:
“Rasulullah r masuk ke rumahku sementara di sisiku ada seorang mukhannats. Aku mendengar mukhannats itu berkata kepada Abdullah bin Abi Umayyah (saudara laki-laki Ummu Salamah.): “Wahai Abdullah! Jika besok Allah membukakan/ memenangkan Thaif utk kalian, maka hendaklah engkau berupaya dgn sungguh-sungguh utk mendapatkan putri Ghailan, karena dia menghadap dgn empat & membelakangi dgn delapan”. Ucapannya yang demikian didengar oleh Rasulullah , maka beliau pun menetapkan:
“Mereka (mukhannats) itu sama sekali tak boleh masuk menemui kalian lagi.” (HR. Al-Bukhari no. 4324 & Muslim no. 21807)

Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Masuknya mukhannats ini pada awalnya menemui ummahatul mukminin telah diterangkan sebabnya di dlm hadits, yaitu mereka meyakini mukhannats ini termasuk lelaki yang tak memiliki syahwat terhadap wanita sehingga ia boleh masuk menemui mereka. Ketika Rasulullah r mendengar ucapan yang demikian darinya, tahulah beliau mukhannats ini ternyata punya syahwat terhadap wanita8, beliau pun melarangnya masuk ke tempat istri-istri beliau. Hadits ini menunjukkan dilarangnya mukhannats masuk ke tempat para wanita & para wanita dilarang menampakkan perhiasan mereka di hadapannya. Hadits ini pun menerangkan mukhannats hukumnya sama dgn laki-laki (yang jantan/ gagah, tak kewanita-wanitaan) yang senang & berselera terhadap wanita, demikian pula hukum lelaki yang dikebiri & dipotong dzakarnya, wallahu a’lam.” (Syarah Shahih Muslim, 14/163)


Al-Muhallab  berkata: “Nabi  menghalangi mukhannats ini utk masuk menemui para wanita (yang bukan mahramnya) ketika beliau mendengar ia menggambarkan ciri-ciri seorang wanita dgn penggambaran yang dapat membangkitkan gejolak & gelora di dlm hati laki-laki. Maka beliau pun melarangnya masuk menemui istri-istri beliau agar jangan sampai si mukhannats ini menceritakan tentang mereka kepada manusia (laki-laki) sehingga gugurlah makna hijab (tidak ada lagi artinya berhijab dari laki-laki non mahram.) (Fathul Bari, 9/406)

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Diambil faedah dari hadits ini agar para wanita berhijab dari orang-orang (laki-laki) yang memahami keindahan-keindahan mereka.” (Fathul Bari, 9/406)
Hukum Berpenampilan & Berperilaku seperti Lawan Jenis
Ibnu ‘Abbas  berkata:
“Rasulullah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita & wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Al-Bukhari no. 5885, 6834)


Ath-Thabari memaknai sabda Nabi r di atas dgn ucapan: “Tidak boleh laki-laki menyerupai wanita dlm hal pakaian & perhiasan yang khusus bagi wanita. Dan tak boleh pula sebaliknya (wanita menyerupai laki-laki).” Al-Hafidz Ibnu Hajar menambahkan: “Demikian pula meniru cara bicara & berjalan. Adapun dlm penampilan/ bentuk pakaian maka ini berbeda-beda dgn adanya perbedaan adat kebiasaan pada setiap negeri. Karena terkadang suatu kaum tak membedakan model pakaian laki-laki dgn model pakaian wanita (sama saja), akan tetapi utk wanita ditambah dgn hijab. Pencelaan terhadap laki-laki atau wanita yang menyerupai lawan jenisnya dlm berbicara & berjalan ini, khusus bagi yang sengaja. Sementara bila hal itu merupakan asal penciptaannya maka ia diperintahkan utk memaksa dirinya agar meninggalkan hal tersebut secara berangsur-angsur. Bila hal ini tak ia lakukan bahkan ia terus tasyabbuh dgn lawan jenis, maka ia masuk dlm celaan, terlebih lagi bila tampak pada dirinya perkara yang menunjukkan ia ridla dgn keadaannya yang demikian.” Al-Hafidz tmengomentari pendapat Al-Imam An-Nawawi t yang menyatakan mukhannats yang memang tabiat/ asal penciptaannya demikian, maka celaan tak ditujukan terhadapnya, maka kata Al-Hafidz t, hal ini ditujukan kepada mukhannats yang tak mampu lagi meninggalkan sikap kewanita-wanitaannya dlm berjalan & berbicara setelah ia berusaha menyembuhkan kelainannya tersebut & berupaya meninggalkannya. Namun bila memungkinkan baginya utk meninggalkan sifat tersebut walaupun secara berangsur-angsur, tapi ia memang enggan utk meninggalkannya tanpa ada udzur, maka ia terkena celaan.” (Fathul Bari, 10/345)

Al-Imam An-Nawawi  memang menyatakan: “Ulama berkata, mukhannats itu ada dua macam.
Pertama: hal itu memang sifat asal/ pembawaannya bukan ia bersengaja lagi memberat-beratkan dirinya utk bertabiat dgn tabiatnya wanita, bersengaja memakai pakaian wanita, berbicara seperti wanita serta melakukan gerak-gerik wanita. Namun hal itu merupakan pembawaannya yang Allah memang menciptakannya seperti itu. Mukhannats yang seperti ini tidaklah dicela & dicerca bahkan tak ada dosa serta hukuman baginya karena ia diberi udzur disebabkan hal itu bukan kesengajaannya. Karena itulah Nabi r pada awalnya tak mengingkari masuknya mukhannats menemui para wanita & tak pula mengingkari sifatnya yang memang asal penciptaan/ pembawaannya demikian. Yang beliau ingkari setelah itu hanyalah karena mukhannats ini ternyata mengetahui sifat-sifat wanita (gambaran lekuk-lekuk tubuh wanita) & beliau tak mengingkari sifat pembawaannya serta keberadaannya sebagai mukhannats.

Kedua: mukhannats yang sifat kewanita-wanitaannya bukan asal penciptaannya bahkan ia menjadikan dirinya seperti wanita, mengikuti gerak-gerik & penampilan wanita seperti berbicara seperti mereka & berpakaian dgn pakaian mereka. Mukhannats seperti inilah yang tercela di mana disebutkan laknat terhadap mereka di dlm hadits-hadits yang shahih.
Adapun mukhannats jenis pertama tidaklah terlaknat karena seandainya ia terlaknat niscaya Rasulullah r tak membiarkannya pada kali yang pertama, wallahu a’lam.” (Syarah Shahih Muslim, 14/164)

Namun seperti yang dikatakan Al-Hafidz t, mukhannats jenis pertama tidaklah masuk dlm celaan & laknat, apabila ia telah berusaha meninggalkan sifat kewanita-wanitaannya & tak menyengaja utk terus membiarkan sifat itu ada pada dirinya.
Dalam Sunan Abu Dawud dibawakan hadits dari Abu Hurairah z, ia berkata:
“Rasulullah r melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita & wanita yang memakai pakaian laki-laki. (HR. Abu Dawud no. 3575. Asy-Syaikh Muqbil t berkata: Hadits ini hasan dgn syarat Muslim).

Asy-Syaikh Muqbil t dlm kitab Al-Jami’ush Shahih (3/92) menempatkan hadits ini dlm kitab An-Nikah wath Thalaq, bab Tahrimu Tasyabbuhin Nisa’ bir Rijal (Haramnya Wanita Menyerupai Laki-Laki), & beliau membawakannya kembali dlm kitab Al-Libas, bab Tahrimu Tasyabbuhir Rijal bin Nisa’ wa Tasyabbuhin Nisa’ bir Rijal (Haramnya Laki-Laki Menyerupai Wanita & Wanita Menyerupai Laki-Laki) (4/314).
Dalam masalah laki-laki menyerupai wanita ini, Al-Imam An-Nawawi t mengatakan: “Allah I menciptakan laki-laki & perempuan di mana masing-masingnya Dia berikan keistimewaan. Laki-laki berbeda dgn wanita dlm penciptaan, watak, kekuatan, agama & selainnya. Wanita demikian pula berbeda dgn laki-laki. Siapa yang berusaha menjadikan laki-laki seperti wanita atau wanita seperti laki-laki, berarti ia telah menentang Allah dlm qudrah & syariat-Nya, karena Allah I memiliki hikmah dlm apa yang diciptakan & disyariatkan-Nya. Karena inilah terdapat nash-nash yang berisi ancaman keras berupa laknat, yang berarti diusir & dijauhkan dari rahmat Allah, bagi laki-laki yang menyerupai (tasyabbuh) dgn wanita atau wanita yang tasyabbuh dgn laki-laki. Maka siapa di antara laki-laki yang tasyabbuh dgn wanita, berarti ia terlaknat melalui lisan Nabi r. Demikian pula sebaliknya….” (Syarah Riyadhish Shalihin, 4/288)
Dan hikmah dilaknatnya laki-laki yang tasyabbuh dgn wanita & sebaliknya, wanita tasyabbuh dgn laki-laki adalah karena mereka keluar/ menyimpang dari sifat yang telah Allah I tetapkan utk mereka. (Fathul Bari, 10/345-346)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t berkata: “Apabila seorang laki-laki tasyabbuh dgn wanita dlm berpakaian, terlebih lagi bila pakaian itu diharamkan seperti sutera & emas, atau ia  tasyabbuh dgn wanita dlm berbicara sehingga ia berbicara bukan dgn gaya/ cara seorang lelaki (bahkan) seakan-akan yang berbicara adalah seorang wanita, atau ia tasyabbuh dgn wanita dlm cara berjalannya atau perkara lainnya yang merupakan kekhususan wanita, maka laki-laki seperti ini terlaknat melalui lisan makhluk termulia (Rasulullah). Dan kita pun melaknat orang yang dilaknat oleh Rasulullah ” (Syarah Riyadhish Shalihin, 4/288)
Perbuatan menyerupai lawan jenis secara sengaja haram hukumnya dgn kesepakatan yang ada (Fathul Bari, 9/406) & termasuk dosa besar, karena Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah  & selainnya mengatakan: “Dosa besar adalah semua perbuatan maksiat yang ditetapkan hukum had-nya di dunia atau diberikan ancaman di akhirat.” Syaikhul Islam menambahkan: “Atau disebutkan ancaman berupa ditiadakannya keimanan (bagi pelakunya), laknat, atau semisalnya.” (Mukhtashar Kitab Al-Kabair, Al-Imam Adz-Dzahabi, hal. 7)
Al-Imam Adz-Dzahabi t memasukkan perbuatan ini sebagai salah satu perbuatan dosa besar dlm kitab beliau yang masyhur Al-Kabair, hal. 145.
Adapun sanksi/ hukuman yang diberikan kepada pelaku perbuatan ini adalah sebagaimana disebutkan dlm hadits berikut:
“Nabi  melaknat laki-laki yang menyerupai wanita (mukhannats) & wanita yang menyerupai laki-laki (mutarajjilah10). Dan beliau  bersabda: “Keluarkan mereka (usir) dari rumah-rumah kalian”. Ibnu Abbas berkata: “Maka Nabi  pun mengeluarkan Fulan (seorang mukhannats) & Umar mengeluarkan Fulanah (seorang mutarajjilah).” (HR. Al-Bukhari no. 5886)
Hadits ini menunjukkan disyariatkannya mengusir setiap orang yang akan menimbulkan gangguan terhadap manusia dari tempatnya sampai dia mau kembali dgn meninggalkan perbuatan tersebut atau mau bertaubat. (Fathul Bari, 10/347)
Mereka harus diusir dari rumah-rumah & daerah kalian, kata Al-Qari. (‘Aunul Ma’bud, 13/189)
Al-Imam An-Nawawi t menyatakan: Ulama berkata: “Dikeluarkan & diusirnya mukhannats ada tiga makna:
Salah satunya, sebagaimana tersebut dlm hadits yaitu mukhannats ini disangka termasuk laki-laki yang tak punya syahwat terhadap wanita tapi ternyata ia punya syahwat namun menyembunyikannya.
Kedua: ia menggambarkan wanita, keindahan-keindahan mereka & aurat mereka di hadapan laki-laki sementara Nabi r telah melarang seorang wanita menggambarkan keindahan wanita lain di hadapan suaminya, lalu bagaimana bila hal itu dilakukan seorang lelaki di hadapan lelaki?
Ketiga: tampak bagi Rasulullah r dari mukhannats ini bahwa dia mencermati (memperhatikan dgn seksama) tubuh & aurat wanita dgn apa yang tak dicermati oleh kebanyakan wanita. Terlebih lagi disebutkan dlm hadits selain riwayat Muslim bahwa si mukhannats ini mensifatkan/ menggambarkan wanita dgn detail sampai-sampai ia menggambarkan kemaluan wanita & sekitarnya, wallahu a’lam.” (Syarah Shahih Muslim, 14/164)

Bila penyerupaan tersebut belum sampai pada tingkatan perbuatan keji yang besar seperti si mukhannats berbuat mesum (liwath/homoseks) dgn sesama lelaki sehingga lelaki itu ‘mendatanginya’ pada duburnya atau si mutarajjilah berbuat mesum (lesbi) dgn sesama wanita sehingga keduanya saling menggosokkan kemaluannya, maka mereka hanya mendapatkan laknat & diusir seperti yang tersebut dlm hadits di atas. Namun bila sampai pada tingkatan demikian, mereka tak hanya pantas mendapatkan laknat tapi juga hukuman yang setimpal11. Rasulullah  memerintahkan utk mengeluarkan mukhannats dari rumah-rumah kaum muslimin agar perbuatan tasyabbuhnya (dengan wanita) itu tak mengantarkannya utk melakukan perbuatan yang mungkar tersebut (melakukan homoseks)12. Demikian dikatakan Ibnu At-Tin t seperti dinukil Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani t (Fathul Bari, 10/345).

Kesimpulan: hukum mukhannats memandang wanita ajnabiyyah (non mahram)
Dalam hal ini, fuqaha terbagi dua pendapat:
Pertama: mukhannats dihukumi sama dgn laki-laki jantan yang berselera terhadap wanita. Demikian pendapat madzhab Al-Hanafiyyah terhadap mukhannats yang bersengaja tasyabbuh dgn wanita padahal memungkinkan bagi dirinya utk merubah sifat kewanita-wanitaannya tersebut. Sebagian Al-Hanafiyyah juga memasukkan mukhannats yang tasyabbuh dgn wanita karena asal penciptaannya walaupun ia tak berselera dgn wanita, demikian pula pendapat Asy-Syafi’iyyah. Adapun madzhab Al-Hanabilah berpandangan bahwa mukhannats yang memiliki syahwat terhadap wanita & mengetahui perkara wanita maka hukumnya sama dgn laki-laki jantan (tidak kewanita-wanitaan) bila memandang wanita.

Dalil yang dipegangi oleh pendapat pertama ini adalah firman Allah :
“Katakanlah kepada kaum mukminin, hendaklah mereka menundukkan pandangan mata mereka….” (An-Nur: 30)
Adapun dalil yang mereka pegangi dari As Sunnah adalah hadits Ummu Salamah & hadits Aisyah c tentang mukhannats yang menggambarkan tubuh seorang wanita di hadapan laki-laki sehingga Rasulullah r melarang mukhannats ini masuk menemui istri-istri beliau.

Kedua: mereka berpandangan bahwa mukhannats yang tasyabbuh dgn wanita karena memang asal penciptaannya demikian (tidak bersengaja tasyabbuh dgn wanita) & ia tak berselera/ bersyahwat dgn wanita, bila ia memandang wanita ajnabiyyah maka hukumnya sama dgn hukum seorang lelaki bila memandang mahram-mahramnya. Sebagian Al-Hanafiyyah berpendapat boleh membiarkan mukhannats yang demikian bersama para wanita. Namun si wanita hanya boleh menampakkan tubuhnya sebatas yang dibolehkan baginya utk menampakkannya di hadapan mahram-mahramnya & si mukhannats sendiri boleh memandang wanita sebatas yang diperkenankan bagi seorang lelaki utk memandang wanita yang merupakan mahramnya. Demikian yang terkandung dari pendapat Al-Imam Malik t  & pendapat Al-Hanabilah.
Dalil mereka adalah firman Allah. “atau laki-laki yang mengikuti kalian yang tak punya syahwat terhadap wanita.”

Di antara ulama salaf ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan:
(yang tak punya syahwat terhadap wanita) adalah mukhannats yang tak berdiri kemaluannya.
Dari As Sunnah, mereka berdalil dgn hadits Aisyah x (yang juga menjadi dalil pendapat pertama). Dalam hadits Aisyah ini diketahui bahwa Nabi r pada awalnya membolehkan mukhannats masuk menemui istri-istri beliau karena menyangka ia termasuk laki-laki yang tak bersyahwat terhadap wanita. Namun ketika beliau mendengar mukhannats ini tahu keadaan wanita & sifat mereka, beliau pun melarangnya masuk menemui istri-istri beliau karena ternyata ia termasuk laki-laki yang berselera dgn wanita.
Inilah pendapat yang rajih, insya Allah
Adapun bila si mukhannats punya syahwat terhadap wanita, maka hukumnya sama dgn laki-laki jantan yang memandang wanita ajnabiyyah. (Fiqhun Nazhar, hal. 172-176)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
  • Para mukhannats yang ada di masa Rasulullah r mereka tidaklah tertuduh melakukan perbuatan keji yang besar, hanya saja kewanita-wanitaan mereka tampak dari ucapan mereka yang lunak/ lembut mendayu, mereka memacari tangan & kaki mereka seperti halnya wanita, & berkelakar seperti kelakarnya wanita. (‘Aunul Ma’bud, 13/189)
  • Ujung lekukan itu sampai ke pinggangnya, pada masing-masing sisi (pinggang) empat sehingga dari belakang terlihat seperti delapan. Al-Khaththabi t menjelaskan: “Mukhannats ini hendak mensifatkan putri Ghailan itu besar badannya, di mana pada perutnya ada empat lipatan & yang demikian itu tidaklah didapatkan kecuali pada wanita-wanita yang gemuk. Secara umum, laki-laki biasanya senang dgn wanita yang demikian sifatnya.” (Fathul Bari, 9/405)
  • Thaif adalah negeri besar terletak di sebelah timur Makkah sejarak 2-3 hari perjalanan. Negeri ini terkenal memiliki banyak pohon anggur & kurma (Fathul Bari, 8/54-55). Ketika itu Rasulullah r telah mengepung Thaif.
  • Ghailan bin Salamah Ats-Tsaqafi salah seorang tokoh/ pemimpin Bani Tsaqif, yang mendiami Thaif. Pada akhirnya ia masuk Islam & ketika itu ia memiliki 10 istri, maka Rasulullah r memerintahkannya utk memilih
  • di antaranya & menceraikan yang lainnya. (Fathul Bari, 9/405)
  • Hadits-hadits seperti ini diberi judul oleh Al-Imam An-Nawawi t, dlm syarahnya terhadap Shahih Muslim, bab Larangan bagi mukhannats utk masuk menemui wanita-wanita ajnabiyyah (bukan mahramnya dgn tanpa hijab, pen.)
  • Seperti pendapat Mujahid t (Tafsir Ibnu Katsir, 5/402)
  • Kata ‘Ikrimah t: “Dia adalah mukhannats yang tak bisa berdiri dzakarnya. (Tafsir Ibnu Katsir, 5/402). Ibnu ‘Abbas c mengatakan: “Dia adalah laki-laki yang tak memiliki syahwat terhadap wanita.”
  • Yakni dgn empat lekukan pada perutnya.
  • Dan dlm hal ini terdapat hadits yang berisi laknat bagi laki-laki yang menyerupai wanita & sebaliknya, wanita menyerupai laki-laki.
  • Al-Mutarajjilah yaitu wanita yang menyerupai laki-laki dlm hal pakaian, penampilan, cara berjalan, mengangkat suara (cara bicara), & semisalnya. Bukan penyerupaan dlm pendapat/ pikiran/ pertimbangan, & ilmu. Karena menyerupai laki-laki dlm masalah ini adalah terpuji, sebagaimana diriwayatkan bahwa pendapat/ pikiran/ pertimbangan Aisyah x seperti  laki-laki. (‘Aunul Ma’bud, 13/189)
  • Asy-Syaikh Muqbil t berkata: “Ulama berselisih pendapat tentang hukuman bagi orang yang berbuat liwath. Yang paling shahih dari pendapat yang ada, hukumannya dibunuh, baik subyeknya (fa’il) maupun obyeknya (maf’ul) bila keduanya telah baligh.” (Ijabatus Sail, hal. 362)
  • Tidak termasuk laki-laki yang disebutkan dlm ayat:“Atau laki-laki yang mengikuti kalian yang tak punya syahwat terhadap wanita.”