Jiwa Besar yang berakhlak


Pembaca budiman, disebabkan akhlak dan perangai terpuji begitu tinggi kedudukannya di mata Allah Ta’ala dan umat secara umum, terlebih bagi mereka yang mengusung misi dakwah Ahlu Sunnah wal Jama’ah, maka kami tergerak mengalih-bahasakan sebuah muhadharah (ceramah) ilmiyah yang sangat bermanfaat, diketengahkan oleh salah seorang ulama tafsir terpandang di kota Dammam Fadhilatus Syaikh Dr. Khalid bin Utsman as-Sabt –hafidzahullah-, yang berjudul “Akhlaq al-Kibar”.
Dan dikarenakan terjemahan ini berpijak pada audio, maka kami mohon maaf sebelumnya jika gaya bahasa yang digunakan tidak keluar seratus persen dari gaya bahasa ceramah. Semoga kita sekalian dapat memetik hikmah dan pelajaran dari ceramah berharga ini.
Segala puji hanya bagi Allah Rabb Seru Sekalian Alam, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah bagi penghulu para Nabi dan Rasul, Nabi kita Muhammadshallallahu alaihi wa salam, amma ba’du.
Ayyuhal Ikhwah, tema kajian ini berkaitan dengan akhlaaqul kibar. Yang kami maksudkan kibar di sini bukan orang yang berumur kibar (tua), namun maksudnya adalah, ashaab an-nufuus al-kabiirah, atau “orang yang memiliki jiwa besar“. Mereka itulah sang pemilik akhlak yang tinggi dan mencampakkan akhlak-akhlak rendah serta perkara-perkara hina. Termasuk pula dalam hal ini, kalangan para ulama, du’at dan kaum muslimin secara umum.
Maksud akhlaqul kibar di sini adalah orang yang berjiwa besar, bukan yang berjiwa kerdil dimana senang jika dipuji dan marah bila dicela. Memutuskan hubungan dengan orang hanya karena tidak senang, tersinggung, atau kerena jengkel dan marah. Atau, menjalin silaturahmi atas landasan senang dengan orang-orang tertentu dan memutuskan hubungan silatuhrahmi atas dasar karena tidak senang atau karena sebab-sebab lainnya. Orang yang berakhlak kibar adalah orang yang tidak memusuhi hanya karena orang lain itu melontarkan kritik atau mengejek dirinya.
Sang pemilik akhlak kibar, bukan pula berarti orang yang memiliki jabatan-jabatan tinggi. Dalam bahasa Arab, “kibar“, bisa berarti tua dan bisa berarti tinggi jabatannya. Jadi orang yang berjiwa besar adalah orang yang menyikapi sesuatu untuk satu kepentingan besar, kemaslahatan Islam dan kaum muslimin, serta bukan atas dasar kepentingan pribadi. Orang-orang seperti inilah yang lebih pantas kita sebut dan sebarkan kisah heroik mereka, agar menjadi pelajaran bagi kita.
Kita sangat butuh materi penyegar seperti ini, lantaran cakupan persoalan yang begitu penting. Sebab kita saksikan berapa banyak khitbah (proses melamar seorang wanita) dibatalkan, berapa banyak jalinan cinta berubah menjadi permusuhan, dan berapa banyak hubungan kerjasama dalam urusan duniawi maupun ukhrawi (dakwah) bubar, hanya karena sikap orang-orang yang berjiwa kerdil. Tidak rela bila ada atau muncul kekurangan orang lain terhadap dirinya. Dan apabila hal itu terjadi, maka hubungan itu otomatis putus, tidak lagi mengingat kebaikan-kebaikan yang pernah diperoleh, tidak mengingat lagi kebersamaan yang pernah dijalin apik pada waktu silam. Semua itu menjelma menjadi permusuhan dan kebencian, lantaran kesalahan dan kekurangan dari orang lain terhadap dirinya. Lalu dia menjadi sosok yang mudah membenci, mencela, dan berbuat hal-hal kurang (terpuji) pada dirinya. Seluruh perbuatan diukur melalui timbangan hawa nafsu. Bila menyenangkan dirinya ia senangi namun bila menjengkelkan, dia benci. Sikap seperti ini lahir karena ada orang-orang yang lebih memilih asal penciptaannya, yaitu tanah. Sebab manusia itu diciptakan dari dua unsur yaitu tanah dan ruh. Dan kita tahu, bahwa tanah berada di bawah. Orang-orang yang berjiwa kerdil mengukur segala sesuatu melalui hal-hal hina, dan itu kembali ke asal penciptaanya tadi yaitu tanah. Maka nampaklah dari dirinya akhlak yang rendah dan hina pula. Beda halnya dengan orang-orang mulia. Dimana mereka mengukur sesuatu melalui hal-hal yang tinggi dan mulia. Dan itulah sifat kedua dari penciptaan manusia, yaitu ruh.
Orang yang berjiwa besar adalah mereka yang berusaha mengurai simpul-simpul yang melingkupi jiwanya. Tidak memandang seluruh (perkaranya) dengan takaran hawa nafsunya. Dan tatkala dia sanggup melerai simpul-simpul tersebut, maka dia masuk dalam tingkatan lebih tinggi, yaitu orang yang bisa melepaskan diri dari semua keinginan hawa nafsunya. Dia bisa berhubungan dengan orang, siap menerima kesalahan, kekurangan, dan kelemahan yang muncul dari diri orang lain. Orang yang ingin merengkuh derajat tinggi, tidak mungkin sanggup merengkuhnya tanpa modal jiwa yang tinggi dan akhlak seperti telah disinggung.
Ayyuhal Ihkwan, kala berbicara tentang tema ini, kita tidak mengarahkan pada orang lain. Sebab sasaran utama adalah diri kita pribadi dan kemudian para hadirin sekalian. Jangan sampai kita berpikir bahwa “tema ini untuk si fulan yang akhlaknya masih kurang, atau si fulan yang akhlaknya tidak seperti ini”. Jangan kita bayangkan seperti itu, yakni tema ini ditujukan pada sekelompok orang tertentu. Yang perlu dilakukan adalah menghadirkan diri dan hati kita untuk mencerna dan menerima materi ini. Jadilah orang yang berfikir. Hadir dengan hati dan kemudian mendulang manfaat dan hikmah darinya. Perbaharui hidup anda, tingkatkan akhlak anda, kemudian berubahlah. Lalu kembali dengan wajah berubah, suasana dan akhlak yang berbeda pula.
Materi ini diarahkan pada seluruh kalangan baik ulama, du’at, thulabul ilmi dan mereka yang memangku jabatan, baik jabatan tinggi atau-pun rendah. Juga ditujukan kepada para bapak, ibu, para pendidik dan pengajar serta orang awam pada umumnya. Demikian pula ditujukan kepada semua yang ingin mencari kesempurnaan. Mungkin diantara kita tidak rela disifati dengan sifat kerdil, hidup dalam cara berfikir sempit, hati sempit, dan jiwa yang sempit pula. Semua orang sepakat, bahwa materi kajian ini adalah sesuatu yang baik, terpuji dan mulia dimana semua jiwa pasti merindukannya.
Seandainya dakwah Rasul -shallallahu alaihi wasallam-, hanya bertujuan pada (perbaikan) akhlak saja, tentu orang-orang akan menyambut dakwahnya. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah,Kalaulah dakwah ini hanya tertuju pada (perbaikan) akhlak, sebagaimana jika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berdakwah hanya pada masalah (perbaikan) akhlak tanpa membahas kemusyrikan dan tauhid, tentu orang-orang pasti akan mengikuti dakwahnya”.
Dalam tataran teori semua sepakat, namun pada prakteknya akan nampak sendiri hakikat sebenarnya. Semua orang dapat dengan fasih berbicara tentang akhlak yang baik, tapi dalam kenyataannya akan terlihat aslinya. Yang penting bukan orang menganggap baik, kemudian senang mendengarkan akhlak yang baik, tapi yang paling utama adalah perubahan, dan ada akhlak yang berubah. Orang yang halus lembut bukan orang yang lembut saat senang saja, tapi juga pada saat marah. Yang namanya akhlak, bukan hanya dapat tersenyum kepada saudara kita saat bersama teman-teman, bersama orang-orang yang duduk di majlis, tetapi akhlak adalah yang dapat kita bawa dalam setiap keadaan dan pada setiap tempat.
Ayyuhal Ikhwan, Allah Ta’ala menyifati Dzat-Nya dengan sifat al ‘afuu (Yang Maha Mengampuni). Sifat ini adalah salah satu sifat yang sangat agung dan mulia. Maksud sifat Allah al ‘afuu adalah Allah membiarkan hamba-Nya, mengampuni mereka yang berbuat kesalahan dan tidak menimpakan adzab atasnya secara spontan kala mereka durhaka pada-Nya. Kita memohon pada Allah agar menaungi kita dengan segala ampunan dan kemurahan-Nya.
Ayyuhal Ikhwan, ketika mendengar beberapa sifat ini, mungkin yang manjadi pertanyaan dalam diri adalah apakah kita memiliki sifat-sifat tersebut? Atau kita termasuk orang yang ketika melihat hal ini ternyata akhlak tersebut tidak banyak melekat dalam diri hingga ketika berurusan dengan orang lain, kita sampai bertikai dan membuat hitung-hitungan dengan mereka.
Banyak diantara kita yang rancu membedakan antara membela diri sendiri (al-intishar ‘ala an-nafs) dan membela agama. Kadang balas dendam kepada orang lain dikamuflasekan atas nama agama, aqidah dan keimanan. Namun pada hakikatnya dia hanya membela diri sendiri, dan untuk memuaskan hawa nafsunya, lalu merasa membela Allah Ta’ala. Ada juga yang kemudian mengatasnamakan ‘izzah(kemuliaan jiwa). Mungkin dia mau menunjukkan bahwa orang mukmin adalah orang yang memiliki ‘izzah, karena ‘izzah itu milik Allah Ta’ala, rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman. Namun, dalam prakteknya, kadang dia membalas dendam dan tidak terima dengan semua ejekan atau hal-hal yang menjatuhkan harga dirinya, yang sebenarnya bukan atas nama kemuliaan sebagai seorang mukmin tapi karena dia tidak rela namanya disinggung kemudian diejek oleh orang lain.
Banyak orang rancu atau mencampuradukkan antara sikap mempertahankan diri sendiri serta hawa nafsunya dan mempertahankan agama, juga kemuliaan sebagai seorang mukmin atau kemuliaan pribadinya. Hingga apabila marah dan membalas, dia menyangka hal ini dalam rangka mempertahankan jati diri-nya sebagai seorang mukmin. Padahal sebenarnya dia mempertahankan hawa nafsunya, lalu mengais-ngais pembenaran melalui firman Allah Azza Wa Jalla,
وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنتَصِرُونَ
“Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri.” (Qs: As-Syura : 39).
Padahal sudah ma’lum, bahwa ayat ini dan ayat-ayat lain yang semisal, menjelaskan tentang keutamaan sikap ‘afuu, sikap pemaaf kepada orang yang menyakiti dan merendahkan diri kita. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka orang-orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang amat setia“.(Qs: Fushilat : 34).
Dan tiada yang sangup atau diberikan sifat tersebut kecuali orang-orang yang sabar. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar, dan tidak dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar”. (Qs: Fushilat : 35).
Akan tetapi, datang-lah setan mendorongnya untuk membela dirinya dan beranggapan jika tidak dilakukan pembelaan ini, ia akan dianggap lemah, manusia akan mencelanya dengan mengatakan dirinya “lemah” atau “kurang”. Padahal AllahJalla Wa ‘Ala berfirman,
وَإِمَّا يَنزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dan jika syaitan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.( Qs: Fushilat : 36).
Berapa banyak orang-orang lupa, bahwa Allah Ta’ala menyifati diri-Nya dengan sifat ini serta memberi pujian bagi orang-orang yang mau melakukannya.
Ayyuhal Ikhwan, banyak sekali contoh dari sikap salufus shalih yang patut kita teladani berkaitan dengan sifat ‘afuu. Di sini kami tidak banyak gunakan sebagai contoh dari Rasulullah shallallahu alaihi wasalam, lantaran beberapa sebab.Pertama, karena akhlak Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah akhlak Al-Quran, sebagai mana disampaikan Ummul Mu’minin A’isyah radhiallahu anha, “Sungguh akhlak beliau (Nabi shallallahu alaihi wasallam) adalah al-Quran.” Karena akhlak beliau adalah Al-Quran, maka jelas kita meyakini bahwa dari sisi akhlak beliau-lah yang paling mulia, paling lapang dada dan berjiwa besar. Kedua, agar orang tidak beralasan, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dapat bersifat lapang dada, berjiwa besar dan mudah memaafkan karena beliau adalah rasul, maksum dan telah disucikan oleh Allah Ta’ala. Beliau telah disucikan dari bagian setan, dibersihkan dadanya dari bagian-bagian setan pada masa kecil dan saat isra’ dan mi’raj. Dimana hal ini kemudian dijadikan sebagai alasan untuk membenarkan perbuatan-perbuatan salahnya. Olehnya, kami mengangkat contoh dari kehidupan para salafus shalih agar orang tidak beralasan dengan alasan-alasan tersebut di atas. Dan agar kita dapat menakar seberapa jauh akhlak kita dibanding akhlak mereka. Yang paling penting adalah, kita mau merubah akhlak dan tidak perlu melihat contohnya dari siapapun. Artinya, kendati contohnya bukan dari Rasulullahshallallahu alaihi wasallam, yang utama di sini adalah upaya untuk memperbaiki akhlak kita.
Ayyuhal ikhwan, cobalah uji bagaimana sikap kita terhadap orang yang berbeda dengan kita, yakni berbeda dalam aqidah dan manhaj. Apakah sikap setiap kita seperti dicontohkan para salafus shalih atau tidak? Sekarang kita lihat orang yang tidak memiliki keimanan sama sekali, maka sebagimana keyakinan Ahlu Sunnah wal Jamaah kita tidak boleh memberikan wala’ sedikitpun kepada orang tersebut.
لا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” (Al Mujaadilah:22).
Berbeda dengan orang yang pada dirinya masih terdapat amal shalih dan amal sayyi’(amal yang tidak baik), terkumpul padanya syubhat, bid’ah, kesesatan atau syahwat, serta kebaikan dan maksiat, maka wala’ dan baro’ kita terbagi, tidak diberi al-wala’seratus persen, dan tidak pula diarahkan padanya al-baro’ seratus persen. Sebab aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah dalam masalah ini jelas, bahwa kita mencintai seseorang sesuai kadar keimanan dan ittiba’-nya pada sunnah, dan kita benci pada orang yang sama sesuai kadar penyimpangannya dari syariat ini.
Inilah yang kadang menjadi rancu pada sebagian orang ketika bermuamalah dengan orang lain yang berbeda. Seharusnya diberikan sikap yang menjadi ciri aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah terhadap orang yang dalam dirinya ada keimanan dan maksiat, keimanan dan bid’ah, keimanan dan syubhat, maka wala’ kita tidak diberikan seratus persen dan tidak juga ditinggalkan keseluruhannya. Yang diarahkan padanya wala’ secara sempurna hanyanya kepada orang yang beriman dengan sempurna. Adapun terhadap orang yang beriman namun masih tercampur amal shaleh dan amal buruk, masih ada dalam dirinya bid’ah maka wala’ kita tidak diberikan seratus persen. Kita mencintai seseorang sesuai kadar keimanan dan ittiba’-nya terhadap sunnah, dan membenci sesuai kadar penyimpangannya dari sunnah. Sayangnya, inilah yang digunakan sebagai alasan oleh orang untuk membela dirinya dengan mengatasnamakan dien, agama, dan sunnah.
Bercerminlah pada diri Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, Imam Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Beliau dirantai dan disiksa dari satu penjara ke penjara lain. Didera pada siang hari di bulan Ramadhan dalam keadaan berpuasa. Dijebloskan dalam penjara sementara darah segar masih menetes dari tubuhnya. Semua ini terjadi saat fitnah khalqil Quran (para ahlu bid’ah dan penguasa memaksa Imam Ahmad mengatakan “al-Quran itu makhluk”, padahal al-Quran bukan makhluk akan tetapi Firman Allah). Kita perhatikan, ketika beliau marah, marahnya bukan untuk membalas. Beliau marah bukan untuk hawa nafsunya, akan tetapi marahnya karena Allah Ta’ala. Makanya tidak berat beliau mengatakan ”Semua yang pernah membicarakan-ku maka mereka semua halal dan aku maafkan. Dan aku-pun memaafkan Abu Ishaq (Raja Mu’tashim yang telah memenjarakan dan menyiksanya dengan siksaan berat).” Dan kemudian beliau mengatakan “Aku maafkan Abu Ishaq, sebab aku melihat firman Allah Ta’ala:
وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلا تُحِبُّونَ أَن يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ
Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?” (QS. An Nuur: 22).
Tidakkah kita melihat, Allah Ta’ala maha pengampun lagi maha pemurah. Jadi, ini menunjukkan bagaimana Allah Ta’ala memerintahkan hamba-hamba-Nya memberi maaf kepada orang lain. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan Abu Bakar radhiallahu anhu untuk memberi maaf sebagaimana dalam kisah tuduhan palsu pada diri ‘Aisyah radhiallahu anha, yang oleh kaum munafiqin difitnah telah melakukan perbuatan zina dengan salah seorang shahabat.
Apa manfaatnya bagi diri kita jika seandainya Allah Ta’ala mengadzab seseorang hanya untuk kepentingan kita? Atau untuk memuaskan hawa nafsu dan membalas dendam kita?
Imam Ahmad rahimahullah telah disiksa dan diperlakukan secara zalim. Namun beliau tidak pernah membuka lagi catatan-catatan masa lalu saat ketika disiksa, tidak ingin mengingat orang-orang yang dahulu pernah terlibat dalam penyiksaan beliau, serta tidak pernah mengungkit-ungkit lagi bahwa “si fulan yang dulu mengejek saya, si fulan yang dulu begini dan begitu”. Beliau tidak membuat perhitungan dengan orang-orang tersebut, bahkan menghamparkan pintu maaf yang seluas-luasnya bagi semua orang-orang tersebut.
Contoh lain yang sangat mulia adalah perkara Syaikhul Islam Ibnu Taimiyahrahimahullah yang divonis kafir dan difatwakan bahwa darahnya halal oleh para ulama di zamannya. Beliau dicampakkan dari satu penjara ke penjara lain kemudian disiksa dari waktu ke waktu. Namun setelah beliau bebas, beberapa ahlu bid’ah dan orang-orang yang ingin membela beliau datang memohon maaf pada beliau.
Salah satu musuh utama beliau adalah seorang ulama Madzhab Maliki yang bernama Ibnu Makhluf. Ia wafat pada masa Ibnu Taimiyah. Salah satu murid Ibnu Taimiyah, yakni Ibnul Qayyim al-Jauziyyah mengetahui prihal kematian Ibnu Makhluf, lalu bersegera menemui Ibnu Taimiyah dan menyampaikan kabar gembira ini. Akan tetapi, lihatlah reaksi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah kala menyaksikan muridnya memberitahukan kematian musuh besarnya, kita lihat apakah beliau sujud syukur? Apakah beliau mengatakan ‘Alhamdulillah‘ maha suci Allah yang telah menyelamatkan kaum muslimin dari kejahatannya’? Tidak, tidak seperti yang dilakukan oleh orang-orang sekarang. Syaikhul Islam terhadap musuh besarnya, Ibnu Makhluf saat meninggal beliau tidak sujud syukur, tidak pula mengucapkan kalimat-kalimat yang menggambarkan kebenciannya. Tidak seperti yang dilakukan oleh sebagian orang sekarang. Begitu bencinya kepada seseorang sehingga ketika mendengar kabar kematian orang yang dibencinya, ia mengeluarkan ungkapan-ungkapan yang tidak layak diucapkan oleh seorang muslim.
Bahkan Syaikhul Islam menghardik Ibnul Qoyyim kemudian mengingkari perbuatannya karena menyampaikan kegembiraan atas kematian musuh besar beliau, lantas beliau mengucapkan kalimat istirja’, “inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’un”,dan bersegera mengunjungi rumah Ibnu Makhluf, berta’ziah dan kemudian mengatakan kepada keluarga, anak dan istri Ibnu Makhluf, “Sungguh saat ini status saya seperti bapak bagi kalian. Tidak ada sesuatu pun yang kalian butuhkan melainkan aku akan berusaha memenuhi kebutuhan kalian.” Akhirnya mereka, keluarga Ibnu Makhluf, senang dan menghadiahkan doa bagi Syaikhul Islam.
Perhatikan keadaan musuh besar beliau. Dan kita tahu, kalau seorang itu musuh besar Ibnu Taimiyah, pasti orang ini aqidah-nya bermasalah. Namun ketika meningggal dunia, Syaikhul Islam mendatangi rumahnya dan menyampaikan bahwa mulai hari ini semua kebutuhan keluarganya menjadi tanggungan Syaikhul Islam. Pertanyaannya, siapa diantara kita yang bisa berbuat seperti ini?! Siapa diantara kita yang ketika musuhnya meninggal lalu mendatangi keluarganya, mendatangi anak-anaknya kemudian berta’ziah kepada mereka? Siapa diantara kita yang bisa sampai mengatakan, bahwa tidak ada keperluan yang kalian butuhkan melainkan aku akan penuhi kebutuhan tersebut? Siapa diantara kita yang bisa berbuat seperti itu?! Hanya orang-orang yang berjiwa besar. Bahkan kalau kita mau jujur, tidak hanya itu, bahkan kepada teman dekat pun kita belum bisa berbuat seperti itu apalagi terhadap musuh.
Sekarang kalau kita mau jujur pula, jangankan musuh kepada teman kita saja tidak seperti itu. Ini bukti bahwa ukhuwah kita buruk sekali. Kalau teman kita ada yang terkena musibah seperti itu, diantara kita siapa yang dapat berlaku dan berbuat seperti itu? Ada teman yang keluarganya meninggal, maka saksikanlah, adakah diantara kita yang datang kepada keluarganya dan mengatakan “saya akan memenuhi kebutuhan kalian”.
Yah, Syaikhul Islam rahimahullah mendatangi orang yang telah menfatwakan dirinya telah kafir. Ini bukti bahwa orang itu sangat amat mememusuhi Syaikhul Islam. Jika kita katakan dia ahli bid’ah, tentu sifat-sifat ini ada pada diri Ibnu Makhluf. Akan tetapi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah bersikap lebih besar dari itu, dan ini sekali lagi menunjukkan bahwa beliau bukan seorang yang berjiwa kerdil.
Ayyuhal Ikhwan, seandainya perangai kita seperti akhlak ini, tentu kita dapat lebih banyak meraih hati orang. Tetapi kadang kita memperlakukan mereka (orang yang berbeda dengan kita atau orang yang menyakiti kita) seperti dalam ayat-ayat yang Allah tegaskan, bahwa ia ditujukan kepada kaum munafiqin. Yakni, tidak boleh istigfar(memohonkan ampunan) untuk mereka, tidak boleh menyolatkan mereka, tidak boleh (ikut) menguburkan mereka dan selainnya. Celakanya, hukum-hukum ini kita aplikasikan kepada orang yang kami sebutkan (dan masih berstatus sebagai seorang mukmin).
Yah, kadang kita bermuamalah pada sebagian kaum muslimin dengan model muamalah seperti disebutkan dalam al-Qur’an, yakni muamalah dengan orang munafiqin. Kita menjadi orang-orang yang asyida’ alal Mu’minin[orang yang sangat keras kepada orang mukmin]. Kita menjadi orang-orang yang keras kepada ahlu iman padahal Allah Ta’ala menyifati orang-orang mukmin dan para shahabat yang bersana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai orang-orang yang Asyida’ ‘alal kuffar ruhamaa’u bainahum [keras terhadap kaum kuffar dan saling berkasih sayang di antara mereka (kaum mukminin)]. Sayangnya, kita kemudian menjadi orang yang terbalik. Kepada orang-orang yang beriman kasarnya luar biasa, namun kepada orang-orang kafir tidak ada sikap keras (sebagai bentuk ‘izzah).
Perhatikahn, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang telah mencapai kesempurnaan dan kemuliaan akhlak masih saja diperintahkan oleh Allah Ta’ala bersikap lemah lembut, sebagaimana dalam firman-Nya:
وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظً الْقَلْبِ لَا نْفَضُوْا مِنْ حَوْلِكَ
Seandainya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu
Ayat ini diturunkan kepada nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebagai pelajaran bagi beliau dan selainnya. Jika saja Rasul berbuat kasar tentu orang akan lari darinya, maka bagaimana dengan yang bukan rasul. Padahal Rasul mendapat banyak dukungan untuk kemudian diterima dakwahnya, beliau mendapat wahyu, ma’sum, memiliki akhlak yang mulia, dan sebagiainya. Dan disamping itu semua, tetap saja masih diperintahkan bersikap lemah lembut, hingga Allah Ta’ala tegaskan:
وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظً الْقَلْبِ لَا نْفَضُوْا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَ اسْتَغْفِرْ الَهُمْ وَ شَاوِرُهُمْ فِي الْآَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى الله
“Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu (urusan peperangan dan hal duniawiah yang lain). Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekat, maka bertawakallah kepada Allah ( Qs: Al Imran : 159).
Sekarang mari kita tengok contoh ketiga, yakni dari diri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, saat bermuamalah dengan Abdullah bin Ubay bin Salul. Abdullah bin Ubay terkenal sebagai tokoh kaum munafiqin di masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Semua orang tahu, bahwa Abdullah bin Ubay ini adalah ra’sul munafiqin,imamnya orang-orang munafiq, sebagaimana ditunjukkan oleh sikapnya terhadap Islam. Saat perang Muraysi’ pecah, dia mengatakan, “Perumpamaan kita dengan Muhammad dan para shahabatnya adalah seperti kata pepatah, “beri makan terus anjingmu, nanti kalau sudah besar ia akan memangsamu.” Artinya, ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para shabatnya kita beri kesempatan, mereka akan menindas kita. Ini kata Abdullah bin Ubay dan orang-orang munafiq yang bersamanya. Ia juga mengatakan “jangan kalian infakkan apa yang ada ditangan kalian kepada orang-orang yang bersama Muhammad supaya mereka menjauh dari Muhammmad.” Demikianlah ucapan Abdullah bin Ubay, dan ini hanya sebagian dari sikap mereka (yang menyakitkan) terhadap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para shahabatnya, agar jangan diberikan apapun dan agar mereka tidak betah dan memutuskan keluar dari Madinah.
Coba kita perhatikan tatkala Abdullah bin Ubay meninggal, apa yang dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam? Beliau mendatangi kuburnya. Memberikan pakaian beliau kepada putranya, dan kemudian memberi kain untuk dijadikan kafan untuk Abdullah bin Ubay. Padahal orang ini ra’sul munafiqin, imamnya orang-orang munafiq, jelas-jelas orang munafiq, bahkan ditegaskan oleh nash, namun Rasulullah tetap datang ke kuburnya. Kemudian kita lihat ia bukanlah hanya sekedar orang munafiq, bahkan merupakan ra’sul munafiqin, tetapi masih diberikan kain kafan, didatangi kuburnya dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memintakan ampun kepada Allah Ta’ala. Coba bayangkan, beliau mendatangi kuburnya dan memintakan ampun kepada Allah untuk imamnya orang-orang munafiq, hingga turun firman Allah yang melarang Rasul demikian.(memintakan ampunan). Disini dapat kita saksikan ketinggian jiwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk memintakan ampun kepada orang yang selama ini menyakiti beliau. Kalau sendainya itu terjadi pada kita, mungkin kita akan mengatakan “mampus, biar sekalian mati!!”, akan tetapi, beliau memohonkan ampunan, baru setelah itu turun larangan memintakan ampun untuk orang-orang munafiq dan orang kafir,
إِنْ تَسْتَغْفِرُ لَهُمْ سَبْعِيْنَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللهُ لَهُمْ
Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan merberi ampun kepada mereka (Qs: al-Taubah : 80).
Berkenaan dengan ayat ini, beliau bersabda: “Seandainya saya tahu, jika beristighfar lebih dari tujuh puluh kali akan diampuni, saya akan melakukan lebih dari tujuh puluh kali” atau sebagaimana sabda beliau shallallahu alaihi wasallam. Ini kepada imamnya orang-orang munafiq, seandainya beliau memintakan ampun lebih dari tujuh puluh kali akan diampuni, niscaya beliau akan melakukannya. Lihat akhlak Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam terhadap imamnya orang-orang munafiq. Kepada orang yang sudah lama sekali mengganggu dan menyusahkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam serta orang-orang yang bersama beliau. Orang inilah yang telah membuat tuduhan palsu kepada ‘Aisyah radhiallahu anha,dia juga yang mencemarkan kehormatan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Sekali lagi, bercerminlah pada sosok mulia seperti ini, beliau masih mau mendatangi kuburnya, lalu memberikan kain kafan seraya memintakan ampun kepada Allah Ta’ala. Siapa diantara kita yang bisa berjiwa besar seperti ini?
Jangan difahami bahwa kita ingin mengaburkan aqidah wala’ wal bara’ seperti yang telah kita sebutkan di atas. Harus dipahami aqidah wala’ wal bara’ mana yang dinamakan aqidah wala’ wal bara’ itu, bagaimana sikap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para Salafus Shalih berkaitan dengan orang-orang yang berbeda atau menyimpang. Harus dibedakan antara wala’ dan bara’ dengan hawa nafsu. Al wala’ wal bara’ jalas ada dalam hati kita. Sikap terhadap orang lain, kemudian hawa nafsu kita juga sesuatu yang lain, adalah dua hal yang harus dibedakan.
Seorang da’i tidak pantas memiliki sifat-sifat seperti ini (intishar ala an-nafsi dan keras terhadap sesama muslim). Kalau da’i seperti ini, kerusakan akan lebih besar daripada manfaat. Dimana ia mendoakan kejelekan bagi si fulan pada sepertiga malam terakhir, kemudian melaknat fulan, mencaci maki fulan dan menyatakan bahwa Allah Ta’ala tidak mungkin memberikan ampun kepadanya. Orang semacam ini lebih pantas memperbaiki dirinya sendiri dahulu, baru kemudian memperbaiki orang lain. Karena bisa jadi, mafsadatnya jauh lebih besar daripada maslahatnya bagi orang lain (baca: ummat). Sebab dia sendiri belum berhasil memperbaiki diri dan jiwanya, hingga ketika dia memperbaiki orang lain tentu akan lebih berat. Karena kenyataannya, yang terjadi hanya bermasalah dengan si fulan, kemudian bermusuhan dan bertikai dengan orang lain dan seterusnya.
Saat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sakit menjelang wafatnya, di dalam penjara dan bukan di rumah, beliau dicegat melakukan seluruh aktivitas hingga tidak diberikan pena untuk menulis. Walau demikian, beliau tetap menulis, memberi fatwa kepada kaum muslimin, hanya dengan mengunakan arang hingga akhirnya beliau dilarang menulis sama sekali. Segala aktivitasnya diawasi oleh Ahlu Bid’ah lalu disampaikan kepada penguasa.
Hingga suatu ketika sebagian ahlu bid’ah ini mendatangi Syaikhul Islam di dalam penjara, lalu memohon maaf kepada Syaikhul Islam, lantaran menjadi sebab Syaikul Islam dijebloskan dalam penjara. Maka lihatlah, ikhwah fillah, bagaimana jiwa besar beliau. Tenang beliau mengatakan: “Aku telah maafkan Anda, Aku juga sudah memaafkan Raja Nashir yang memenjarakan saya”. Beliau memaafkan orang yang memasukkan beliau ke penjara, serta semua orang yang menjadi sebab beliau masuk penjara.

Alhamdulillah, segala puja dan puji hanya milik Allah Ta’ala. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah atas junjungan kita Nabi besar Muhammad shallallahu alaihi wasallam, keluarga, para sahabat dan segenap pengikutnya hingga hari kiamat kelak.
Pembaca budiman, sebagai bukti kesungguhan kami melahirkan suasana akhlak dan perangai terpuji bagi segenap pegiat dakwah Ahlu Sunnah, maka di tengah kesibukan dan kerja dakwah yang menumpuk, kami tetap berupaya merampungkan terjemahan muhadharah “Akhlaq al-Kibar” [Akhlak Orang yang Berjiwa Besar] olehFadhilatus Syaikh Dr. Khalid bin Utsman as-Sabt. Demikian pula, kami berusaha memberi catatan kaki yang dapat memudahkan pembaca sekalian ruju’ [kembali] pada sumber aslinya. Tentunya, hal ini dipantik banyaknya tuntutan dari sebagian ikhwah yang mengharapkan kelanjutan edisi ceramah beliau tersebut,jazakumullahu khairan..
Disamping kami yakin, peran dan kedudukan akhlak yang mulia dalam kehidupan, khususnya dakwah ilallah begitu urgen. Karenanya, diantara tujuan diutusnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah untuk menyempurnakan akhlak yang baik.[1] Demikian pula, bahwa ternyata begitu banyak bukti yang menunjukkan, bahwa keberhasilan dakwah tegak di atas landasan dan pengaruh akhlak mulia, yang disaksikan langsung oleh mad’u. Satu hal yang perlu kami tegaskan, lantaran terjemahan ini berpijak atas ceramah yang sifatnya audio, maka bahasa [terjemahan]nya-pun tidak keluar seratus persen dari uslub ceramah. Akhirnya, buat pembaca sekalian, selamat menyimak…
….Yunus Ash-Shadafi rahimahullah mengisahkan tentang Imam Asy-Syafi’irahimahullah: “Saya tak pernah mendapati seorang yang paling hebat dari Asy-Syafi’i. Pernah suatu hari saya ber-munazharah [berdebat] dengannya dalam satu masalah kemudian berpisah. Saat bertemu, beliau lantas menggenggam tanganku seraya berkata: Wahai Abu Musa!, salahkah jika kita tetap menjadi saudara, kendati tidak sependapat dalam satu masalah?”.[2]
Perhatikan pula contoh lain yang tak kalah mengagumkan dari Imam Ibnu Hubairahrahimahullah, seorang menteri yang sangat alim. Beliau dikaruniai wizarah [jabatan menteri], ilmu yang luas dan fiqih sekaligus. Disamping memiliki majelis yang dipadati para ulama dari seluruh madzhab yang empat.
Suatu hari, dalam majelisnya, beliau menyebutkan satu masalah yang termasukmufradat Imam Ahmad bin Hambal. Tiba-tiba bangkit salah seorang fuqahaMalikiyah, Abu Muhammad al-Asyiiri rahimahullah seraya berkata, “Tidak! Imam Malik juga mempunyai pendapat demikian”.
Ibnu Hubairah rahimahullah terpaksa menghadirkan banyak kitab seraya berkata: “Kitab-kitab ini menyatakan, bahwa masalah ini termasuk pendapat yang hanya berasal dari Imam Ahmad, dan tidak dari ketiga imam lain-nya”.
Namun Abu Muhammad al-Asyiiri tetap pada pendiriannya, ”Tidak, pendapat ini juga dikatakan oleh Imam Malik.” Para ulama yang hadir dalam majelis saat itu berusaha meyakinkan, “Sungguh pendapat ini hanya bersumber dari Imam Ahmad, ketiga imam lainnya tak mempunyai pendapat semacam ini”.
“Tidak!, Pendapat ini telah dikatakan oleh Imam Malik”, sergah Abu Muhammad al-Asyiiri.
Maka Ibnu Hubairah rahimahullah marah dan menghardik, “Apakah anda ini binatang?!, Tidakkah anda mendengar pernyataan para ulama yang menyatakan bahwa masalah ini termasuk Mufradat Imam Ahmad, dan kitab-kitab ini juga menjadi saksinya?! Bagaimana anda tetap bersikukuh atas perkataan anda?!. Setelah itu majelis bubar.
Ikhwah fillah, bayangkan seandainya anda berada dalam majelis ini. Bayangkan seandainya anda termasuk salah satu dari kedua pihak itu. Bayangkan jika anda Ibnu Hubairah dan bayangkan pula jika anda adalah Abu Muhammad al-Asyiiri. Seandainya cuma anda berdua dan tidak ada orang lain, apakah anda akan menemuinya lagi?! Apakah anda akan mendatangi majelisnya?! Apakah anda menghadiri lagi kajiannya? Kemudian bagaimana sikap anda jika dia mengatakan hal itu kepada anda di depan banyak orang ?! Bisakah anda tidur pada malam itu?! Apakah anda berpikir untuk kembali lagi pada majelis itu?!
Namun pada hari berikutnya…Saat Ibnu Hubairah rahimahullah duduk di majelisnya dan hadir pula para ulama yang selalu bersama beliau. Sebagaimana biasa, sang pembaca absen memanggil satu persatu nama ulama yang hadir dan tidak. Kala nama Abu Muhammad al-Asyiiri disebut, Ibnu Hubairah rahimahullah tertegung dan berseru, “Tolong, berhenti sebentar!”. Tenyata Abu Muhammad al-Asyiiri pun tetap hadir. Seolah tidak pernah terjadi sesuatu di antara mereka berdua.
Ibnu Hubairah melanjutkan: “Kemarin al-Faqih Abu Muhammad al-Asyiiri mengeluarkan suatu pernyataan. Lalu saya mengatakan ucapan kurang pantas terhadapnya. Olehnya hari ini saya mohon kepada anda, wahai Abu Muhammad Al-Asyiiri, agar mengatakan hal yang sama terhadapku seperti yang telah saya ucapkan kemarin”.
Wahai saudara sekalian…Perhatikan ucapan beliau!, ”Maka hendaklah ia mengatakan hal yang sama terhadapku seperti yang telah saya katakan kemarin”, karena saya bukanlah yang terbaik dari kalian. Dan tidaklah saya melainkan individu dari kalian, yang juga sama seperti kalian”.
Kemudian, perhatikan pula pengaruh ucapan Ibnu Hubairah ini? Padahal perkataan kemarin hanya sebuah plesetan kata yang keluar tanpa sengaja. Abu Muhammad al-Asyiiri juga tidak menderita kerugian sedikit pun. Sebab ia hanya sebuah ucapan Ibnu Hubairah secara spontan.
Akhirnya majelis itu penuh dengan isak tangis. semua ulama menangis. Mereka begitu terharu dengan akhlak Ibnu Hubairah rahimahullah yang mulia ini. Majelis pun ramai dengan lantunan pujian dan doa buat Ibnu Hubairah lantaran keluhuran dan ketinggian akhlaknya
Bahkan Abu Muhammad al-Asyiiri sadar dan minta maaf, “Sayalah yang bersalah, mana mungkin saya membalas anda!”. Namun Ibnu Hubairah rahimahullah terus berkata, ”Tidak!, Anda harus tetap membalas dan meng-qishash saya”.
Akhirnya salah seorang ulama menengahi, ” Wahai tuan! Jika dia tidak mau membalas qishas, anda harus memberi jaminan padanya”. Ibnu Hubairah berkata: “Sekarang keputusan ada padanya. Wahai Abu Muhammad, berilah keputusan yang anda kehendaki!”.
Abu Muhammad al-Asyiiri menimpali, “Kebaikan anda padaku sangat banyak. Maka keputusan apakah yang mesti saya berikan?”.
“Anda tetap harus memberikan keputusan, karena saya terlanjur mengatakan ucapan buruk kepada anda”. Cegat Ibnu Hubairah.
“Baiklah, “Saya memiliki sisa hutang yang belum terlunasi sejak berada di Syam”.
“Anda diberi seratus dinar demi mengangkat dosa dan tanggungan saya”. Ujar Ibnu Hubairah. Lalu dinar-dinar itu diserahkan pada Abu Muhammad Al-Asyiiri, dan Ibnu Hubairah berkata, “Mudah-mudahan Allah memaafkan dan mengampuni anda dan saya”.[3]
Wahai saudara sekalian …Apakah kita juga seperti ini?! Jika dalam suatu majelis terjadi peristiwa tadi, maka bagaimana kelanjutannya?! Sudah jelas. Akan terjadi permusuhan di antara kita hingga Hari Kiamat. Hati menjadi sangat panas, benci, dan ingin membalas orang ini. Mudah-mudahan Allah melindungi kita semua.
Padahal itu hanyalah beberapa kata yang oleh Abu Muhammad al-Asyiiri tidak menderita kerugian apa pun. Justru ia semakin mulia kedudukannya. Wahai saudara sekalian…kita membicarakan ini setelah berabad-abad dan beratus-ratus tahun berlalu. Jika masalah ini tidak selesai pada saat itu dan masih menjadi dendam di antara mereka hingga saat ini, maka apa yang bakal terjadi?!
Kalian jangan seperti ini. Berlakulah layaknya Ibnu Hubairah rahimahullah. Jangan menjadi kerdil! Jangan rela menjadi orang rendah! Dan Jangan kembali pada asal kalian![4] Campakkan hawa nafsu dan kepentingan pribadi.
Peristiwa ini berkaitan dengan masalah ilmu. Bagaimana jika berkaitan dengan perkara tidak mengenakan dalam kehidupan sehari-hari, dalam hubungan bersama masyarakat, dalam perdagangan, dan hal-hal lain yang setiap orang pasti menemuinya?! Berupa sikap tidak memenuhi hak orang lain, kezhaliman, perkataan tidak mengenakan dari orang lain. Keburukan dan banyak hal lain yang mungkin kebanyakan manusia tidak kuat menahannya!
Jadi apa yang mesti kita lakukan?!…Wahai saudaraku! Carilah jawabannya pada diri anda. Jangan menoleh kepada orang lain. Apa sikap anda jika seseorang mengatakan sesuatu tidak baik pada anda atau menjelek-jelekkan kehormatan anda?! Apa yang bakal anda perbuat?! Apakah anda berazam untuk menancapkan tombak permusuhan atas dirinya?!
Dalam kaitan ini, Imam Asy-Syafi’i rahimahullah memberi wasiat kepada Yunus Ash-Shadafi rahimahullah, dan ini pula merupakan wasiat bagi kita. Yaitu, ”Wahai Yunus! Jika sampai padamu sesuatu yang tidak kamu sukai dari sahabatmu, maka sekali-kali jangan langsung menancapkan permusuhan dan memutus tali persahabatan dengannya. Karena dengan demikian, kamu telah menghilangkan sesuatu yang yakin dengan sesuatu yang meragukan. Tetapi temui dia dan katakan bahwa sampai padaku dari kamu perkataan ini dan itu. Dan jangan sampai kamu menyebut nama orang yang menyampaikan kabar itu kepadamu.
Jika dia mengingkari hal itu maka katakan bahwa kamu di sisi saya adalah lebih jujur dan lebih benar, lalu tinggalkan permasalahan itu (tanpa menyelidikinya)
Tetapi jika dia mengakui hal itu, dan kamu melihat ada satu udzur yang bisa dijadikan sebagai asalan maka terimalah udzur tersebut. Jika kamu tak mendapati adanya udzur maka tanyakan: Apa yang kamu inginkan dari perkataan yang sudah saya dengar ini? Jika dia menyebutkan suatu udzur yang pantas maka terimalah udzur tersebut. Tetapi jika dia tak mempunyai udzur dan kamu tak memiliki jalan keluar lagi, maka tetapkan bahwa itu adalah satu kesalahannya. Setelah itu kamu bebas memilih. Jika mau, kamu bisa membalasnya secara sepadan tanpa tambahan. Dan jika mau kamu bisa memaafkannya. Dan pemberian maaf adalah lebih dekat kepada takwa dan lebih bermurah hati, sebagai firman Allah: “Balasan suatu keburukan adalah keburukan yang setimpal, tetapi barang siapa memaafkan dan mengadakan perbaikan maka pahalanya ada pada Allah“. (QS. Asy-Syuura:40)
Jika jiwamu memaksa untuk membalas maka pikirkanlah kebaikan-kebaikan yang dulu diberikannya padamu. Hitunglah kebaikan-kebaikan itu dan gantilah keburukan tadi dengan membalas kebaikan-kebaikannya yang sangat banyak. Sekali-kali jangan melupakan kebaikan-kebaikannya yang lalu gara-gara satu kesalahan ini, karena perbuatan itu tak lain kecuali suatu perbuatan zhalim.
Wahai Yunus! Jika kamu memiliki sahabat maka genggamkan kedua tanganmu padanya. Sebab mencari sahabat adalah susah dan menghilangkannya sangat mudah.”[5]
Tetapi masalahnya, wahai saudara sekalian…Terkadang ada seseorang yang menanggapi suatu perkataan (karena salah paham) dengan tanggapan yang sangat buruk. Padahal orang itu tidak mempunyai maksud apa-apa dalam mengatakannya. Namun orang yang merasa dikatai menjadi sangat marah dan dendam.
Sementara pihak yang dianggap berkata buruk, hatinya benar-benar kosong dan tak pernah terbersit sedikit pun untuk mengatakan sesuatu yang dianggap pihak kedua sebagai perkataan yang sangat buruk.
Sehingga pihak kedua ini penuh dengan perasaan dendam, sangat marah, ingin sekali membalasnya, dan sampai tidak bisa tidur pada malam itu. Sedangkan pihak pertama tidak memikirkan hal itu sama sekali. Dan ketika mengatakan hal itu, niatnya sangat suci dan bersih, dia tak bermaksud menyakiti siapa pun.
Wahai saudara sekalian…Setiap orang berbeda-beda tingkatannya dalam hal ini. Di antara mereka ada yang menangkap suatu perbuatan baik dengan sebuah keburukan. Dan satu kata yang baik ditangkapnya sebagai satu perkataan yang melukai.
Di antara mereka ada yang menangkap perkataan yang tidak jelas dan masih bisa dipalingkan pada kemungkinan lain, dengan tanggapan yang sangat buruk. Dan di antara mereka ada yang menangkap perkataan sangat buruk, tapi dia menanggapinya sebagai suatu ucapan yang sangat baik. Allah telah memilah-milah tingkatan para manusia. Dan sebagaimana Dia Membagi rizki kepada para hamba, seperti itulah dia membagi-bagi akhlak kepada mereka.
Maka benarlah Raja’bin Haiwah rahimahullah kala berkata:
من لم يؤاخ من الإخوان إلا من لا عيب فيه قل صديقه ومن لم يرض من صديقه إلا بإخلاصه له دام سخطه ومن عاتب إخوانه على كل ذنب كثر عدوه.
Barangsiapa hanya mempersaudara orang yang tidak memiliki aib, maka akan sedikit sahabatnya. Barangsiapa tidak ridha dari temannya kecuali dengan perlakuan yang ikhlas terhadapnya, maka akan kekal kemarahannya. Dan barangsiapa mencaci setiap temannya atas setiap dosa, pasti banyak musuhnya.”[6]
Benar sekali…Pasti akan banyak musuhnya. Sebab manusia adalah makhluk yang sangat zhalim dan sangat bodoh (zhaluum jahuul), otomatis akan lahir darinya beberapa kesalahan dan kekurangan.
Karena itu, jika ada seseorang yang senantiasa memperhitungkan setiap gerakan, ucapan, dan perilaku kawannya…maka sungguh ini adalah suatu hal yang menjadi sangat sulit.
Sekarang tanyakan kepada diri anda! Bagaimana sikap anda terhadap orang yang menebar fitnah terhadap diri anda, ingin menghancurkan karir anda, dan berharap mendatangkan keburukan bagi anda?!
Mari kita perhatikan kisah Ummul Mukminin Shafiyyah radhiallahu anha. Ia memiliki seorang budak perempuan. Budak tersebut datang menghadap Umar bin Khaththabradhiallahu anhu menyampaikan sebuah fitnah dan kebohongan besar. Shafiyyah binti Huyai radhiallahu anha, dulunya memang seorang wanita Yahudi, lalu masuk Islam dan dinikahi oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam. Karenanya, otomatis ia termasuk Ummahatul Mukminin (Ibu para kaum Mukminin).
Pada masa pemerintahan Umar Bin Khaththab, budak perempuan itu datang menghadapnya sambil menyampaikan suatu kebohongan besar. Dia berkata: “Sungguh Shafiyyah sangat mencintai hari Sabtu. Serta menjalin hubungan dengan orang-orang Yahudi.”
Ini merupakan tuduhan buruk. Intinya, Shafiyyah tetap menetapi kebiasaan Yahudi. Sebab hari Sabtu adalah hari raya kaum Yahudi, berarti ia masih mengagungkan dan menyucikan hari Sabtu itu. Jadi pada dirinya mashi ada kelekatan kuat dengan tradisi orang-orang Yahudi.
Namun Umar bin Khaththab radhiallahu anhu tidak bertindak gegabah. Dia juga tidak meyakini bahwa ini suatu kenyataan yang memang benar keberadaannya. Lalu ia memanggil Shafiyyah dan menanyakan hal itu kepadanya. Shafiyyah menjawab: ”Tentang hari Sabtu, maka saya sama sekali tidak menyukainya semenjak Allah menggantikannya dengan hari Jumat. Adapun orang-orang Yahudi, maka saya masih punya sanak kerabat di antara mereka, yang harus tetap saya sambung hubungan. Jadi saya tetap bersilaturrahim dengan mereka.”
Lalu Shafiyyah memanggil budak perempuan itu dan bertanya: ”Apa yang mendorong kamu mengatakan fitnah ini?” Shafiyyah sama sekali tidak mengeksekusi budak tersebut demi mencari pembelaan buat dirinya. Tapi sekadar bertanya: “Kenapa kamu melakukan perbuatan ini?” Budak itu menjawab, “Setan yang menyuruh saya”.
Kemudian Syafiyyah berkata: “Kalau begitu pergilah. Sekarang kamu menjadi orang merdeka. ”Selesai masalahnya. “Pergilah! Sekarang kamu menjadi orang yang merdeka.”[7]
Sekarang, coba anda bertanya kepada diri anda? Seandainya anda pulang ke rumah. Kemudian mendapati pintu rumah telah dicongkel dan barang-barang dalam rumah telah dicuri. Lalu anda memeriksa berkas-berkas penting anda, rupanya berkas-berkas itu sudah hilang dan tercuri juga. Lalu anda keluar menuju mobil, rupaya mobil itu sudah dipecah pula kacanya, dan barang-barang berharganya juga sudah lenyap…Apa tindakan anda?! Apakah anda mendoakan pencuri dan penjahat itu, agar Allah melumpuhkan tangan, kaki, telinga, penglihatan, dan membekukan darah pada peredarannya, serta mendoakan agar dia mengharap segera mati tapi tak bisa mati…?! Inilah tindakan yang terkadang kita lakukan.
Adapun Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu dan orang-orang berjiwa besar lainnya, mereka sama sekali tak pernah melakukan hal itu. Suatu ketika, Abdullah bin Mas’ud keluar ke pasar dan menaruh uang pada lipatan sorbannya. Lalu duduk pada seorang penjual dan membeli makanan darinya. Ketika ia mengangkat tangan untuk mengambil uangnya, ia mendapati uang tersebut telah lenyap. Lalu dia berkata: “Demi Allah! Ketika saya duduk tadi, uang itu ada bersama saya. Tapi sekarang tak ada sama sekali.”
Abdullah bin Mas’ud sangat heran dan kaget. Lalu sebagaimana kebiasaan yang ada pada kita, orang-orang pun berkumpul di sekelilingnya untuk menolong. Memberi simpati dan menghiburnya atas kejadian yang baru saja menimpa. Orang-orang itu mulai mendoakan sang pencuri:” Ya Allah ! Potonglah tangan pencuri yang telah mengambil uangnya!” “ Ya Allah! Hukumlah ia seberat-beratnya.” Dan lain sebagainya. Yang jelas, semua orang yang ada disitu duduk sebentar untuk mendoakan jelek kepada sang pencuri.
Adapun Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu, maka beliau hanya berujar: “Ya Allah! Jika dia mengambil uang saya karena sangat membutuhkannya maka berkahilah ia padanya. Tetapi jika dia melakukan itu karena semata-mata berbuat dosa (tanpa alasan apapun), maka jadikanlah perbuatan ini sebagai dosa terakhir atasnya”.[8]
Selesai!! Itu saja. Tak ada doa agar sang pencuri dipotong tangannya, dilaknati Allah Ta’ala, dilumpuhkan anggota-anggota tubuhnya, dibuatkan mata, dihilangkan telinganya, atau didoakan agar mengharap kematian tapi kemudian kematian itu tak datang-datang, atau agar darahnya dibekukan dan lain sebagainya. Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu sama sekali tak melantunkan doa-doa seperti itu. Justru ia mendoakan kebaikan bagi sang pencuri, bukan mendoakan keburukan atasnya.
Wahai saudara sekalian…Seandainya anda keluar kemudian bertemu seseorang yang tak pernah menjaga hak-hak anda dan tak pernah menghormati anda. Kemudian dia mengucapkan perkataan kotor, mencaci, dan memperdengarkan kepada anda sesuatu yang sangat anda benci. Tindakan apa yang akan anda lakukan?! Anda membalasnya dengan hal yang serupa?! Membalas dendam atau berubah menjadi musuh baginya?
Wahai saudara sekalian…Para pemilik jiwa yang besar, pada situasi-situasi seperti ini akan selalu mengingat firman Allah Ta’ala, “Tolaklah kejahatan itu dengan sesuatu yang paling baik”. (QS. Fushshilat:34). “Idfa’billati hiya ahsan” inilah yang menjadi syi’ar atau semboyan mereka.
Mari kita tengok kisah Ali Zainul Abidin, Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Termasuk pembesar Tabiin. Suatu ketika beliau berada dalam majelis bersama para sahabatnya, dari kalangan ulama, para pemuka, pembesar dan seluruh lapisan masyarakat. Majelisnya padat dengan manusia. Sebab beliau seorang alim, bapak kaum fakir miskin, dan senantiasa menghilangkan kepedihan dan kesengsaraan orang.
Saat beliau sedang duduk di majelis seperti biasanya, sementara antara beliau dan putra pamannya, Hasan bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib, sedang terjadi suatu hal [sengketa] yang biasa terjadi di antara manusia, tiba-tiba Hasan bin Hasan tak mampu menahan diri. Ia segera keluar mencari Ali Zainul Abidin berada dan mendapatinya sedang duduk bersama para sahabatnya di Masjid. Hasan bin Hasan mendekati Ali Zainul Abidin, lalu tiada cercaan dan ucapan buruk sedikit pun kecuali dilemparkan kepada Ali Zainul Abidin yang sedang duduk bersama para sahabatnya itu.
Ali Zainul Abidin diam seribu bahasa. Beliau tidak membalas sepatah kata pun. Ketika Hasan bin Hasan selesai dan puas melampiaskan kemarahannya, ia-pun lantas pergi. Ali Zainul Abidin terus melanjutkan majelisnya. Setelah selesai dari kajiannya, beliau menuju rumahnya. Dan pada malam harinya, Ali Zainul Abidin bergegas menemui Hasan bin Hasan di rumahnya.
Pada kondisi seperti ini, mungkin yang kita perkirakan, Ali Zainul Abidin menyembunyikan pistol di balik bajunya untuk menghajar Hasan tadi. Tetapi Ali Zainul Abidin sama sekali tidak melakukan hal itu. Beliau mendatangi rumah Hasan, mengetuk pintu, dan ketika Hasan bin Hasan keluar, Ali berkata: “Wahai saudaraku! Jika yang tadi kamu katakan tadi adalah benar, maka mudah-mudahan Allah mengampuni saya. Tapi jika kamu tadi berdusta, mudah-mudahan Allah mengampunimu. Assalamu’alaikum.”
Lalu Ali Zainul Abidin berbalik meninggalkan Hasan. Ucapan Ali ini seketika meluluhkan permusuhan yang menghujam dalam dada Hasan bin Hasan. Ia tak mampu menahan dirinya. Sehingga perasaan benci, marah, dendam, dan permusuhan ini beralih menjadi perasaan yang sebaliknya. Ia segera berlari mengikuti Ali Zainul Abidin. Menggenggamnya dari belakang sambil menangis. Lalu berkata, “Engkau tak ada dosa, engkau tak pernah melakukan seperti apa yang saya katakan tadi”.
Maka Ali Zainul Abidin rahimahullah berkata, “Dan saya sama sekali tak marah karena ucapanmu. Saya telah memaafkanmu sejak peristiwa itu terjadi”.[9]
Wahai saudara sekalian…Pada malam itu, masalah tersebut selesai. Ali tidak pergi mengadukan perbuatan Hasan ini kepada orang lain. Beliau tidak mencari-cari kesempatan dari peristiwa yang baru saja ditimpakan padanya untuk membalas dendam dan lain sebagainya.
Pertanyaannya, apakah kita pernah melakukan hal ini?! Ketika anda berada dalam masjid, pesta, perkumpulan, rapat, dan lain sebagainya, lalu datang seseorang dan menghabisi anda dengan perkataan yang buruk. Berbagai ucapan jelek dilontarkan kepada anda…bagaimanakah sikap anda terhadap orang tersebut?
Jika anda termasuk orang-orang yang berjiwa besar maka maafkanlah ia dan anggap kesalahan itu tidak pernah terjadi. Karena itulah, sebagian ulama berkata kepada orang yang mencaci-makinya dengan sangat keras, “Wahai kawan! Jangan terlalu keras memaki kami, sisakanlah satu tempat untuk berdamai (di antara kita), sisakanlah satu tempat untuk berdamai (di antara kita). Karena kami tidak membalasi orang yang bermaksiat kepada Allah atas kita, dengan lebih banyak dari ketaatan kami kepadaNya”.[10]
Seandainya ada seseorang yang berbuat kurang ajar, memukul anda, melukai, berusaha membunuh anda, meracuni anda, atau melakukan perbuatan buruk lainnya, apa tindakan anda terhadapnya?!
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, Khulafa’ Rasyidin yang kelima. Ketika terserang penyakit yang mengantarkan pada kematiannya, ia bertanya pada Mujahid: ”Apa gerangan yang dikatakan orang-orang terhadap penyakit yang menimpaku ini?”. Mujahid menjawab: ”Mereka mengatakan, anda terkena sihir”. Umar menimpali: “Sekali-kali, tidak”. Lalu Umar bin Abdul Aziz memanggil seorang budak laki-laki dan bertanya, ”Mengapa engkau meracuni saya?”. Beliau ingin tahu alasan kenapa sang budak meracuninya.
Ragu sang budak menjawab: ”Saya melakukannya karena uang seribu dinar dan karena saya ingin merdeka”.
Umar lalu menyuruh Mujahid mengambil uang seribu dinar dari Baitul Mal dan berkata: ”Ambillah uang seribu dinar dari Baitul Mal ini, dan pergilah dalam keadaan merdeka. Jangan sampai ada orang yang melihatmu”.[11]
Wahai saudaraku!, budak ini telah meracuni Khalifah. Khalifah tahu dan sang budak sendiri mengakuinya. Lalu apa tindakan Khalifah Umar bin Abdul Aziz?! Ia berkata: ”Pergilah! Kamu sekarang telah merdeka”.
Sekarang mari kita tengok kisah Imam Malik rahimahullah. Beliau dipukul dan dicambuk hingga kedua tangan beliau terkelupas. Hingga ketika berdiri dalam shalat, beliau terpaksa menjulurkannya lantaran rasa perih yang amat sangat. Sebab itu, beliau tak sanggup menekuk kedua tanggannya di atas dada. Setelah itu Al-Manshur(Khalifah Abbasiyah) datang ke kota Madinah pada musim haji. Dia menghadap Imam Malik untuk mengambil muka dari beliau. Lalu meminta pada Imam Malik untuk mengambil [menuntut] qishas –balasan- dari orang yang telah memenjarakan dan mencambuki beliau, yakni Ja’far bin Sulaiman.
Imam Malik lantas berkata: “Ma’aadzallah! Saya berlindung kepada Allah untuk mencari pembalasan buat diri saya”.
Beliau sama sekali tidak mengatakan, “Ini adalah kesempatan yang tidak boleh disia-siakan.” Tidak pula mengatakan:” Ja’far adalah seorang sangat zhalim yang harus diberi pembalasan”. Tidak!! Imam Malik sama sekali tidak mengatakan hal itu.
Begitulah contoh orang yang berjiwa besar. Sedikit pun tidak pernah mencari kemenangan buat dirinya. Karena itu, dalam sejarah jelas terpampang, Nabi shallallahu alaihi wasalam tak pernah mencari pembelaan atau kemenangan buat dirinya.
Mari kita mengambil contoh lain.
Suatu ketika seseorang masuk ke majelis Ibnu Hubairah rahimahullah dan mengemis. Ibnu Hubairah berkata kepada penjaga: ”Bukankah sudah kukatakan padamu?! Beri dia dua puluh dinar, kasih makan, dan jangan sampai masuk ke dalam majelis ilmu ini?!”
Sang penjaga berkata, ”Kami sudah memberinya, tapi dia tetap memaksa untuk masuk.”
“Kalau begitu, beri dia dua puluh dinar lagi dan jangan boleh masuk!”, sergah Ibnu Hubairah.
Ketika lelaki pengemis itu pergi, Ibnu Hubairah berkata kepada para sahabatnya di majelis itu: “Apakah kalian kaget terhadap jawaban dan perlakuan saya ini?!”
Mereka menjawab:” Benar!!” Ibnu Hubairah berkata, “Orang yang baru saja kalian lihat adalah seorang syihnah di pedalaman. Kemudian ada seseorang yang terbunuh di daerah tempat tinggal saya. Maka datanglah lelaki ini dan mendatangkan para sesepuh kampung, serta membawa saya bersama orang banyak. Ia menyuruh saya berjalan kaki. Sementara dia mengendarai kuda. Lalu dia mulai menyakiti dan menyeret saya bersama kuda. Kemudian saya diikat. Ia mengambil uang dari setiap orang, dan melepaskan mereka. Lalu datang kepada saya dan berkata: “Berikan uangmu!”.
“Saya tak memiliki uang sepersen pun”, jawabku. Maka orang itu menghardik dan memukuli saya. Tapi saya tidak dendam sedikit pun atasnya. Saya meminta izin padanya untuk mengerjakan shalat wajib ketika tiba waktunya, saat masih di jalan. Tapi dia menolak. Inilah yang membuat saya marah. Karena itu saya tak ingin menyakitinya dan tidak senang melihatnya”.[12]
Wahai saudara sekalian…Karena kebaikannya, Ibnu Hubairah rahimahullah akhirnya memanggil orang itu dan memberikan padanya sebuah jabatan. Orang itu ditugasi mengatur harta khusus yang dimiliki para pembesar.
Lihatlah!!, Ibnu Hubairah sama sekali tidak mencari kemenangan buat dirinya. Tidak pula mengatakan: “Ini adalah kesempatan emas untuk membalas dendam”. Bahkan beliau malah memberinya uang, memuliakannya dan sama sekali tidak mencari kemenangan untuk diri pribadi.
Ibnu Hubairah rahimahullah, pemilik hati mulia ini, juga berperan dalam kisah mulia yang lain. Peristiwa ini terjadi sudah lama. Sejak Ibnu Hubairah belum diangkat menjadi seorang menteri. Pernah terjadi sesuatu antara Ibnu Hubairah bersama seorang ajam (non Arab) dalam masalah pertanian. Orang ajam ini memukul Ibnu Hubairah dengan sangat keras.
Ketika Ibnu Hubairah diangkat menjadi menteri, orang ajam itu dipanggil. Mari kita bayangkan! Kalau bukan Ibnu Hubairah, pastilah orang ajam itu disiksa, dihukum atau dibunuh. Tetapi Ibnu Hubairah sama sekali tidak menghukum atau menghardiknya. Justru Ibnu Hubairah memuliakan, memberi uang dan menyerahinya suatu jabatan.
Ibnu Jauzi, murid Ibnu Hubairah berkata: “Ibnu Hubairah pernah meng-imlak(mendikte) kami kitab karangannya yang berjudul “Al-Ifshah”. Maka datang dua orang lelaki. Orang pertama menawan dan mengikat orang yang kedua. Orang pertama berkata: “Orang ini telah membunuh saudaraku. Karena itu putuskan qishasnya di antara kami.”
Ibnu Hubairah bertanya kepada orang kedua: “Apakah kamu telah membunuh saudaranya?” Ia menjawab: ”Benar saya telah membunuhnya. Telah terjadi pertikaian antara saya dengan dia, maka saya pun membunuhnya”.
Maka orang pertama berkata: ”Serahkan ia padaku biar kubunuh. Bukanlah ia telah mengakui perbuatannya?!”.
Ibnu Hubairah berkata: ”Tidak! Justru lepaskan dia”. Orang pertama pun berkata: ”Mana mungkin kami melepaskannya, padahal ia telah membunuh saudara kami”.
Ibnu Hubairah berkata: ”Kalau begitu, jualah ia padaku!”. Maka Ibnu Hubairah membeli pembunuh itu dengan diyat yang berlipat–lipat. Yaitu dengan harga enam ratus dinar. Lalu Ibnu Hubairah menyerahkan emas-emas itu kepada keluarga sang terbunuh. Setelah emas diserahkan, Ibnu Hubairah berpaling pada sang pembunuh, “Duduklah!”. Lalu pembunuh itu duduk dan diberi uang sebanyak lima puluh dinar oleh Ibnu Hubairah. Kemudian diperintahkan untuk pergi.
Ibnu Jauzi bersama para murid lainnya ditimpa keheranan luar biasa atas perlakuan Ibnu Hubairah ini. Mana mungkin seorang pembunuh dibeli dengan harga sangat mahal, diberi uang, kemudian dibiarkan lepas begitu saja?!
Lalu Ibnu Hubairah bertanya kepada para muridnya, “Tahukah kalian bahwa mata kanan saya tidak dapat melihat sejak empat puluh tahun lalu?”
Murid-muridnya serentak menjawab: ”Tidak!!”
Ibnu Hubairah meneruskan: ”Lelaki pembunuh tadi, empat puluh tahun lalu pernah lewat di hadapan saya sambil membawa sekeranjang buah, lalu berkata kepadaku: “Angkat keranjang ini, dan bawalah!!. Padahal saat itu saya sedang membaca kitab fiqih.”
“Ini bukan pekerjaan saya. Tolong anda cari orang yang membawakannya untuk anda”, Ibnu Hubairah meneruskan, “Orang itu menjadi sangat marah. Tiba-tiba memukuli saya dan menampar wajahku. Dia terus memukuli saya hingga akhirnya merusak mata saya. Setelah itu dia pergi. Dan saya tak pernah melihatnya kecuali saat ini….”.[13]
Wahai saudara sekalian…Perhatikanlah perbuatan orang itu terhadap Ibnu Hubairah. Sekarang dia datang sebagai seorang pembunuh. Tapi Ibnu Hubairah tidak mengatakan, “Sudah, qishaslah dia”. Atau mengatakan: “Segala puji bagi Allah yang telah membuatmu mendapat balasan atas buruknya perbuatanmu”. Sama sekali Ibnu Hubairah tidak mengatakannya. Justru ia memaafkannya, memuliakan dan memberinya uang.
Wahai saudara sekalian…Siapa di antara kalian yang pernah melakukan hal ini?! Ibnu Hubairah berkata:” Saya ingin membalas keburukannya dengan kebaikan”.
Sekarang…seandainya anda berpapasan dengan seorang pencaci, pengumpat dan pengolok-olok anda di suatu tempat. Apakah itu di madrasah, di kantor, di pasar atau di tempat lain. Lalu orang itu berkata kepada anda seperti perkataannya kepada Ahnaf bin Qais ini, “Jika kamu ngomong satu ucapan, niscaya kamu mendengar sepuluh kali ucapan pembalasan dari saya.”
Seperti inilah akhlak orang-orang jalanan yang tak berpendidikan. Inilah lidah orang jalanan. Orang pasaran yang tak beradab. Satu kata di balas dengan sepuluh perkataan. Tetapi apa jawaban Ahnaf bin Qais? Apakah ia menjawab, ”Kami akan membalasmu seribu umpatan dan memotong lidahmu”?!
Sama sekali Ahnaf bin Qais tidak mengatakan hal itu. Tapi ia menjawab:” Jika anda mengatakan sepuluh kali, maka anda tidak akan mendengar sepatah kata pun dari saya.”
Seorang penyair berkata:
Mereka berkata, diamlah saat dimaki dan diumpat. Saya berkata pada mereka, sungguh menjawabnya adalah kunci pembuka pintu keburukan.
Mengampuni orang bodoh adalah suatu kemuliaan. Benar sekali!, Dan itu merupakan perbaikan dan perlindungan kehormatan.
Sungguh singa-singa disegani meski terdiam. Sementara anjing dilempari saat menggonggong.”
Sekarang anda wahai seorang dai…. Apa tindakan anda jika seorang mad’u (obyek dakwah) berbuat keburukan terhadap anda…? Atau, berkata buruk keada anda…? Atau, melakukan perbuatan yang tidak pantas kepada anda…? Apakah anda akan memusuhinya…? Menjauhi atau mengucilkannya…? Atau menyuruh para pengikut anda untuk menjauhi dan menghindarinya…? Menjadikan adanya tabir pembatas dengannya…? Apakah hanya karena kepentingan pribadi, anda menjadi sibuk sendiri dan dia juga sibuk sendiri..?!!
Wahai saudara sekalian…Hal ini sama sekali tidak pantas dilakukan. Asy-Syaikhan meriwayatkan sebuah Hadits dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu, dia berkata: “Seakan-akan saya melihat Nabi mengisahkan salah satu Nabi dari para Nabi Allah. Kaumnya memukulinya hingga berdarah, kemudian dia (Nabi itu) mengusap darah dari wajahnya sambil berkata: ““Ya Allah! Ampunilah kaumku, karena mereka tidak mengerti”.
Jika seorang mad’u (yang didakwahi) memukul anda hingga berdarah, apa yang bakal anda lakukan…? Apakah anda akan mendoakan kebinasaan baginya?! Apakah anda akan melaknatnya…?! Ataukah anda akan memukulinya!
Wahai sang dai!, Anda bagaikan direktur di sebuah perusahaan. Anda seperti penanggung jawab di suatu pekerjaan. Jika seorang peninjau datang kepada anda, kemudian ia mengucapkan perkataan yang sangat keji, dengan bahasa yang sombong, dan berbicara dengan anda seakan-akan anda pelayannya… Pada situasi seperti ini apa yang akan anda perbuat?
Ada seorang lelaki datang kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, lalu menarik selendang Nabi dengan keras hingga membekas merah pada leher beliau. Lalu orang itu berkata: “Berikan kepada saya harta ini. Karena harta ini bukan kepunyaan bapak atau ibumu”. Seandainya perkataan ini diucapkan kepada selain Rasulullah, pastilah kepala orang itu sudah terputus sebelum sempat menyempurnakan perkataannya.
Coba anda bayangkan, tindakan apa yang diperbuat oleh Nabi?! Beliau memberi, memberi, dan memberinya hingga dia puas. Dan ini adalah akhlak para Nabi.
Wahai saudara sekalian…Wahai orang-orang yang mengerjakan shalat. Kita dalam masjid ini, seandainya ada anak kecil yang berdiri di atas meja ini, kemudian mengencinginya. Atau ada seorang tua yang pergi ke pojok masjid, kemudian duduk dan kencing di sana.
Bayangkan! Apa tindakan yang akan kita lakukan terhadapnya. Mungkin dia tidak tahu akan berada pada (pukulan) tangan siapa. Tentunya semua orang akan memukulinya. Sementara yang tidak sempat memukul, akan terus memaki dan mengumpatnya.
Pernah seorang datang ke masjid Nabi saat beliau bersama dengan para Sahabat. Lalu orang itu menuju pojok masjid dan kencing di sana. Dia tak mendapatkan tempat lain kecuali masjid. Para Sahabat menghardiknya, tapi Nabi melarang para Sahabat untuk melakukannya. Justru beliau mengatakan: “Jangan hentikan dia saat buang air seni, agar tidak mendatangkan banyak madharat lagi”. Setelah itu Rasulullah menyuruh seseorang membawakan segayung air lalu dituangkan ke sisa air kencing tersebut.
Kemudian beliau mengajari orang yang kencing tadi dengan hikmah dan lemah lembut, bahwa masjid ini tidak pantas dikotori. Dan masalah pun selesai tanpa harus menendangnya dengan kaki, atau menyeruduknya dengan tumit dan lain sebagainya. Sungguh, orang itu tak diusir, dimaki atau dicemooh. Tapi justru ia dimuliakan dan diajari dengan baik, bahwa masjid ini adalah tempat shalat dan tak patut dikotori sedikit pun. Dengan akhlak mulia Nabi inilah orang tersebut menjadi terbuka hatinya. Dan sejak peristiwa itu terjadi, ia senantiasa mengatakan, “Demi Allah! Sama sekali beliau tak berkata kasar atau memarahiku. Dan saya tak pernah mendapati seorang pengajar yang paling baik darinya.”
Walau saudara sekalian…..Apakah seperti ini akhlak kita bersama murid kita, paramad’u (yang didakwahi) dan seluruh kaum muslimin?!!
Bayangkan seandainya ada seorang imam dalam masjid yang shalat dengan sujud sangat lama. Ia tak mengangkat kepalanya hingga lama. Ketika anda mengangkat kepala, anda melihat anak kecil sang imam sedang menduduki kepalanya. Apakah tindakan yang akan anda perbuat..? dan apa yang akan anda katakan kepada anak kecil itu..? tentunya setelah kalian mengatakan kepada imam itu hal-hal yang dibencinya, pasti anda segera pergi ke Wizaratul Auqaf[14] untuk memecat dan memberinya pelajaran.
Walau saudara…Itu hanya anak kecil yang sedang bermain-main. Mereka tak mendapati mainan lain selain berada di atas punggung ayahnya.
Ingatlah! Nabi pernah sujud lama sekali. Maka seorang Sahabat mengangkat kepalanya, dan mendapati Hasan atau Husain sedang bermain di atas punggung beliau. Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam selesai shalat, beliau menjelaskan kepada mereka sebab keterlambatannya dalam mengangkat kepala saat sujud, “Sesungguhnya cucuku ini menjadikan punggungku sebagai kendaraan baginya. Dan aku tidak ingin menghentikannya.” Beliau tidak senang menghentikan kegembiraan anak kecil ini. Adapun kita, setiap melihat anak kecil bergerak sedikit saja kita langsung berdalil dengan Hadis, “Jauhkan anak-anak kecil dan orang-orang gila kalian dari masjid”!? Padahal hadis ini tidak shahih sama sekali.
Sementara sang ayah bagi anak-anak tadi, wajahnya menjadi merah lantaran menahan perasaan tak enak. Padahal bisa saja ia memiliki urusan berat yang perlu dibantu. Atau bisa saja isterinya sedang sibuk atau sedang sakit dan lain sebagainya. Atau bisa saja sang ayah atau sang ibu yang membawa anak-anak ke masjid, sedang mengalami krisis kejiwaan atau masalah pribadi dalam dirinya. Lalu ia pergi ke masjid mencari ketenangan, tapi kita melakukan tindakan-tindakan buruk itu terhadapnya.
Wahai saudara sekalian! Rasulullah pernah berkhutbah. Kemudian beliau turun dari mimbarnya hanya karena melihat Hasan dan Husain. Perhatikan Hadits Buraidah di bawah ini. Dari Buraidah, dia berkata: “Rasulullah pernah berkhutbah pada hari Jumat’ kemudian datang Hasan dan Husain memakai baju merah. Keduanya berjalan dan terjatuh. Maka Rasulullah turun dari mimbar. Beliau menggendong keduanya dan meletakkan mereka di depannya. Beliau bersabda: “Sungguh benar Allah dan Rasul-Nya: Sesungguhnya harta dan anak-anak kecil kalian adalah fitnah. Saya melihat dua anak kecil ini berjalan dan jatuh, maka saya tak mampu bersabar, hingga memotong khutbah dan menggendong keduanya”.
Seandainya seorang Imam atau Khatib melakukan hal ini pada hari Jumat. Mengambil anak putrinya, kemudian menggendongnya, coba bayangkan tindakan manusia terhadapnya.
Rasulullah pernah mengerjakan shalat sambil menggendong Umamah, anak putri beliau. Setiap beliau berdiri dalam shalat, anak itu pasti digendongnya. Ketika beliau sujud atau ruku’ anak itu diletakkannya di atas tanah. Beliau terus melakukannya sepanjang shalat hingga selesai.
Walau saudara sekalian…Jika hal ini dilakukan seorang imam, apa tindakan yang akan kita perlakukan terhadapnya?
Ketahuilah! Ini adalah akhlak dimana generasi dan anak-anak kecil masa itu terdidik. Sebab mereka hidup dalam buaian orang-orang mulia. Orang-orang yang memiliki jiwa mulia dan luhur. Sehingga mereka mendapati banyak orang yang terus merawat dan memperhatikan mereka.
Tetapi generasi kita…adalah generasi yang bermuka masam di hadapan saudara-saudaranya. Generasi yang berinteraksi dengan saudara muslim secara kasar dan buruk…, dan tentunya para pelaku perbuatan ini bukan orang-orang yang berjiwa besar.
Wahai saudaraku! Jika anda bekerja bersama seseorang dalam perusahaan atau perserikatan. Anda setiap hari berinteraksi bersamanya. Kemudian anda diuji dengannya dan ia hendak memasukkan anda dalam persengketaan. Apakah anda meladeninya?
Imam Malik rahimahullah, menyebutkan sifat Qasim bin Muhammad, salah seorang Ulama dari kalangan Tabiin. Imam Malik berkata: “Pernah terjadi antara Qasim bin Muhammad dengan seseorang suatu masalah yang biasa terjadi di antara manusia [sengketa]. Maka Qasim berkata: “Masalah yang hendak anda perselisihkan dengan saya ini, jika benar-benar milik anda, berarti itu milik anda maka ambillah dan jangan memuji saya. Tetapi jika itu milik saya, maka saya telah memaafkan anda dan barang itu menjadi milik anda”.[15]
Maksudnya, tinggalkan saya. Saya tidak akan bersengketa dengan anda. Ambillah barang itu untuk anda. Saya tidak akan berselisih hanya disebabkan perkara yang remeh.
Sekarang anda wahai para suami…Bagaimana anda bertindak ketika pertalian antara suami dengan istri menjadi tidak serasi…? Ketika hubungan anda dengan istri sudah tidak harmonis lagi…?
Sebagian lelaki ada yang menyudutkan dan menekan sang istri. Dan saya tidak berlebihan, sungguh terkadang permasalahan tiba-tiba muncul dari sebuah rumah. Sang lelaki menyakiti dan membuat istrinya merasa sangat tidak nyaman, dengan tujuan agar sang istri mengajukan cerai. Sehingga dia (sang wanita) memberikan jaminan kepada sang suami akibat permintaan cerai itu, juga mengembalikan maskawin dan biaya-biaya lain saat upacara pernikahan mereka. Padahal sang suami telah menggaulinya. Bahkan bisa jadi sang suami juga telah melahap masa remajanya.
Wahai saudara sekalian…Di manakah kepribadian kita?! Di manakah sopan santunnya?! Ketika seseorang tidak lagi mencintai istrinya, dan seakan duduk di atas bara api karena kebencian dan kemarahan terhadapnya.Maka, tindakan apa yang akan anda lakukan pada situasi seperti ini?!
Adalah Jubair bin Muth’im, beliau menikahi seorang wanita dan telah menyerahkan mahar secara sempurna kepada sang wanita. Kemudian dia mencerai-kannya sebelum menggauli. Beliau lantas membaca ayat ini: “Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Serta janganlah melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Baqarah:237).[16]
Jubair berkata: “Saya lebih patut untuk memaafkan.” Beliau lalu menyerahkan seluruh maskawin kepada sang wanita, padahal ia berhak mendapat seperdua dari maskawin tersebut.
Seandainya seorang istri bertindak tidak patut terhadap anda, apakah anda akan langsung mentalak tiga terhadapnya seperti dilakukan sebagian orang?! Apa anda memukulnya?! Menyiksanya?! Apakah anda meninggalkannya begitu saja?!
Sungguh sebagian wanita datang mengadu, bahwa ia telah ditinggal suaminya sejak bertahun-tahun tanpa perhatian dan nafkah. Sebagian mereka mengatakan, bahwa dia sering pingsan, karena suaminya sering memukuli kepalanya. Sebagian istri juga mengatakan, suaminya masuk rumah dengan mengomel dan mencaci. Lalu keluar rumah dengan mengumbar kata-kata tidak pantas tanpa sebab yang jelas. Kemudian dikatakan kepadanya: “Mestinya anda menjauhi tindakan-tindakan yang membuatnya marah”. Sang istri menjawab: “Dia pada dasarnya memang pemarah. Tanpa ada sebab, ia tetap marah dengan sendirinya. Tak ada kebaikan apa pun kecuali sudah saya lakukan terhadapnya. Kemarahannya pun bisa lahir hanya karena sebuah perkara yang sangat remeh. Bahkan dia juga marah pada momen-momen yang semestinya perbuatan ini sangat tidak pantas dilakukan. Pada malam hari raya Idul Fitri dia marah-marah. Juga pada pagi hari sebelum shalat Idul Fitri, dia juga sangat marah.”
Sebagian wanita menelpon kami dan bertanya: “Suamiku langsung mentalak tiga saya, hanya lantaran saya membangunkannya untuk makan makanan yang disiapkan pada pagi hari Idul Fitri. Maksud saya agar dia mencicipi masakan saya sebelum berangkat shalat Ied. Tetapi langsung mentalak tiga saya. Ia bangkit dan menabur makanan di dapur lalu memukul saya dengan sangat keras. Dia juga mencaci saya dan mencaci seluruh keluarga saya. Hal itu terjadi di pagi hari Idul Fitri.”
Na’udzu billah mudah-mudahan Allah melindungi kita dari perbuatan bejat ini. Padahal apa yang dilakukannya?! Ia telah melakukan suatu perbuatan yang sangat mulia. Mestinya perbuatan mulia dibalas dengan kemuliaan. Tapi ia justru membalas kemuliaan dengan perbuatan yang sangat bejat.
Walau saudaraku…Aisyah pernah berkata kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasllam, “Engkaukah orang yang mengaku sebagai seorang Rasulullah?!” Ini merupakan ucapan yang tidak patut dan menyakitkan. Tapi apa tindakan yang dilakukan Nabi?! Beliau tidak melakukan sesuatu lebih dari sekadar tersenyum. Yah, beliau hanya tersenyum dan tidak melakukan tindakan apa pun.
Pertanyaannya, jika istri anda berkata di hadapan muka anda seperti ini: “Kamu mengaku mempunyai kejantanan?”, “Kamu mengaku sebagai orang yang baik?!” Kira-kira apa tindakan anda terhadapnya? Mungkin yang saya perkirakan, daging sang istri itu akan bercampur jadi satu dengan bajunya….Dan saya tidak yakin ia bisa selamat dan keluar dari rumah dalam keadaan tak kurang suatu apa pun pada situasi seperti itu…
Pernah Nabi shallallahu alaihi wasallam duduk bersama para Sahabat. Lalu salah seorang istri beliau yang pandai memasak mengirim sepiring besar makanan kepada beliau. Bangkitlah rasa cemburu dari istri yang lain… Dan hadits tentang hal ini shahih. Pada sebagian riwayat disebutkan nama-nama istri beliau itu. Sekali lagi, semua riwayatnya shahih. Diriwayatkan oleh Imam An-Nasa’i dan juga imam-imam lainnya.
Dalam sebuah riwayat, istri yang lagi cemburu ini memukul tangan Nabi, sehingga piring besar berisi makanan itu berserakan jatuh di lantai. Sedangkan dalam riwayat lain disebutkan, bahwa dia mengutus seorang budak wanita untuk mengambil piring besar itu dan melemparnya di lantai, sehingga pecah dan makanan berceceran di lantai.
Sementara dalam riwayat ketiga disebutkan, dia datang dengan penuh kemarahan di hadapan para tamu, lalu mengambil piring itu dan dilemparkan di hadapan para tamu.
Bayangkan apa tindakan Nabi?! Ternyata beliau hanya menyuruh budak wanita untuk mendatangkan makanan lain dari istri yang telah memecah dan mencecerkan makanan itu. Beliau bersabda: “Piring diganti piring, dan makanan diganti dengan makanan.” Dan masalah pun selesai. Beliau tidak mengatakan: “Kamu telah membuat saya malu di depan para tamu!?”. Sama sekali tidak ada kata-kata itu…
Wahai saudara sekalian…contoh-contoh seperti ini, kenapa saya datangkan dari sisi kehidupan Rasulullah?! Sebab jika saya mendatangkannya dari selain Rasulullahshallallahu alaihi wasallam mungkin ada yang mengatakan ucapan yang tidak patut. Hal itu tidak lain, karena besarnya keburukan dalam diri kita, juga kesombongan berlebihan yang membuat kita menolak kemuliaan dari selain Rasulullah. Juga lantaran kebiasaan kita suka berbuat jahat dan tidak bersikap lembut terhadap para wanita.
Perhatikan kisah Rasulullah! Beliau hanya mengatakan piring diganti piring dan makanan diganti makanan…Setelah itu beliau tak pernah mengungkit, memukul, mencerai, atau meninggalkannya. Sama sekali beliau tidak melakukan hal ini. Peristiwa ini langsung selesai dan ditutup pada saat itu juga.
Dan anda wahai para wanita…
Jika ada satu kata yang keluar dari mulut suami, apakah anda akan memasukkannya dalam daftar hitam hanya karena ucapan itu?! Dan tidak akan pernah anda lupakan?!
Kemudian…..jika anda wahai saudariku mempunyai pembantu atau seorang sopir. Lalu dia berbuat salah atau ceroboh pada hak anda. Bayangkan apa tindakan anda jika dia memecahkan guci atau piring misalnya…..apa tindakan yang anda perbuat terhadapnya?
Perhatikanlah…Dalam hadist Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma, Rasulullahshallallahu alaihi wasallam didatangi seorang lelaki dan bertanya: “Wahai Rasulullah! berapa kali kita memaafkan pembantu?” Rasulullah diam tidak menjawab. Kemudian lelaki itu mengulangi pertanyaannya. Rasulullah tetap diam tidak menjawab. Kemudian lelaki itu mengulangi pertanyaannya lagi. Setelah tiga kali pertanyaan ini, maka Rasulullah menjawab: “Berikan maaf padanya dalam setiap hari sebanyak tujuh puluh kali”. Hadist ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad shahih, sebagaimana dikatakan Syaikh Nashiruddin Al-Albani.
Saudaraku….. Dalam sehari berapa kali kita memaafkan pembantu?! Dalam setahun berapa kali kita memaafkannya?! Berapa kali dalam setahun kita memaafkan sopir pribadi kita? Seandainya sopir datang menghadap bahwa dia telah menabrakkan mobil, dia datang dengan wajah penuh kecemasan. Apa yang akan anda perbuat terhadapnya? Pasti ia akan menjadi sasaran cemoohan, makian dan pukulan. Kemudian sopir malang ini dipotong gajinya untuk membayar mobil yang nabrak tadi.
Wahai saudaraku…Seorang ulama, Ibnu ‘Aun rahimahullah, memiliki seekor unta bagus. Beliau selalu menggunakannya saat mengerjakan ibadah haji dan berperang. Suatu ketika, Ibnu ‘Aun menyuruh budaknya memberi minum unta tersebut. Budak ini wataknya kasar dan tidak memiliki belas kasihan. Akhirnya ia memukul unta itu dan menampar matanya hingga jatuh ke pipi akibat tamparan keras itu.
Ketika orang-orang menyaksikan keadaan unta, yang matanya melenceng ke pipi akibat tamparan, mereka berujar: “Sekarang telah nampak karakter asli Ibnu ‘Aun. Sekarang telah kelihatan akhlak buruknya yang selama ini tersembunyi.”
Maka, saat budak datang menghadap bersama untanya. Ibnu ‘Aun melihat bahwa mata untanya melenceng ke pipi, dan berseru, “Subhaanallah! Tidak adakah tempat lain selain wajah untuk dipukuli. Tak bisakah kamu memukul selain wajah binatang ini?! Semoga Allah memaafkanmu. Sekarang pergilah!!. Wahai manusia! Saksikan, budak ini telah merdeka”.
Ikhwah fillah, kasus lain, masalah wanita muslimah…jika suaminya berpoligami dan memiliki istri lain. Apakah dia akan hidup penuh kebencian dan iri hati?! Permusuhan?! Tidak bisa tidur di malam hari, karena memikirkan setiap kata yang diucapkan suami terhadapnya?!
Wahai saudariku! para istri terhadap saingannya [madunya], mudah-mudahan Allah mengampuni anda dan mengampuni saya. Sungguh, Aisyah radhiallahu anhapernah berkata kepada Ummu Habibah: “Mudah-mudahan Allah mengampuni semua kesalahan anda dan membebaskan anda dari semuanya”. Ummu Habibah menjawab lagi, “Terima kasih, anda telah memaafkan saya. Mudah-mudahan Allah juga menghapus segala kesalahan anda.” Kemudian Ummu Habibah memanggil Ummu Salamah dan mengatakan hal yang sama terhadapnya seperti yang dikatakan kepada Aisyah. Ummu Salamah pun mengatakan hal yang sama.
Dan setelah semua ini wahai saudara sekalian…..Apakah kita sudah menghias diri kita dengan akhlak-akhlak mulia ini?! Apakah kita sudah menghiasi diri kita dengan akhlak orang-orang besar?!
Masalah ini bukan seperti ungkapan, bahwa seorang penyantun adalah orang yang dipukul kemudian berlaku santun, namun saat mampu membalas dia-pun membalas dendam. Bukan seperti itu. Akan tetapi seorang penyantun adalah seseorang yang dipukul kemudian berbuat santun, dan ketika mampu membalas dia memaafkan.
Kalau demikian, kenapa kita tidak mengubah akhlak kita…? Kenapa kita tidak mengubah diri kita, bukankah kita menganggap mulia akhlak-akhlak ini?! Kenapa kita tidak berazam untuk kembali mulai malam ini kepada keluarga kita dengan wajah baru…? Apakah kita mendengarkan keterangan ini hanya sekadar untuk guyonan dan hiburan saja?
Na’udzu billah, kita berkumpul di sini bukan sekadar mendengarkan. Bayangkan! Apa yang akan terjadi jika akhlak mulia ini kita aplikasikan. Sungguh, ia pasti akan melahirkan pengaruh positif yang sangat terpuji. Seperti bersatunya kaum muslimin atas satu kata dan terjalinnya hati-hati mereka. Sebagaimana firman Allah, “Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”. (QS. Ali Imran : 159)
Perhatikanlah!! Jika Nabi yang merupakan makhluk paling sempurna, namun akan dijauhi manusia jika berakhlak buruk, tentunya kita harus lebih banyak berakhlak mulia lagi dan lebih dilarang dari akhlak buruk. Karena itu, Allah memerintahkan beliau untuk memaafkan, mengampuni, dan selalu berlaku lemah lembut. Apalagi dengan akhlak mulia, kita akan mendulang pahala tinggi dari Allah Ta’ala, seperti firman-Nya: “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, tetapi barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zhalim”. (QS. Asy Syuura : 40)
Kemudian Dia menyebutkan sifat-sifat orang bertakwa itu: “Yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya serta memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah?, dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan Surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal”. (QS. Ali Imran:134-146)
Diantara sifat-sifat mereka adalah, menahan amarah dan memaafkan manusia. Dengannya mereka menjadi seorang “muhsin” dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan.
Allah juga berfirman: “Janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nbya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah. Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?, dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. An-Nur : 22)
Maksud dari orang-orang yang memiliki kelebihan adalah, mereka yang berkedudukan tinggi, sedangkan orang-orang yang memiliki kelapangan adalah para orang kaya.
Allah menurunkan ayat ini khusus ditujukan pada Abu Bakar radhiallahu anhu ketika Aisyah, putrinya, difitnah telah berselingkuh. Siapakah yang dituduh? Dan siapakah yang menuduh? Yang menuduhnya adalah dedengkot kaum munafik, kemudian ada sebagian kaum muslimin yang termakan [fitnahnya].
Wahai saudaraku…ganjaran dari Allah diberikan sesuai dengan jenis perbuatan. Seperti diriwayatkan oleh Asy-Syaikhani [Bukhari dan Muslim] tentang seorang saudagar yang banyak memberikan hutang kepada manusia. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Ada seorang saudagar yang selalu memberi hutang pada manusia. Setiap melihat orang kesusahan dia berkata kepada para pelayannya: ‘Biarkan ketika ia tak melunasi hutangnya. Maafkan dia. Mudah-mudahan Allah memaafkan kita. Maka Allah pun memaafkannya.”
Karena itu, jika anda memaafkan manusia dan tidak menghitung kesalahan dan keburukan mereka, niscaya Allah memaafkan anda.
Disamping itu, dengan akhlak mulia kita bisa memecah rasa permusuhan yang bercokol dalam hati dan menutup pintu setan. Allah Ta’ala berfirman: “Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia”.(QS. Fushshilat : 34).
Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma berkata kala menafsirkan ayat ini: “Allah memerintah kaum beriman untuk bersabar saat marah. Berlaku santun ketika menghadapi orang bodoh. Dan memaafkan saat disakiti. Jika mereka sudah melakukan hal itu, niscaya Allah melindungi mereka dari setan. Musuh juga tunduk kepada mereka seakan-akan ia seorang teman yang sangat dekat”.
Ditambah lagi…dengan akhlak mulia ini kita akan menemukan hakikat kebahagiaan, kenyamanan, dan ketenteraman hati.
Wahai saudaraku… tentunya anda tahu apa itu dengki. Lantaran dengki seseorang akan merasa tersiksa sebelum orang lain. Jika anda hidup penuh kedengkian dan kemarahan, niscaya ia terus membebani dan menyulitkan anda. Ia juga akan membuat anda berhenti bekerja, berhenti berbuat taat kepada Allah dan membuat hati anda tidak nyaman ketika beribadah serta bermunajat.
Karena itu saya katakan seperti ucapan sebagian orang, bahwa lezatnya memaafkan lebih agung dibanding lezatnya membalas dendam. Dan hal itu menjadi sangat buruk bagi orang yang mampu, saat ia melampiaskan dendamnya.
Jadi…memaafkan adalah pekerti mulia dianjurkan Islam. Pekerti itu menunjukkan betapa lapang dada orang yang terhiasi dengannya, betapa besar husnu-zhannya kepada manusia, dan betapa besar ia sanggup menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan hina tak berguna.
Saya memohon kepada Allah Ta’ala agar apa yang kita dengarkan ini dijadikan bermanfaat bagi kita. Menjadikan kita orang-orang yang mendapat petunjuk. Dan dijadikanNya sebagai orang-orang yang selalu jauh dari keburukan diri kita.
Semoga shalawat serta salam senantiasa tercurahkan atas junjungan kita Rasulullah Muhammad shalallahu alaihi wasallam. Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.