Dalil-dalil yang menunjukkan tentang adanya jenis-jenis ghibah yang diperbolehkan:
Sekarang mari kita ikuti bersama, beberapa hadits yang menggambarkan tentang sikap dan perkataan Rasulullah yang menunjukkan bahwa menyebutkan aib saudara muslim dalam kondisi yang memang dibutuhkan, tidak tergolong perbuatan ghibah, atau kalau mau dikatakan ghibah maka itu adalah ghibah yang diperbolehkan
Di antara dalil-dalil yang menunjukkan tentang adanya jenis-jenis ghibah yang diperbolehkan:
a. Hadits ‘Aisyah , bahwa seorang pria meminta izin (untuk menemui) Rasulullah , maka beliau berkata:
((ائْذَنُوْا لَهُ بِئْسَ أَخُوْ العَشِيْرَةِ))
“Izinkanlah orang tersebut, sesungguhnya dia sejelek-jelek sanak saudara.” [Muttafaqun ‘alaihi] 20)
Al-Imam Al-Bukhari telah berhujjah dengan hadits ini tentang bolehnya melakukan ghibah terhadap pembawa kerusakan dan pengusung syubhat, yaitu dalam kitab beliau Shahihul Bukhari dalam Kitabul Adab bab: Ma Yajuzu min ightiyabi Ahlil Fasadi war Riyab artinya: “Bentuk ghibah yang diperbolehkan terhadap pembawa kerusakan dan syubhat (kerancuan).”
Ketika mensyarh (menjelaskan) hadits di atas Asy-Syaikh Al-’Utsaimin berkata:
“Pria ini tergolong sebagai pembawa kerusakan dan kesesatan, sehingga hal ini menunjukkan tentang bolehnya melakukan ghibah terhadap orang yang tergolong sebagai pembawa kerusakan dan kesesatan. Hal ini dilakukan agar umat manusia waspada terhadap kerusakannya dan tidak terpesona dengannya.” 21)
Al-Imam Al-Qurthubi berkata:
“Pada hadits tersebut terkandung hukum bolehnya melakukan ghibah terhadap orang yang melakukan kefasikan atau kekejian secara terang-terangan atau yang semisal itu dari ketidakadilan di dalam memberikan keputusan hukum serta seruan kepada bid’ah …” 22)
b. Hadits Fathimah bintu Qais :
أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ:
((إِنَّ أَبَا الجَهْمِ وَمُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ خَطَبَانِي،
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
((أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لاَ مَالَ لَهُ وَأَمَّا أَبُو الجَهْمِ فَلاَ يَضَعُ العَصَا عَنْ عَاتِقِهِ))
وفي رواية لمسلم: ((وَأَمَّا أَبُو الجَهْمِ فَضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ)).
Fathimah bintu Qais berkata, “Aku datang menemui Rasulullah kemudian aku katakan kepada beliau bahwa Abul Jahm dan Mu’awiyah telah melamarku. Maka berkatalah Rasulullah : “Kalau Mu’awiyah adalah seorang yang shu’luk (faqir) yang tidak punya harta. Sedangkan Abul Jahm adalah seorang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” Dalam sebuah riwayat Muslim: “Kalau Abul Jahm adalah seorang yang suka memukul wanita.” [HR. Muslim] 23)
Sudah barang tentu bagi seorang yang berakal bahwa kedua sifat yang disebutkan oleh Rasulullah bagi kedua shahabatnya yang mulia tersebut adalah sifat-sifat kekurangan, terkhusus dalam kondisi keduanya melamar seorang wanita. Apabila ditinjau dengan definisi dan paham saudara Abduh ZA maka sudah barang tentu perkataan dan sikap Rasulullah tersebut adalah tergolong ghibah, yaitu beliau menyebutkan kejelekan atau kekurangan seorang muslim. Tetapi memang sengaja beliau melakukannya karena penjelasan tersebut sangatlah dibutuhkan oleh sang wanita agar ia bisa memilih dan menentukan sikapnya.
Jika perkara tersebut terkait dengan urusan dan kemashlahatan seorang wanita padahal dia hanya seorang saja, lalu bagaimana dengan perkara yang terkait dengan urusan dan kemashlahatan umat (orang banyak), yang dengan keawamannya umat ini sangat mudah untuk tertarik dan tertipu dengan berbagai bid’ah dan kesesatan yang dilakukan oleh tokoh-tokohnya dan dipromosikan oleh para pengikutnya. Maka sudah barang tentu, sebagaimana telah dijelaskan oleh para ‘ulama di atas, adalah sesuatu yang wajib untuk dijelaskan kepada umat tentang kesesatan dan kebid’ahan yang dapat membinasakan mereka.
c. Hadits ‘Aisyah :
أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ،
وَلَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِيْ، إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ؟
فَقَالَ: ((خُذِيْ مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ)).
Bahwa Hindun bintu ‘Utbah 24) berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah pria yang sangat kikir, dan sesungguhnya dia tidak memberikan nafkah yang dapat mencukupiku dan anakku, kecuali apa yang aku ambil darinya dalam keadaan dia tidak mengetahuinya?” Maka Rasulullah menjawab: “Ambillah apa yang cukup buat kamu dan anakmu dengan cara yang baik.” [Muttafaqun ‘alaihi] 25)
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata ketika mengomentari hadits ini:
“Hadits ini dijadikan sebagai dalil tentang bolehnya menyebutkan pribadi seseorang tentang sesuatu yang tidak disukai oleh orang tersebut, jika (dilakukan) dalam upaya mencari fatwa atau pengaduan dan yang semisalnya. Ini adalah salah satu keadaan yang diperbolehkan dengannya perbuatan ghibah.” 26)
Mohon para pembaca sekalian benar-benar memahami dengan baik hadits-hadits di atas beserta penjelasan para ‘ulama tentangnya. Karena itu akan sangat membantu para pembaca sekalian dalam memahami pembahasan-pembahasan berikutnya. Ma’af sekali lagi penjelasan-penjelasan tersebut datangnya dari kalangan para ‘ulama besar, bukan sekadar dari “da’i-da’i salafi” menurut istilah saudara Abduh ZA.
Setelah penjelasan di atas, kita mengetahui bagaimana Rasulullah bersikap dan berkata. Apakah kita berani menuduh Rasulullah telah berbuat ghibah? Padahal kepada beliaulah ayat-ayat Al-Qur‘an —termasuk ayat tentang larangan ghibah— diturunkan. Beliau sendiri, melalui haditsnya, melarang umat ini untuk berbuat ghibah. Tapi ternyata hal itu tidak menghalangi Rasulullah untuk menyebutkan kekurangan dan aib pihak-pihak yang memang harus disebutkan.
__________________________________
20) HR. Al-Bukhari no. 6032, 6054, 6131; Muslim no. 2591.
21) Syarh Riyadhush Shalihin Bab: Ma Yubahu Minal Ghibah.
22) Fathul Bari Kitabul Adab di bawah hadits no. 6032. Lihat juga Manhaju Ahlis Sunnati wal Jama’ah fi Naqdir Rijal wal Kutub wath Thawa‘if, karya Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hal. 28.
23) HR. Muslim no. 1480. Namun penyebutan lafazh hadits di sini adalah dengan diringkas, sebagaimana diringkas oleh Al-Imam An-Nawawi dalam kitab beliau Riyadhush Shalihin hadits no. 1533.
24) Beliau adalah isteri Abu Sufyan
25) HR. Al-Bukhari no. 5364; Muslim no. 1714.
26) Fathul Bari, penjelasan hadits no. 5364. Lihat Manhaju Ahlis Sunnati wal Jama’ah fi Naqdir Rijal wal Kutub wath Thawa‘if, karya Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hal. 29.
Sekarang mari kita ikuti bersama, beberapa hadits yang menggambarkan tentang sikap dan perkataan Rasulullah yang menunjukkan bahwa menyebutkan aib saudara muslim dalam kondisi yang memang dibutuhkan, tidak tergolong perbuatan ghibah, atau kalau mau dikatakan ghibah maka itu adalah ghibah yang diperbolehkan
Di antara dalil-dalil yang menunjukkan tentang adanya jenis-jenis ghibah yang diperbolehkan:
a. Hadits ‘Aisyah , bahwa seorang pria meminta izin (untuk menemui) Rasulullah , maka beliau berkata:
((ائْذَنُوْا لَهُ بِئْسَ أَخُوْ العَشِيْرَةِ))
“Izinkanlah orang tersebut, sesungguhnya dia sejelek-jelek sanak saudara.” [Muttafaqun ‘alaihi] 20)
Al-Imam Al-Bukhari telah berhujjah dengan hadits ini tentang bolehnya melakukan ghibah terhadap pembawa kerusakan dan pengusung syubhat, yaitu dalam kitab beliau Shahihul Bukhari dalam Kitabul Adab bab: Ma Yajuzu min ightiyabi Ahlil Fasadi war Riyab artinya: “Bentuk ghibah yang diperbolehkan terhadap pembawa kerusakan dan syubhat (kerancuan).”
Ketika mensyarh (menjelaskan) hadits di atas Asy-Syaikh Al-’Utsaimin berkata:
“Pria ini tergolong sebagai pembawa kerusakan dan kesesatan, sehingga hal ini menunjukkan tentang bolehnya melakukan ghibah terhadap orang yang tergolong sebagai pembawa kerusakan dan kesesatan. Hal ini dilakukan agar umat manusia waspada terhadap kerusakannya dan tidak terpesona dengannya.” 21)
Al-Imam Al-Qurthubi berkata:
“Pada hadits tersebut terkandung hukum bolehnya melakukan ghibah terhadap orang yang melakukan kefasikan atau kekejian secara terang-terangan atau yang semisal itu dari ketidakadilan di dalam memberikan keputusan hukum serta seruan kepada bid’ah …” 22)
b. Hadits Fathimah bintu Qais :
أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ:
((إِنَّ أَبَا الجَهْمِ وَمُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ خَطَبَانِي،
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
((أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لاَ مَالَ لَهُ وَأَمَّا أَبُو الجَهْمِ فَلاَ يَضَعُ العَصَا عَنْ عَاتِقِهِ))
وفي رواية لمسلم: ((وَأَمَّا أَبُو الجَهْمِ فَضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ)).
Fathimah bintu Qais berkata, “Aku datang menemui Rasulullah kemudian aku katakan kepada beliau bahwa Abul Jahm dan Mu’awiyah telah melamarku. Maka berkatalah Rasulullah : “Kalau Mu’awiyah adalah seorang yang shu’luk (faqir) yang tidak punya harta. Sedangkan Abul Jahm adalah seorang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya.” Dalam sebuah riwayat Muslim: “Kalau Abul Jahm adalah seorang yang suka memukul wanita.” [HR. Muslim] 23)
Sudah barang tentu bagi seorang yang berakal bahwa kedua sifat yang disebutkan oleh Rasulullah bagi kedua shahabatnya yang mulia tersebut adalah sifat-sifat kekurangan, terkhusus dalam kondisi keduanya melamar seorang wanita. Apabila ditinjau dengan definisi dan paham saudara Abduh ZA maka sudah barang tentu perkataan dan sikap Rasulullah tersebut adalah tergolong ghibah, yaitu beliau menyebutkan kejelekan atau kekurangan seorang muslim. Tetapi memang sengaja beliau melakukannya karena penjelasan tersebut sangatlah dibutuhkan oleh sang wanita agar ia bisa memilih dan menentukan sikapnya.
Jika perkara tersebut terkait dengan urusan dan kemashlahatan seorang wanita padahal dia hanya seorang saja, lalu bagaimana dengan perkara yang terkait dengan urusan dan kemashlahatan umat (orang banyak), yang dengan keawamannya umat ini sangat mudah untuk tertarik dan tertipu dengan berbagai bid’ah dan kesesatan yang dilakukan oleh tokoh-tokohnya dan dipromosikan oleh para pengikutnya. Maka sudah barang tentu, sebagaimana telah dijelaskan oleh para ‘ulama di atas, adalah sesuatu yang wajib untuk dijelaskan kepada umat tentang kesesatan dan kebid’ahan yang dapat membinasakan mereka.
c. Hadits ‘Aisyah :
أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ،
وَلَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِيْ، إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ؟
فَقَالَ: ((خُذِيْ مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ)).
Bahwa Hindun bintu ‘Utbah 24) berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah pria yang sangat kikir, dan sesungguhnya dia tidak memberikan nafkah yang dapat mencukupiku dan anakku, kecuali apa yang aku ambil darinya dalam keadaan dia tidak mengetahuinya?” Maka Rasulullah menjawab: “Ambillah apa yang cukup buat kamu dan anakmu dengan cara yang baik.” [Muttafaqun ‘alaihi] 25)
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata ketika mengomentari hadits ini:
“Hadits ini dijadikan sebagai dalil tentang bolehnya menyebutkan pribadi seseorang tentang sesuatu yang tidak disukai oleh orang tersebut, jika (dilakukan) dalam upaya mencari fatwa atau pengaduan dan yang semisalnya. Ini adalah salah satu keadaan yang diperbolehkan dengannya perbuatan ghibah.” 26)
Mohon para pembaca sekalian benar-benar memahami dengan baik hadits-hadits di atas beserta penjelasan para ‘ulama tentangnya. Karena itu akan sangat membantu para pembaca sekalian dalam memahami pembahasan-pembahasan berikutnya. Ma’af sekali lagi penjelasan-penjelasan tersebut datangnya dari kalangan para ‘ulama besar, bukan sekadar dari “da’i-da’i salafi” menurut istilah saudara Abduh ZA.
Setelah penjelasan di atas, kita mengetahui bagaimana Rasulullah bersikap dan berkata. Apakah kita berani menuduh Rasulullah telah berbuat ghibah? Padahal kepada beliaulah ayat-ayat Al-Qur‘an —termasuk ayat tentang larangan ghibah— diturunkan. Beliau sendiri, melalui haditsnya, melarang umat ini untuk berbuat ghibah. Tapi ternyata hal itu tidak menghalangi Rasulullah untuk menyebutkan kekurangan dan aib pihak-pihak yang memang harus disebutkan.
__________________________________
20) HR. Al-Bukhari no. 6032, 6054, 6131; Muslim no. 2591.
21) Syarh Riyadhush Shalihin Bab: Ma Yubahu Minal Ghibah.
22) Fathul Bari Kitabul Adab di bawah hadits no. 6032. Lihat juga Manhaju Ahlis Sunnati wal Jama’ah fi Naqdir Rijal wal Kutub wath Thawa‘if, karya Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hal. 28.
23) HR. Muslim no. 1480. Namun penyebutan lafazh hadits di sini adalah dengan diringkas, sebagaimana diringkas oleh Al-Imam An-Nawawi dalam kitab beliau Riyadhush Shalihin hadits no. 1533.
24) Beliau adalah isteri Abu Sufyan
25) HR. Al-Bukhari no. 5364; Muslim no. 1714.
26) Fathul Bari, penjelasan hadits no. 5364. Lihat Manhaju Ahlis Sunnati wal Jama’ah fi Naqdir Rijal wal Kutub wath Thawa‘if, karya Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hal. 29.