Penjelasan Jihad Yang Fardhu ‘Ain – Syaikh Ibnu ‘Utsaimin [PENTING!]
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا مُتَّفّقٌ عَلَيْه وَمَعْنَاهُ :لاَ هِجْرَةَ مِنْ مَكَّةَ لأَنَّهَا صَارَتْ دَارَ إِسْلاَمِِ
“Artinya : Dari ‘Aisyah, beliau berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Tidak
ada hijrah setelah penaklukan kota Mekkah, akan tetapi jihad dan niat,
dan jika kalian diminta untuk pergi berjihad maka pergilah“
Maknanya : Tidak ada hijrah dari Mekkah karena dia telah menjadi negeri Islam.
Permasalahan jihad yang hukumnya fardhu ‘ain
merupakan permasalahan besar yang belum banyak diketahui oleh kaum
muslimin. Sehingga banyak para da’i berfatwa dan menyerukan jihad yang
hukumnya (dianggap) fardhu ‘ain terhadap setiap pribadi tanpa dasar
kaidah yang jelas, dan terkadang dibuat dalam rangka mewujudkan
keinginan-keinginan pribadi dan sekelompok orang tertentu saja. Oleh
karena itu dalam kesempatan ini, kami merasa perlu memuat suatu
penjelasan singkat tentang hal tersebut dari seorang alim ulama yang
telah dikenal ilmu dan kesholehannya, agar kita semua dapat beramal
diatas ilmu, dan mudah-mudahan Allah memberi taufiq-Nya kepada kita
untuk berjalan di jalan yang lurus.
Syarah Hadits.
Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menyatakan tidak ada hijrah setelah penaklukan kota
Mekkah dengan sabdanya :
لاَ هِجْرَةَ
Tidak ada hijrah.
Peniadaan ini bukan untuk keumumannya,
maknanya hijrah tersebut tidak batal dengan penaklukan kota Mekkah,
karena hijrah tersebut tidak akan hilang sampai hari kiamat sebagaimana
telah ada dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
لاَ تَنْقَطِعُ الْهِجْرَةُ حَتَّى تَنْقَطِعَ التَّوْبَةُ وَلاَ تَنْقَطِعُ التَّوْبَةُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا
“Artinya : Hijrah tidak terputus sampai taubat terputus, dan taubat tidak terputus sampai matahari terbit dari sebelah barat”
Akan tetapi yang dimaksud dengan tidak ada hijrah disini adalah tidak adanya hijrah dari Mekkah,
sebagaimana dinyatakan oleh penulis (Imam Nawawi) diatas, karena
setelah penaklukan kota Mekkah menjadi negeri Islam dan setelah itu
tidak akan kembali menjadi negeri kafir, dengan dasar inilah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam meniadakan hijrah setelah penaklukan
Mekkah.
Mekkah dahulu di bawah kekuasaan kaum
musyrikin, mereka telah mengusir Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam darinya, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah
dengan izin Rabbnya ke Madinah. Setelah delapan tahun Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah, beliau kembali ke Mekkah dan
menaklukannya sehingga kota Mekkah menjadi negeri iman dan Islam, dan
dengan demikian tidak ada lagi hijrah dari sana.
Dalam hadits ini ada dalil yang
menunjukkan bahwa Mekkah tidak akan kembali menjadi negeri kafir, tetapi
tetap menjadi negeri Islam sampai datang hari kiamat atau sampai waktu
yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki.
Kemudian sabda beliau :
وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ
“Akan tetapi jihad dan niat”
Bermakna : Perintah setelah ini adalah jihad, yaitu penduduk Makkah keluar dari Makkah untuk berjihad. Dan “waniyyatun”
bermakna : Niat yang baik untuk berjihad di jalan Allah, yaitu dengan
cara berniat adalah jihadnya untuk meningkatkan kalimat Allah.
Kemudian beliau bersabda :
وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا
“Dan jika kalian diminta untuk pergi berjihad maka pergilah”.
Bermakna : Jika waliyul amri
(pemerintah) meminta kalian untuk pergi berjihad di jalan Allah, maka
kalian wajib berangkat berjihad, dan hukum jihad pada saat itu adalah
fardhu ‘ain. Maka jangan seorangpun tidak memenuhinya, kecuali
orang yang telah mendapat udzur Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan dalil
firman-Nya.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَالَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انْفِرُوا فِي سَبِيلِ اللهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى اْلأَرْضِ أَرَضِيتُم بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ اْلأخِرَةِ فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي اْلأَخِرَةِ إِلاَّ قَلِيلٌ إِلاَّ تَنفِرُوا يُعَذِّبْكُمْ عَذَابًا أَلِيمًا وَيَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ وَلاَتَضُرُّوهُ شَيْئًا وَاللهُ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
“Artinya : Hai orang-orang yang
beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu : ‘Berangkatlah
(untuk berperang) pada jalan Allah’ kamu merasa berat dan ingin tinggal
di tempatmu. Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti
kehidupan di akhirat? padahal kenikmatan hidup di dunia (dibandingkan
dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat
untuk berperang, niscaya Allah akan menyiksa dengan siksa yang pedih
dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat
memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu” [At-Taubah : 38-39]
Ini merupakan salah satu keadaan jihad yang diuhukumi fardhu a’in.
Keadaan kedua : Jika musuh
mengepung satu Negara, bermakna musuh datang menyerang Negara tersebut
dan mengepungnya, maka jihad diwaktu itu menjadi fardhu ‘ain.
Dalam keadaan seperti ini setiap orang wajib berperang, termasuk para
wanita dan orang tua yang mampu berjihad. Karena ini merupakan jihad
membela diri (jihad difa’) dan perang membela diri ini berbeda dengan
perang menyerang mush (jihad tholab), sehingga dalam keadaan seperti ini
seluruh orang berangkat untuk membela Negara mereka.
Keadaan ketiga : Jika terjadi
pertempuran, kedua belah pihak yang berperang saling berhadapan, barisan
orang-orang kafir dengan barisan kaum muslimin, maka jihad pada waktu
itu hukumnya fardhu ‘ain dan tidak boleh seorangpun berpaling, sebagaimana firman Allah.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَالَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا زَحْفًا فَلاَ تُوَلُّوهُمُ اْلأَدْبَار . وَمَن يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إِلاَّ مُتَحَرِّفًا لِقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزًا إِلَى فِئَةٍ فَقَدْ بَآءَ بِغَضَبٍ مِّنَ اللهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
“Artinya : Hai orang-orang beriman,
apabila kamu bertemu orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu,
maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang
membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk
(siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan lain, maka
sesungguhnya orang itu kembali membawa kemurkaan dari Allah, dan
tempatnya ialah neraka Jahanam. Dan amat buruklah tempat kembalinya” [Al-Anfaal : 15-16]
Demikian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggolongkan kabur dari medan pertempuran termasuk dosa besar yang tujuh.
Keadaan keempat : Jika seseorang
dibutuhkan, contoh : tidak ada yang mengetahui penggunaan senjata
kecuali hanya satu orang saja, dan orang-orang membutuhkan orang
tersebut untuk menggunakan senjata baru, maka wajib atasnya untuk
berjihad walaupun imam (waliyul amri) tidak memintanya berangkat dan
kewajiban itu ada lantaran dia dibutuhkan.
Maka dalam empat keadaan inilah jihad menjadi fardhu ‘ain, dan yang selainnya adalah fardhu kifayah.
Ahlul Ilmi menyatakan bahwa wajib atas
kaum muslimin untuk menjadikan sebagian dari mereka berjihad setiap
tahun sekali, berjihad memerangi musuh-musuh Allah dalam rangka
meninggikan kalimat Allah, bukan karena sekedar membela Negara. Karena
membela negara, semata-mata sebagai satu negara, itu bisa dilakukan
orang mukmin dan kafir. Orang-orang kafir-pun membela negara mereka. Akan
tetapi seorang muslim hanya membela agama Allah, sehingga dia membela
negaranya bukan karena sekedar sebagai satu negara akan tetapi karena
dia adalah negara Islam, lalu dia membelanya dalam rangka menjaga Islam.
Oleh karena itu wajib atas kita pada keadaan yang kita hadapi sekarang
ini, untuk mengingatkan seluruh orang bahwa seruan untuk memerdekakan
negara dan yang serupa dengannya adalah seruan yang tidak pas, dan wajib
bagi kita untuk mendidik manusia dengan pendidikan agama. Dan hendaklah
dikatakan : Kita membela agama kita sebelum yang lainnya,
karena Negara kita adalah negara agama dan negara Islam yang membutuhkan
perlindungan dan pembelaan, maka kita harus membelanya dengan niat
tersebut.
Adapun membela dengan niat nasionalisme
atau kesukuan maka ini terjadi pada orang mukmin dan kafir, dan
perbuatan tersebut tidak bermanfaat bagi pelakunya pada hari kiamat,
jika terbunuh dalam keadaan membela Negara dengan niat ini maka dia
tidak mati syahid ; karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
ditanya tentang seseorang yang berperang karena kebanggaan (gengsi) dan
berperang karena keberanian saja dan berperang karena ingin
memperlihatkan kehebatannya, mana yang dikatakan dijalan Allah lalu
beliau berkata.
مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
“Artinya : Siapa yang berperang agar kalimat Allah menjadi tinggi maka dialah yang berada di jalan Allah”
Perhatikan syarat ini !!
Jika kamu berperang karena negara, maka kamu dan orang kafir sama, akan
tetapi berperanglah karena ingin menegakkan kalimat Allah yang
dilaksanakan di negara kamu, karena negara kamu adalah negara Islam,
maka pada keadaan seperti ini mungkin perang tersebut dapat dikatakan
perang di jalan Allah.
Telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda.
مَا مِنْ مَكْلُومٍ يُكْلَمُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاللهُ أَعْلَمُ بِمَنْ يُكْلَمُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَجُرْحُهُ يَثْعَبُ دَمًا اللَّوْنُ لَوْنُ دَمٍ وَالرِّيحُ رِيحُ مِسْكٍ
“Artinya : Tidak ada luka yang
terluka di jalan Allah dan Allah maha tahu siapa yang terluka di jalan
Allah kecuali datang pada hari kiamat dalam keadaan lukanya mengeluarkan
darah, warnanya warna darah tetapi wanginya wangi misk (minyak kasturi)”
Perhatikan bagaimana Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam mensyaratkan mati syahid dengan berperang hanya
dijalan Allah, maka wajib atas para penuntut ilmu menjelaskan
permasalahan ini kepada umat.
Wallahul Muwaffiq