LEMBAYUNG SENJA





Telah ku lewati separuh jalan kehidupan. Aku tersesat di tengah tandusnya gurun pasir. Semakin jauh, semakin ku tak mengerti. Mataku seolah kehilangan fokusnya, samar-samar pemandangan ku tangkap. Fatamorgana yang kian berdatangan silih berganti bagaikan sebuah oase. Tetapi biarlah. Tak peduli apapun, dimana pun dan kapan pun, akan ku gapai tujuanku yang menjadi tujuan akhir semua makhluk. Walaupun tak sanggup ku pandang birunya langit, walaupun tak dapat ku pandang putihnya arakan awan, walaupun tak ku rasakan semilir tiupan angin, akan ku genggam kedamaian di akhir lembayung jingga.

“Nad, serius?” Pertanyaan spontan yang diulang-ulang bagaikan kaset rusak dari beberapa saat yang lalu. Kata-kata itu begitu berputar-putar di otakku dan mau tak mau aku harus mencari jawabannya. Pandanganku menerawang kosong menatap layangan awan putih dengan background langit biru.
“Nad?” Panggilan terakhir membuatku kembali pada alam nyata. Walaupun masih ragu, ku anggukan kepala perlahan sembari membulak-balikkan brosur yang Zahra beri barusan. Senyum cerah terbit di wajahnya yang malah membuatku merasa bersalah. Bukan. Bukan karena aku sudah melakukan hal yang salah, bukan. Demi Allah bukan. Aku kembali teringat pada ucapan beberapa temanku baru-baru ini.
“Alaaaah, udah belaga alim lu Nad, ikutan klub dakwah!” kata-kata yang membuatku rasanya to the jleb sampai ke dasar-dasarnya.
“Aku takutnya kamu jadi orang munafik, Nad! Pake jilbab lebar-lebar kan bukan style kamu banget!”
“Maksud kamu?”
“Iya, lagi kumpulan sih iya jilbab lebar, pake rok. Pas di luarnyaaa? Balik lagi deh kaos, jeans, kerudung standar!”
“Aku gak bisa ngebayangin, Nad! Ntar jadi kayak ibu-ibu pengajian, hahaha!” serta cemooh-cemohaan lain yang membuatku jatuh ke jurang.
“Nad? Nadia?” Jentikkan jari Zahra membuyarkan lamunanku lagi. Aku tersenyum meyakinkan.
“Oke, Nadia! Di tunggu ba’da shalat jum’at di mesjid ya! Aku pergi dulu, Assalamualaikum!” Pamit Zahra padaku. Aku hanya memandangi punggungnya yang kian jauh sembari berucap lirih, “Wa’alaikumsalam warohmatullah…”

Suasana mesjid kampus tak pernah sepi. Orang-orang tak hanya menggunakan mesjid sebagai sarana untuk melaksanakan shalat saja, ada yang berdiskusi, hingga melepas lelah di antara penatnya mata kuliah yang mendera para mahasiswa-mahasiswi. Seperti saat ini, selepas shalat jum’at mesjid kampus tampak ramai. Aku berjalan menaiki tangga mesjid menuju lantai 2 yang biasanya dipakai khusus akhwat. Ku edarkan pandanganku ke sekeliling area mesjid hingga aku temukan kumpulan akhwat di pojok mesjid sebelah kanan, aku menghampiri dan bergabung di sana.
“Maka dari itu buat antunna semua, waspadalah terhadap apa yang mereka katakan. Kuatkan jiwa untuk mendengar kritikan, cemoohan dan hinaan mereka. Bersikaplah laksana batu cadas; tetap kokoh berdiri meskipun diterpa butiran-butiran salju yang menderanya setiap saat, dan ia justru semakin kokoh karenanya. Jangan membalasnya dengan sikap atau ucapan buruk, balaslah dengan akhlak yang baik. Acuhkan saja mereka dan jangan pernah merasa tertekan akan ucapan yang menjatuhkan antunna sekalian, karena semua perbuatan pasti ada balasannya dan cukup mengomentarinya sebagaimana dalam firman Allah dalam QS.Ali Imran:119 “Katakanlah (kepada mereka): matilah kamu karena kemarahanmu itu.”
Aku tercenung mendengarnya. Tepat. Tepat sekali dengan apa yang sedang ku rasakan saat ini. Memang tidak mudah saat Allah memberikan sebuah hidayah. Ada kalanya ombak yang menerjang, ada kalanya batu karang yang menghambat perjalanan. Semuanya memang tidak instan, tidak ada satu pun perjuangan yang Allah tidak beri kerikil tajam.
Gema adzan Ashar menggema menghantarkan acara mentoring di penghujung pertemuan. Lantunan adzan yang syahdu menyelubungi kompleks mesjid kampus. Setelah kakak mentor menutup acara dengan do’a kifaratul majlis, kami dipersilakan bubar. Aku dan Zahra bergegas mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat Ashar.
“Alhamdulillah ukh, Insya Allah anti ada di jalan yang diridhoi Allah!” Ucap Zahra. Aku tersenyum, “Aamiin ukh, ana mau mencoba istiqomah untuk terjun di jalan dakwah!”

“Nad!” Sonya memanggilku. Aku menoleh ke hadapan gadis berkuncir kuda itu. Dia sahabat karibku semasa duduk di bangku SMA. Dia masih tak berubah. Setelan baju modisnya, celana panjang ketat yang dipadu dengan sepatu hak tinggi kurang lebih 5 cm. kadang aku berpikir, dia berniat kuliah atau fashion show? Ah Astagfirullahal adzim, aku tidak boleh begitu. Bagaimanapun Sonya sahabatku, bahkan penampilanku dahulu tak jauh dari yang Sonya kenakan sekarang.
“Oh, ada apa Sonya?” sahutku kemudian. Dengan senyum cerah, dia menyodorkan 2 lembar kertas yang ku tak mengerti.
“Ini apaan?” ucapku bertanya-tanya.
“Aaaaaah lu mah, Nad! jangan belaga bego deh! Masa lupa, ini tiket konser!” ucap Sonya. Aku sedikit tersinggung dengan ucapan Sonya, bukannya aku tidak tahu atau apa. Tapi, aku memang sedang berusaha untuk menghindarkan hal-hal seperti ini. Aku tahu dia berniat mengajakku nonton konser artist favorit kami.
“Kamu mau ngajak aku nonton konser?”
“Ya iyalah! Pake nanya segala! Bukannya dulu kamu ngebet banget pengen nonton konser ini! sampe galau-galau segala! Ayo Nadia, acaranya lusa, aku menang give away nih! Jadi tiketnya gratisaaaan!” seru Sonya panjang lebar.
Aku hanya menggeleng pelan yang menyebabkan Sonya mengerutkan keningnya. “Maaf deh, lusa aku gak bisa. Ada acara LDK, lagian nonton konser gituan tuh gak baik loh Sonya! Dimana perempuan sama laki-laki saling desak-desakkan. Dan otomatis kulit mereka saling bersentuhan, walaupun gak sengaja kan itu gak boleh! Bukan mahrom, Sonya!” jelasku panjang lebar mencoba memberi pengertian pada Sonya.
“Alaaaah, jangan sok alim deh lu! Mentang-mentang masuk LDK, jangan sok nasehatin! Lagian juga dulu kan lo kayak gitu, Nad! Malah lebih gila dari gue!”
“Mungkin dulu iya. Tapi sekarang aku mau berubah, gak mungkin aku kayak gitu terus. Aku juga pengen punya masa depan yang menjanjikan, Sonya! Aku pengen bahagia di Akhirat sana!”
“Eh, Nad! Lo pikir apa yang selama ini kita lakuin tuh haram apa?”
“Jelas gak haram, Sonyaaa! Mengidolakan boleh-boleh saja asalkan jangan berlebihan. Inget! Allah gak suka sama hal-hal yang berlebihan! Aku juga bukan berarti benci sama mereka, gak. Aku masih suka kok sama mereka, Cuma menguranginya saja.”
“Aaaah Nad! Gue jadi bener-bener kehilangan sosok lo yang dulu. Kita nonton konser sama-sama. Kita maen sama-sama. Kita ngefans gila bareng! Sebenernya apa sih yang ngebuat lo jadi kayak begini, hah?”
“Allah! Allah yang ngebuat aku jadi begini, kenapa? Kamu mau protes sama Allah?”
“Aaaarrgghh! Udahlah, lo tu munafik, Nad! Gue tahu lu pengen, beberapa bulan lalu lu masih sahabat gue, tapi sekarang udahlah…! mulai sekarang lo jangan datengin gue lagi, gue muak sama orang yang suka ceramahin gue!” Dia pergi. Aku menghela napas dan menghembuskannya perlahan. Sonyaaa… sahabat karib seperjuanganku. Kita bisa seperti ini hanya karena aku membanting setir ke dunia dakwah? kamu gak mau temanmu masuk syurga? Bahkan tadinya aku mau ngajak kamu.Sonyaaa… aku gak nyangka kamu seperti ini. aku mencintaimu sebagai sahabat bukan hanya di dunia. Tapi juga, aku ingin menjadi sahabatmu di akhirat. Kita bertemu lagi di syurga-Nya.
Aku berjalan lunglai menuju mesjid untuk melaksanakan shalat zuhur, di tengah gemericik air wudhu, air mataku menetes. Di tengah khusyuknya shalat, bibirku bergetar. Di penghujung salam kanan dan kiri aku menangis. “Munafik. Munafik. Ya Allah benarkah apa yang diucapkan Sonya? Demi Allah yang nyawaku berada di genggaman-Nya. Aku tidak munafik Ya Rabb, aku hanyalah seorang hamba yang ingin berubah menjadi lebih baik lagi. Aku ingin istiqomah, Ya Rabb!” Aku menangkupkan telapak tangan di wajahku. Tangan yang sedari tadi kering kini sudah basah oleh air mata. Betapa pun aku tegar, aku tidak terima aku dikatai munafik, apalagi oleh sahabatku sendiri. Ya Rabb Engkau tahu aku dengan mantap memilih jalan-Mu. Hati ini sudah berhimpun dalam mencintai-Mu, bertemu untuk taat kepada-Mu. Ya Allah Ya Rabb, dengan bismillah aku mantapkan hati ini agar selalu berada di jalan-Mu.

Senja mulai memamerkan pancaran jingganya. Kali ini pancaran lembayung tampak lebih pekat dari biasanya. Seperti biasa, aku baru selesai dari aktifitas mentoring LDK dan saat ini aku berniat pulang ke kost-an yang tak jauh dari kampusku. Di tengah perjalanan pulang, aku memandang ufuk langit yang tampak memerah, pancaran mentari tak lama lagi akan di gantikan sang rembulan. Emosiku campur aduk, setahun yang lalu aku masih murid SMA yang selalu update tentang fashion. Baju, setelan, tatanan rambut, sepatu bahkan berfanatik ria memuja sang artis idola. Tak sebersit pun aku berpikir, aku akan menjadi aktifis dakwah seperti ini. Berjilbab lebar nan syar’i. Ya Allah, betapa hati ini merindukan suasana menyejukkan seperti ini. Aktivitas yang Insya Allah bermanfaat dan senantiasa diridhoi Allah. Ya Rabb, betapa hati ini merindukan pancaran cahaya-Mu. Betapa telinga ini merindukan lantunan syahdu firman-Mu. Betapa hidung ini merindukan aroma syurga-Mu. Betapa mata ini merindukan pemandangan calon-calon generasi syurga-Mu. Ku tegaskan kembali. Di tengah saksi bisu sang lembayung jingga, di tengah saksi bisu sang mentari senja, inilah jalanku, inilah pilihanku yang tak seorang pun dapat mengganggunya. Islamic Tutorial Group is my choice!

Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwasanya hati-hati ini telah berhimpun dalam mencintai-Mu, bertemu untuk taat kepada-Mu, bersatu untuk merespon seruan-Mu dan berjanji untuk setia dalam membela syari’at-Mu, Ya Allah kuatkanlah ikatannya, kekalkanlah kasih sayangnya, tunjukkanlah jalan-jalannya.
Ya Allah, penuhilah hati-hati ini dengan cahaya-Mu yang tiada pudar, lapangkanlah dada-dada ini dengan keimanan kepada-Mu dan keindahan tawakkal kepada-Mu, hidupkanlah hati ini dengan ma’rifat kepada-Mu dan matikanlah ia dalam syahid di jalan-Mu. Sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pelindung dan penolong.