Lafazh لعل dan عسى


Lafazh لَعَلَّ dan عَسَى digunakan untuk menunjukkan makna raja' (harapan/berharap) dan thama' (keinginan) dalam perkataan sesama manusia jika mereka meragukan beberapa hal yang masih bersifat kemungkinan, namun tidak dapat memastikan mana yang terjadi di antaranya. Adapun jika dikaitkan dengan firman Allah maka ada beberapa pendapat:
1. Pertama: Menunjukkan sesuatu hal yang sudah pasti terjadi, sebab penisbatan segala sesuatu kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah penisbatan yang mengandung kepastian dan keyakinan.
2. Kedua: Menunjukkan makna harapan sebagaimana makna aslinya, jika dilihat dari sudut Mukhathab (lawan bicara).
3. Ketiga: Kedua lafazh tersebut, di banyak tempat (dalam al-Qur'an) menunjukkan ta'lil (alasan), seperti dalam ayat:

وَمِنَ الَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَّكَ عَسَى أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا {79}
" Dan pada sebagian malam hari shalat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Rabb-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji." (QS. Al-Israa': 79)
Dan firman-Nya:

قُل لاَّيَسْتَوِي الْخَبِيثُ وَالطَّيِّبُ وَلَوْ أَعْجَبَكَ كَثْرَةُ الْخَبِيثِ فَاتَّقُوا اللهَ يَاأُوْلِي اْلأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ {100}
" Katakanlah:"Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertaqwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan." (QS. Al-Maaidah: 100)


Lafazh جعل
Jumat, 08 Maret 13
Lafazh جعل dalam al-Qur'an datang dalam banyak makna, di antaranya:
Yang pertama: Bermakna سَمَّى (menamai/memberi nama) seperti firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala:

الَّذِينَ جَعَلُوا الْقُرْءَانَ عِضِينَ {91}
" (yaitu) Orang-orang yang telah menjadikan al-Qur'an itu terbagi-bagi." (QS. Al-Hijr: 91) (sebagian mereka mengatakan al-Qur'an sihir, dongeng dan lain-lain)
Maksudnya mereka menamakannya (al-Qur'an) sebuah kedustaan. Dan firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala:

وَجَعَلُوا الْمَلاَئِكَةَ الَّذِينَ هُمْ عِبَادُ الرَّحْمَنِ إِنَاثًا … {19}
" Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat yang mereka itu adalah hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah sebagai orang-orang perempuan…." (QS. Az-Zukhruf: 19) Menurut salah satu pendapat.
Dan ini didukung oleh firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala:

إِنَّ الَّذِينَ لاَيُؤْمِنُونَ بِاْلأَخِرَةِ لَيُسَمُّونَ الْمَلاَئِكَةَ تَسْمِيَةَ اْلأُنثَى {27}
" Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar menamakan malaikat itu dengan nama perempuan)." (QS. An-Najm: 27)
Yang Kedua: Bermakna أَوْجَدَ (membuat) dan membutuhkan satu objek penderita. Dan beda antara kata ini dengan kata خلق (menciptakan) adalah bahwa kata خلق terkandung di dalamnya makna perencanaan/perkiraan, dan terjadi tanpa ada sesuatu yang mendahului, yang mana tidak ada unsur (bahan dasar) ataupun sebab inderawi yang mendahuluinya, berbeda halnya dengan kata أَوْجَدَ.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

الْحَمْدُ للهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ …{1}
" Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi, dan mengadakan gelap dan terang (cahaya)…." (QS. An-An'am: 1)
Karena gelap dan cahaya hanya muncul dari benda-benda, sehingga ia (gelap dan terang/cahaya) ada karena keberadaannya (benda-benda tersebut) dan tiada (hilang) dengan ketiadaannya.
Yang Ketiga: Bermakna memindahkan dari satu kondisi ke kondisi yang lain dan bermakna merubah (dari satu benda ke benda yang lain), maka untuk makna yang seperti ini ia membutuhkan dua objek penderita, baik secara inderawi, seperti dalam firman-Nya:

الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأَرْضَ فِرَاشًا … {22}
" Dialah Yang merubah bumi menjadi hamparan bagimu …." (QS. Al-Baqarah: 22)
Atau secara akal, seperti dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala:

أَجَعَلَ اْلأَلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا … {5}
" Mengapa ia menjadikan ilah-ilah (yang banyak) itu menjadi Ilah Yang Satu …." (QS. Shaad: 5)
Yang Keempat: Bermakna keyakinan (meyakini) seperti dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala:

وَجَعَلُوا للهِ شُرَكَآءَ الْجِنَّ ... {100}
" Dan mereka (orang-orang Musyrik) menjadikan (meyakini) jin itu sekutu bagi Allah, ..." (QS. An-An'am: 100)
Yang Kelima: Bermakna menghukumi/menetapkan sesuatu dengan sebuah hukum, baik haq (benar) ataupun bathil (tidak). Adapun yang haq seperti dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala:

... إِنَّا رَآدُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ {7}
" ... Karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul." (QS. Al-Qashash: 7)
Sedangkan yang bathil (menghukumi/menetapkan sesuatu dengan kebatilan) seperti dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala:

وَجَعَلُوا للهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَاْلأَنْعَامِ نَصِيبًا … {136}
" Dan mereka memperuntukkan (menetapkan) bagi Allah satu bahagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah…." (QS. An-An'am: 136)

 =====================================================================

Lafazh (كاد)
Para ulama dalam lafazh ini terbagi menjadi beberapa madzhab (pendapat):
Pertama: Bahwasanya ia seperti fi'il-fi'il (kata kerja-kata kerja) yang lain, baik dalam nafyi (meniadakan/negatif) atau itsbat (menetapkan/positif). Maka itsbatnya (penetapannya) adalah istbat (penetapan) dan nafyinya (peniadaannya) adalah nafyi (peniadaan), karena maknanya adalah hampir. Maka makna كاد يفعل maknanya adalah hampir melakukan (mendekati waktu melakukan sesuatu). Dan makna ما كاد يفعل adalah tidak mendekatinya. Maka khabarnya selalu manfi (sesuatu yang dinafikan/negatif). Akan tetapi nafyi (peniadaan/negatif) dalam kalimat mutsbat (penetapan/positif) dipahami dari maknanya, karena pengabaran dengan dekatnya (hampir terjadinya) sesuatu menunjukkan tidak terjadinya hal tersebut menurut 'urf (kebiasaan), karena kalau tidak demikian niscaya sesuatu tersebut tidak dikabarkan dengan kata "hampir".
Adapun jika ia (كاد) tersebut manfiyah (dinafikan/negatif), maka jika ditiadakan (dinafikan) "kedekatan/hampir terjadinya" suatu perbuatan, maka hal itu secara akal menunjukkan tidak terjadinya perbuatan tersebut. Yang menunjukkan hal tersebut adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

...إِذَآ أَخْرَجَ يَدَهُ لَمْ يَكَدْ يَرَاهَا ... {40}
"… Apabila dia mengeluarkan tangannya, hampir-hampir dia tiada dapat melihatnya, …" (QS. An-Nuur: 40)
Oleh sebab itu kata لَمْ يَكَدْ يَرَاهَا (hampir-hampir dia tiada dapat melihatnya) lebih fasih (lebih terang) maknanya dibandingkan perkataan لَمْ يَرَهَا (tidak melihatnya), karena seseorang yang tidak melihat sesuatu terkadang hampir (mendekati) melihatnya.
Kedua: Bahwasanya ia berbeda dengan fi'il-fi'il (kata kerja-kata kerja) yang lain, baik dalam nafyi maupun itsbat. Maka itsbatnya (penetapannya) adalah nafyi (peniadaan) dan nafyinya (peniadaannya) adalah itsbat (penetapan). Oleh karena itu mereka (para ulama) berkata:"Sesungguhnya ia (كاد) jika diitsbatkan (ditetapkan/positif) bermakna nafyi, dan jika dinafikan (ditiadakan/negatif) bermakna itsbat."
Maka jika dikatakan:كاد يفعل maknanya adalah belum melakukannya, dalilnya (buktinya) adalah firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala:

وَإِن كَادُوا لَيَفْتِنُونَكَ ...{73}
" Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu (Nabi)…". (QS. Al-Israa': 73)
Karena mereka belum (tidak) menggelincirkan beliau shallallahu 'alaihi wasallam. Dan jika dikatakan: لم يكد يفعل (hampir tidak melakukan), maka maknanya adalah dia melakukannya, dalilnya adalah firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala:

...فَذَبَحُوهَا وَمَاكَادُوا يَفْعَلُونَ {71}
"… Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu." (QS. Al-Baqarah: 71)
Karena mereka melakukan penyembelihan.
Ketiga: Bahwasanya ia (كاد) apabila dalam kalimat nafyi menunjukkan makna terjadinya perbuatan tersebut dengan kesulitan dan susah payah. Seperti firman-Nya:

...فَذَبَحُوهَا وَمَاكَادُوا يَفْعَلُونَ {71}
"… Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu." (QS. Al-Baqarah: 71)
Keempat: Ada perincian dalam kalimat nafyi, antara bentuk kata kerja mudhari' (kata kerja yang menujukkan masa sekarang atau yang akan datang) dengan kata kerja madhi (kata kerja lampau). Maka nafyi (كاد) dalam bentuk mudhari' bermakna nafyi, sedangkan nafyi (كاد) dalam bentuk madhi bermakna istbat. Yang menunjukkan bentuk yang pertama adalah firman-Nya:

لَمْ يَكَدْ يَرَاهَا
"… hampir-hampir dia tiada dapat melihatnya…" (QS. An-Nuur: 40)
Dikarenakan mereka tidak melihat sama sekali.
Dan yang menunjukkan bentuk yang kedua adalah firman-Nya:

...فَذَبَحُوهَا وَمَاكَادُوا يَفْعَلُونَ {71}
"… Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu." (QS. Al-Baqarah: 71)
Dikarenakan mereka melakukannya (melakukan perintah penyembelihan)
Kelima: Bahwasanya ia (كاد) apabila dalam kalimat nafyi menjadi itsbat jika kalimat (kata) setelahnya bersambung dengan sebelumnya dan berkaitan dengannya. Seperti ucapan seseorang:

ماَ كِدْتُ أَصِلُ إِلىَ مَكَةَ حَتىَ طُفْتُ بِالبَيْتِ الحَرَام
"Hampir aku tidak sampai ke Mekah sehingga aku (sudah) melakukan thawaf di Baitul Haram."
Dan di antaranya adalah firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala:

...فَذَبَحُوهَا وَمَاكَادُوا يَفْعَلُونَ {71}
"… Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan perintah itu." (QS. Al-Baqarah: 71)

 ===================================================================

Lafazh (كان)
Di dalam al-Qur'an Lafazh ((كان dalam pengabaran tentang Dzat Allah dan sifat-sifat-Nya datang (disebutkan) dengan jumlah yang banyak. Para Ahli Nahwu (tata bahasa Arab) dan selainnya berbeda pendapat dalam masalah, apakah ia menunjukkan Inqitha' (terputus) atau tidak.
Pendapat Pertama:Ia (Kaana) memberikan faidah Inqitha', karena ia adalah fi'il (kata kerja), yang mengisyaratkan tajaddud (sesuatu yang terus berulang kembali)
Pendapat Kedua: Tidak memberikan faidah tersebut, akan tetapi ia menunjukkan makna kontinyu (rutin) dan terus-menerus. Dan pendapat ini dinyatakan oleh Ibnu Mu'thi rahimahullah secara tegas (pasti) dalam kitab Alfiyah-nya ketika beliau mengucapkan:

وَ كَانَ لِلْمَاضِيْ الذِيْ مَا انْقَطَعَا
Ar-Raghib rahimahullah berkata dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala:

... وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا {27}
"… Dan syaitan itu adalah sangat kafir kepada Rabbnya." (QS. Al-Israa': 27)
"Dia (Allah) subhanahu wata'ala mengingatkan (hamba-Nya) dengan firman-Nya:(كان) dengan artian bahwa ia (Syetan) semenjak diciptakan terus-menerus dalam sifat kufur.
Pendapat Ketiga: Ia adalah ungkapan tentang keberadaan sesuatu di zaman yang lalu namun tidak jelas/pasti (samar). Dan di dalamnya tidak ada dalil yang menunjukkan ketiadaan sesuatu yang telah lalu, dan tidak pula keterputusan sesuatu yang datang setelahnya. Di antaranya adalah firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala:

...وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا{50}
"…Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Ahzaab: 50)
Pendapat ini dikatakan oleh Az-Zamakhsyari rahimahullah dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ ... {110}
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia..." (QS. Ali 'Imraan: 110). Ketika beliau menafsirkan ayat ini dalam tafsir beliau al-Kasysyaaf.
Ibnu 'Athiyah menyebutkan dalam surat al-Fath bahwa ia (كان) ketika berada dalam konteks sifat Allah maka tidak menunjukkan zaman.
Dan yang benar dari pendapat-pendapat ini adalah perkataan az-Zamakhsyari, bahwasanya ia memberikan faidah keterkaitan (bersambungnya) kalimat setelahnya (setelah Kaana) dengan zaman lampau, tidak yang lain, dan ia sendiri tidak menunjukkan keterputusan makna tersebut atau keberadaannya. Akan tetapi jika kalimat tersebut memberikan salah satu dari kedua faidah tersebut, maka hal itu berasal dari dalil lain.
Dan kepada makna inilah, dibawa (diarahkan) lafazh (كان) di dalam al-Qur'an yang berupa pemberitaan Allah tentang sifat-sifat-Nya dan selainnya dalam jumlah yang banyak. Seperti firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala:

... وَكَانَ اللهُ سَمِيعًا عَلِيمًا {148}
"…Dan Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. "(QS. An-Nisaa': 148)

وَإِن يَتَفَرَّقَا يُغْنِ اللهُ كُلاًّ مِّن سَعَتِهِ وَكَانَ اللهُ وَاسِعًا حَكِيمًا {130}
"…Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana. "(QS. An-Nisaa': 130)

… وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا {59}
"…Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Ahzaab: 59)

... وَكُنَّا بِكُلِّ شَىْءٍ عَالِمِينَ {81}
"…Dan adalah Kami Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. Al-Anbiyaa': 81)

…وَكُنَّا لِحُكْمِهِمْ شَاهِدِينَ {78}
"…Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu." (QS. Al-Anbiyaa': 78)
Dan ketika Allah mengabarkan dengan lafazh tersebut (dalam al-Qur'an) sifat-sifat manusia maka yang dimaksud adalah peringatan bahwa sifat-sifat tersebut ada pada mereka sebagai insting (naluri), dan watak yang tertanam pada jiwa manusia. Seperti firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala:

... وَكَانَ اْلإِنسَانُ عَجُولاً {11}
"...Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa." (QS. Al-Israa': 11)
Dan firman-Nya:

… إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولاً {72}
"… Sesungguhnya ia (manusia) itu amat zalim dan amat bodoh." (QS. Al-Ahzaab: 72)
Abu Bakr ar-Razi rahimahullah telah memeriksa (meneliti) penggunaan lafazh كان dalam al-Qur'an, dan beliau rahimahullah mengambil kesimpulan penggunaan lafazh tersebut, lalu berkata:" كان dalam al-Qur'an ada lima bentuk (makna)."
Pertama: Bermakna azali dan abadi,seperti firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala:

… وَكَانَ اللهُ عَلِيمًا حَكِيمًا {170}
"… Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. "(QS. An-Nisaa': 170)
Kedua:Bermakna sesuatu yang terputus, seperti firman-Nya:

وَكَانَ فِي الْمَدِينَةِ تِسْعَةُ رَهْطٍ ... {48}
"Dan adalah di kota itu, sembilan orang laki-laki…." (QS. An-Naml: 48)
Dan ini adalah makna asal dari makna-makna lafazh ini. Sebagaimana engkau katakan:

كان زيد صالحا أو فقيرا أو مريضا أو نحوه
"Dahulu Zaid adalah seorang yang shalih, atau faqir, atau sakit atau yang semisalnya.
Ketiga: Menunjukkan makna al-Haal (sekarang), seperti firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala:

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ … {110{
" Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia..." (QS. Ali 'Imraan: 110).
Dan firman-Nya:

... إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا {103}
" Sesungguhnya shalat adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. …" (QS. An-Nisaa': 103)
Keempat: Menunjukkan masa yang akan datang, seperti firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala:

… وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا {7}
" …Dan mereka takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana." (QS. Al-Insaan: 7)
Kelima: Menunjukkan makna menjadi (berubah menjadi), seperti dalam firman-Nya:

…وَكَانَ مِنَ الكَافِرِينَ {34}
" …Dan ia menjadi golongan orang-orang yang kafir." (QS. Al-Baqarah: 34)
Dan lafazh كان juga datang dalam kalimat nafyi (negatif), dan dalam kondisi seperti ini maksudnya adalah penafian (peniadaan) benarnya berita tersebut, bukan penafian terjadinya berita tersebut. Oleh sebab itu maknanya ditafsirkan menjadi ما صح و ما استقام (tidak benar dan tidak sepatutnya/sepantasnya), seperti firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala:

مَاكَانَ لِنَبِيٍّ أَن يَّكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فيِ اْلأَرْضِ ...{67}
" Tidak sepatutnya, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia memiliki kekuatan (kokoh) di muka Bumi..." (QS. Al-Anfaal: 67)
Dan firman-Nya:

مَاكَانَ لِلْمُشْرِكِينَ أَن يَعْمُرُوا مَسَاجِدَ اللهِ…{17}
" Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, ..." (QS. At-Taubah: 17)
Dan firman-Nya:

... مَّايَكُونُ لَنَآ أَن نَّتَكَلَّمَ بِهَذَا ... {16}
" …Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperkatakan ini…" (QS. An-Nuur: 16)
========================================================================

 




Lafazh فعل
Lafazh فَعَلَ datang sebagai kinayah (kiasan) untuk mengungkapkan perbuatan yang bermacam-macam, bukan menunjukkan satu perbuatan. Maka dengan ini memberikan faidah "ikhtishar" (meringkas). Seperti dalam firman-Nya:

... لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ {79}
" ..Sungguh amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu." (QS. Al-Maa'idah: 79)
Maka ia mencakup seluruh perbuatan munkar yang mereka tidak saling melarang (memperingatkan) di antara sesama mereka. Dan firman-Nya:

فَإِن لَمْ تَفْعَلُوا وَلَن تَفْعَلُوا … {24}
" Maka jika kalian tidak dapat melakukannya (membuatnya) dan pasti kamu tidak akan dapat melakukannya (membuatnya), ..." (QS. Al-Baqarah: 24)
Maksudnya, jika kalian tidak bisa mendatangkan (membuat) satu surat seperti itu (seperti surat al-Qur'an), dan kalian sekali-kali tidak akan bisa mendatangkan yang semisalnya.
Dan ketika lafazh tersebut di-ithlaq-kan (tidak diberi batasan) di dalam firman Allah, maka ia dibawa kepada makna ancaman keras. Sebagaimana dalam firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala:

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ {1}
" Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Rabbmu telah bertindak terhadap tentara gajah." (QS. Al-Fiil: 1)
And firman-Nya:

... وَتَبَيَّنَ لَكُمْ كَيْفَ فَعَلْنَا بِهِمْ ...{45}
" ...Dan telah nyata bagimu bagaimana Kami telah berbuat terhadap mereka ..." (QS. Ibrahiim: 45)
========================================================================


Perbedaan Antara Al-Iitaa dan Al-I'Thaa
Terdapat perbedaan antara al-Iitaa (الإيتاء) dengan al-I'thaa (الإعطاء) di dalam al-Qur'an, sekalipun keduanya sinonim, yang maknanya adalah memberi. Menurut al-Juwaini rahimahullah, lafazh al-Iitaa (الإيتاء) lebih kuat dari kata al-I'thaa (الإعطاء) dalam menetapkan maf'ul bihi (objeknya). Karena al-I'thaa (الإعطاء) memiliki muthawwi (kata kerja yang menjadi akibat/dampak darinya), dikatakan misalnya أعطاني فعطوت (Dia memberikan kepadaku, maka aku pun menerimanya). Dan tidak dikatakan pada kata al-Iitaa (الإيتاء):أتاني فأتيت (Dia memberikan kepadaku, maka aku memberi kepadanya), akan tetapi dikatakan أتاني فأخذت (Dia memberikan kepadaku, maka aku pun menerimanya).
Maka kata kerja yang memiliki muthawi' lebih lemah di dalam menetapkan objek dibandingkan kata kerja yang tidak memiliki muthawwa'. Karena engkau mengatakan قطعته فانقطع (aku memotongnya, maka ia terpotong), maka kata kerja ini menunjukkan bahwa pekerjaan pelaku tergantung pada penerimaan tempat untuk objek, seandainya tidak ada dia, niscaya tidak akan ada objek.
Oleh sebab itu boleh dikatakan:قطعته فما انقطع (aku memotongnya, namun ia tidak terpotong), dan tidak dibenarkan dalam kata kerja yang tidak memiliki muthawwa'. Maka tidak boleh dikatakan ضربته فانضرب أو ما انضرب dan tidak boleh dikatakan:قتلته فانقتل أو ما انقتل. Karena perbuatan-perbuatan ini, jika muncul dari pelaku, maka akan terjadi pada objek sasarannya.
Dan pelaku berdiri sendiri dengan kata kerja-kata kerja yang tidak memiliki muthawwa' laha. Maka kata al-Iitaa (الإيتاء) lebih kuat dari al-I'thaa (الإعطاء).