Ar-Rabi’ bin Sulaiman mengatakan, “Aku
mendengar Asy-Syafi’i mengatakan, ‘Penuntut ilmu butuh tiga perkara:
Usia yang panjang, harta dan kecerdasan.’” Hal itu juga ia katakan dalam
sebuah syair:
saudaraku…
kau tak akan mendapat ilmu
kecuali dengan enam perkara
Aku akan memberitahukan engkau
dengan penjelasan yang terperinci
Kecerdasan, kemauan, kesungguhan, biaya
juga petunjuk guru dan masa yang lama
kau tak akan mendapat ilmu
kecuali dengan enam perkara
Aku akan memberitahukan engkau
dengan penjelasan yang terperinci
Kecerdasan, kemauan, kesungguhan, biaya
juga petunjuk guru dan masa yang lama
Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi mengatakan,
“Bagi orang yang ingin mendapatkan manfaat dengan ilmu untuk dirinya
saja tanpa memperhatikan apakah ilmu itu bermanfaat untuk orang lain
atau tidak, hendaklah ia mengutamakan ilmu yang lebih berpengaruh
terhadap hatinya dan lebih dapat melembutkannya. Dan hendaklah ia
mengikatnya dengan menulis, mengulang ulangi dan semacamnya, yang dapat
membuatnya bertambah kukuh. Karena, hal itu lebih bermanfaat bagi
dirinya dibandingkan banyak ilmu yang tidak membuatnya mendapatkan
pengaruh, kelembutan, dan kekhusyu’an. Demikian pula dalam semua
perbuatan, keadaan, dan sebagainya, hendaklah seseorang mencari yang
paling layak untuknya meskipun tidak layak dan tidak sesuai bagi orang
lain. Ini bagi orang yang menginginkan mendapatkan manfaat untuk dirinya
saja.
Adapun orang yang menginginkan dapat
memberikan manfaat kepada orang lain dengan ilmunya, hendaklah ia
menjadi seperti seorang dokter yang memperhatikan penyakit, sebab
sebabnya, materinya, dan memberikan kepada orang yang sakit itu obat
yang sesuai dengan penyakitnya. Mungkin saja ada orang yang datang
kepadanya yang memiliki penyakit yang sama, lalu ia memberikannya obat
yang lain, tidak seperti obat yang diberikannya kepada orang yang
sebelumnya (meskipun penyakitnya sama), karena ia tahu bahwa sebab yang
menyebabkan penyakitnya berbeda dengan sebab yang menyebabkan penyakit
orang lain.
Demikian pula dengan ilmu ilmu, ia
berikan kepada setiap orang yang patut menerimanya dan tidak mengukur
orang dengan ukuran yang sesuai bagi dirinya. Ini juga berlaku pada
orang yang ingin membuat karangan dan semacamnya.” Demikian dikutip oleh
Al-Imam Muhammad bin Zain bin Semith dalam kitab Qurrah al-‘Ain wa Jila’ ar-Rayn.
Al-Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad
mengatakan, “Hendaklah seseorang menguasai suatu disiplin ilmu sampai ia
dinisbahkan dengan ilmu itu dan dikenal dengannya.”
Sayyidina Ali mengatakan, “Barang siapa
banyak dalam sesuatu, ia akan dikenal dengannya.” Dan hendaklah ia
mengambil sekadarnya dalam setiap ilmu yang lainnya dan menguasainya
secara global, sehingga, apabila ditanya tentang sesuatu, ia memiliki
pengetahuan tentang itu dan tidak jahil (bodoh).
Karena itu, Imam As-Suyuti mengarang kitab An-Nuqayah (kitab
yang mengulas intisari empat belas ilmu) dan mensyarahkannya. Dan
apabila menghafal (menguasai sesuatu ilmu), ia menguasai semua ilmu yang
berhubungan dengannya.
“Jika engkau memiliki ilmu tersebut
sekadarnya, dalam ilmu ilmu yang berkaitan dengannya juga cukup
menguasai sekadarnya, dan lebih baik bagimu menguasai sepuluh masalah
dengan sebaik baiknya daripada membaca sebuah kitab dengan sempurna
tetapi tidak menguasainya.” Demikian yang dikatakan Imam Abdullah
Al-Haddad.
Ia juga mengatakan, “Ilmu ushul itu ada dua. Pertama,
ilmu ushuluddin, seperti masalah masalah aqidah. Seseorang harus
mengabil ilmu ini sesuai dengan kebutuhannya, seperti aqidah yang
dijelaskan oleh Imam al-Ghazali. Kedua, ilmu ushul fiqih. Ilmu
ini sulit dan tidak mudah dipahami, ia tidak wajib bagi setiap orang.
Maka semestinya seseorang mengambil dari kedua ilmu ushul tadi sesuai
dengan kebutuhannya yang mendesak. Kemudian ia mengambil kitab kitab
yang dapat melembutkan hatinya, menggemarkannya kepada akhirat, dan
membuatnya zuhud di dunia.
Kemudian ia beibadah dan bersungguh
sungguh dalam melakukannya, dan banyak membaca al-Quran dengan
kesungguhan. Apabila tidak memungkinkannya melakukan itu di sebagian
waktu, hendaklah banyak berzikir dan melazimkannya dalam setiap
keadaannya, karena umur itu singkat dan orang yang menganggur menyia
nyiakan sebagian besarnya. Dan hendaklah puncak perhatian dan
muthala’ahnya adalah pada masalah masalah yang penting dari hal hal
tersebut tadi. Jadi, ia melakukan muthala’ah hal hal yang penting dan
menghafal hal hal yang penting. Jika ia ingin melakukan muthala’ah
mengenai yang lain, ia dapat melakukan nya kadang kadang saja.” Demikian
dikutip dari kitab Tatsbit al-Fuad.
Al-Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi
mengatakan, “Hendaknya seorang penuntut jalan akhirat senantiasa
mencari cari manfaat dimanapun berada, baik kepada orang yang ahli
maupun bukan ahli, mau mengambil dari setiap orang bagaimana pun ia,
baik ia orang alim maupun orang awam. Karena, terkadang akhlaq yang
bagus ia dapati pada sebagian orang awam dan tidak ia dapati pada yang
lainnya dan juga tidak pada dirinya. Diantara keadaan seorang yang benar
adalah mengambil dari teman bergaulnya segala yang baik yang ia lihat
terdapat padanya baik, ucapan maupun perbuatan, dan meninggalkan apa
yang buruk darinya. Apabila ia mengambil manfaat yang ia dapatkan
padanya, janganlah ia mengambil kerusakan dan penyimpangan yang ada pada
orang itu.” Demikian dari kitab Qurrah al-‘Ain.
Ia juga mengatakan, “Pemahaman itu bagi
yang memilikinya merupakan nikmat yang sangat besar, tetapi mereka
terkadang tidak merasakannya sebagai nikmat, karena mereka memandang hal
itu bisa diperoleh dari membaca kitab, misalnya. Dan orang yang
melakukan muthala’ah kitab kitab hendaknya memohon pertolongan kepada
Allah agar memudahkan pemahaman baginya dan dapat membayangkannya
sehingga ia dapat memperoleh apa yang dituntut dan Allah membukakan
baginya pemahaman dalam agama.” Demikian keterangan dari kitab Qurrah al-‘Ain.
Al-Imam Ahmad bin Hasan Al-Attas
mengatakan, “Ada dua perkara yang baik untuk diperhatikan oleh seorang
penuntut ilmu: Pertama, ia tidak masuk pada sesuatu dari ilmu ilmu dan
amal amalnya melainkan dengan niat yang baik. Kedua, ia memperhatikan
buah dari hasilnya. Apabila tidak memperhatikan ini, ia tidak
mendapatkan manfaat.”
Ia juga mengatakan, “Apabila seorang
penuntut ilmu membaca suatu kaidah dan ia ingin menghafalnya tetapi
tidak ada padanya tinta dan tidak ada pula pena, hendaklah ia menulisnya
dengan jarinya pada tangannya atau pada lengannya.”
Diriwayatkan, suatu ketika Imam Syafi’i
sempai di Madinah dan duduk di halaqah Imam Malik. Ketika itu Imam Malik
sedang mendiktekan kitab Al-Muwathta’ kepada orang orang yang
ada disana. Imam Malik mendiktekan 18 hadits sedangkan Imam Syafi’i
berada dibarisan belakang. Imam Malik menatapnya dengan pandangannya
ketika Imam Syafi’i menulis dengan jarinya pada punggung tangannya.
Ketika jama’ah majelis telah bubar, Imam Malik memanggilnya dengan bertanya kepadanya tentang negerinya dan nasabnya.
Maka Imam Syafi’i pun memberitahukannya.
Lalu Imam Malik berkata kepadanya, “Aku melihatmu memain mainkan tanganmu di punggung telapak tanganmu.”
Imam Syafi’i menjawab, “Tidak, melainkan
apabila Tuan mendiktekan sebuah hadits, saya menulisnya diatas punggung
tangan saya. Jika tuan mau, saya akan ulangi apa yang tuan diktekan
kepada kami.”
Imam Malik berkata, “Bacakanlah.”
Maka Imam Syafi’i pun mendiktekan 18 hadits yang semula didiktekan oleh imam Malik.
Melihat itu, Imam Malik pun mendekatkannya kepada dirinya.
***
Wallahu a’lam