CAHAYA DIBALIK TABAH



Sungguh menyenangkan di hari ini, namun suasanan serasa dingin bagaikan di dalam kulkas, “mengapa dingin yah, padahal cuaca terang benderang, tiada tampak tanda-tanda hujan…!” seraya berjalan menelusuri taman dan sungai.

Anja berjalan sendirian menuju rumah dengan tubuh yang lelah dan mengantuk, “Assalaamu’alaikum bu…!” setibanya di rumah ia langsung bergegas menghampiri kamar, tampak lambaian dari bantal dan guling serta selimut hangat yang dapat menghangatkan tubuhnya yang kedinginan. Anja langsung merebahkan tubuhnya ke kasur, ia lupa akan perutnya yang sedari tadi di kampus mengebelnya berkali-kali, sampai-sampai tadinya ia mau terjatuh karena hilangnya kekosentrasian fikirannya saat di dalam local kampus.

Waktu terus bergulir… berjalan menelusuri waktu sore, tapi keadaan suasana tetap pada posisi dinginnya, “emmmtt…” Anja mengecap sejenak, menikmati tidurnya yang pulas dan nyaman.
Saat pukul 16.13 wib ibu pun membangunkan anja dengan terburu-buru dikarenakan waktu ashar sudah tertinggal beberapa menit oleh anja, Yang menjadikannya ia tidak sempat melaksanakan sholat ashar berjama’ah dengan sang ibu.

Mendengar gedoran dari arah pintu, anja langsung mengucapkan syukur atas segala nikmat tidur yang telah Allah berikan kepadanya, “Astaghfirullaah…!!! Sholat ashar berjama’ah ane terlambat, pasti ibu sudah sholat, ini adalah kerugian buat diri ini, sungguh Allah Maha Mengetahui atas segala tindakan hamba-hambaNYA, ma’afkan hamba ya Allah…” penuh penyesalan yang tak terhingga dari lubuk hati terdalam anja.
Anja bergegas ke kamar mandi bersih-bersih, berwudlu’ dan menyegerakan sholat ashar, sehingga tiada sampai terlewatkan dengan sis-sia. “Assalaamu’alaikum warohmatullaah…” sholat ashar berakhir dengan salam,.
“yaa Allah hamba bersyukur kepadaMU karena telah usai melaksanakan kewajiban hamba sebagai makhluk ciptaanMU, terimalah segala ‘amalan hamba dan keda orangtua hamba, ampuni segala dosa-dosa hamba dan juga dosa-dosa kedua orangtua hamba kasihilah mereka sebagaimana mereka dulu telah mengasihi hamba sewaktu hamba masih kecil, perkenankanlah yaa Allah…” seraya mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajah sampai ke ujung kaki.
Usai sholat ashar anja berlari menuju dapur, ia mendapati sang ibu sedang memasak untuk hidangan makan malam, saat itu makanan terlihat sangat banyak, “bu, masakan ini begitu banyak, apakah kita akan mengadakan acara?” tanya anja dengan pangangan menyeluruh, “nak, ini bukan untuk acara namun ini semua adalah rozaq minallaah (rizqi dari Allah SWT) jadi jangan sekali-kali kita mengkufuri seagala ni’mat dariNYA” sang ibu tersenyum simpul seraya memberikan anja ayam gulai yang telah dialas dengan piring kaca untuk menghindari panas. “ini diletakkan di senyuman.”
“ALLAAHU AKBAR ALLAAHU AKBAR…!!!”
Waktu menunjukkan pukul 18.15 wib, keduanya segera mengambil air wudlu’ secara bergantian dan melaksanakan sholat maghrib berjama’ah. Momen yang sangat menyedihkan kala itu, memang manusia hanya dapat menjalani kehidupan sesuai ketentuan dari sang Kholiq, bebrapa tahun yang silam, keluarga yang sangat harmonis, sakinah mawaddah wa rohmah “baitii jannatii”, simbol nama yang menjadi bagian kehidupan anja dan keluarga.
Sang ayah meninggal disaat anjamasih menginjak usia 6 tahun, pesawat menuju desa cilacap yang ditumpangi sang ayah jatuh dan hancur, tiada seorang pun yang selamat, ayah anja salah satu korban dari pesawat tersebut. Tangisan yang bercucuran tak lagi dapat terbendung dari pelupuk mata ibu dan anja, kabar itu tersiar di radio pagi menjelang siang, serasa lemah tubuh sang ibu mendengar kejadian kala itu, anja memeluk erat tubuh ibunya menangis pilu. “Astaghfirullaah… innalillaahi wa inna ilaihi roji’uun, yang sabar ya nak, ayahmu adalah orang yang baik, insya Allah ada tempat yang terbaik disisi Allah Ta’alaa,” “Aamiin”, anja semakin memeluk erat tubuh sang ibu tanpa kuasa untuk melepasnya. “sudahlah nak, usaplah air matamu, berikanlah kerelaan dan keikhlasan kita untuk ayahmu, tentu beliau sekarang dapat tersenyum bahagia bila melihat ketegaran hati dan jiwa kita, insya Allah ada jalan wahai anakku” ibu mengusap air yang terus mengalir di sudut mata anja, beliau mengelus-elus sang anak dengan penuh kasih sayang serta cinta kasih yang senantiasa menghiasi hari-hari anja, tak ada lagi sedih… tak ada lagi gundah gulana… tak ada lagi kepedihan yabg menyayat hati keduanya, karena senyuman ketabahan tertanam dalam di lubuk hati anja dan ibu sampai anja menaiki ke jenjang perguruan tinggi, selalu ada hikmah dibalik segala cobaan, “innallaaha ma’anaa” Allah senantiasa ada bersamaa kita, itulah ucapan sang ibu kepada anja ketika dirinya mulai terasa sedih ketika teringat sosok sang ayah yang sangat dicintainya.

“HIDUP AKAN LEBIH BERMAKNA APABILA DIHADAPI DENGAN SENYUMAN KETABAHAN DIKALA DIRI MULAI TERPEROSOT DALAM RINTANGAN DUNIA, HANYA LEWAT PERANTARAAN SENYUMAN KETABAHANLAH SEMUA MAKHLUQ YANG DIUJI COBA OLEH SANG PENCIPTA AKAN MENGHIASI DIRINYA DENGAN IMAN DAN TAQWA”. 

Anja dan ibu menjalani hidup tentram dan damai hanya bermodalkan “SENYUMAN”.
Anja tetap melanjutkan perkulihannya hingga ia mendapatkan gelar S1 sarjana muda yang sukses, meskipun ia hanya hidup berdua dengan sang ibu, uang bukanlah segala-galanya untuk mendapatkan kebahagiaan dan kesuksesan namun dengan mengarahkan hidup menuju tujuan yang pasti, ikhtiar, berdo’a serta tawakkal dan yakin akan kekusaan Allah SWT semua impian akan terwujud penuh bahagia, itulah ni’mat terindah kelak pada masanya. Kini Anja telah menunaikan kewajibannya terhadap ibunda tercinta dengan mempersembahkan prediket sajana muda untuk sang ibu tersayang yang sepenuh hati memperjuangkan jiwa demi keberhasilan putrinya, sehingga ia layak disebut pahlawan tanpa tanda jasa yang kasihnya tiada tara, “syukron jaziil wahai ibu atas segala perjuanganmu untuk menguliahakan anja sampai anja mendapatkan S1 yang menjadi harapan ibu”, “tidak anakku, itu semua adalah anugerah dari Allah Ta’alaa dan berterima kasilah kepadaNYA”. Keduanya saling melempar senyuman bahagia, seraya berpelukan.