Sekretaris KPAN, Kemal Siregar, menilai PKN memiliki efektivitas yang
baik, terutama untuk meningkatkan kesadaran terhadap pentingnya
penggunaan kondom bagi kesehatan masyarakat. Karena itu, untuk
meningkatkan efektivitasnya, cakupan sasaran perlu diperluas.
Sesat Pikir Kondomisasi
Program kondomisasi mulai digencarkan pemerintah sejak era Menkes
Nafsiyah Mboi. Meski ia sendiri membantah adanya program kondomisasi,
tetapi faktanya Kemenkes menjalankan program pembagian kondom kepada
kalangan pelaku seks beresiko tinggi, yakni para pria pelanggan
prostitusi.
Menkes beralasan, jika tidak ada program terobosan dalam penanggulangan
AIDS maka pada tahun 2025 akan ada 1.817.700 orang terinfeksi AIDS.
Menurutnya, satu-satunya cara untuk mencegah penularan itu adalah
“dengan menggunakan kondom dari laki-laki yang berisiko kepada perempuan
pekerja seks maupun istrinya.”(bbc.co.uk/indonesia, 25/6/ 2012).
Pemerintah juga memperluas program penyebaran kondom ini kepada remaja.
Menurutnya mempermudah akses remaja untuk mendapatkan kondom diharapkan
dapat menekan angka aborsi dan kehamilan yang tak diinginkan (detik.com, 15/6/2012).
Sepintas saja orang dapat melihat program ini mengandung sesat pikir. Diantaranya, pertama,
program ini tidak menyelesaikan akar masalahnya. Akar masalahnya bukan
karena tidak menggunakan kondom, melainkan perilaku seks bebas.
Kampanye penggunaan kondom untuk pelaku seks beresiko, seolah justru
berkata “silahkan melakukan seks beresiko asal pakai kondom”. Seks
beresiko adalah seks dengan yang bukan isteri/suami. Maka kampanye
kondom sama artinya, “silahkan melakukan seks bebas termasuk zina asal
pakai kondom.” Maka progam kondomisasi sama artinya kampanye dan
mensponsori seks bebas.
Kedua, Kondom tidak mampu
menangkal penularan virus HIV/AIDS. Pada Konferensi AIDS se-Dunia di
Chiangmai, Thailand tahun 1995, diumumkan hasil penelitian ilmiah, bahwa
kondom tidak dapat mencegah penularan HIV/AIDS . Sebab ukuran pori-pori
kondom jauh lebih besar dari ukuran virus HIV. Ukuran pori-pori kondom
sebesar 1/60 mikron dalam kondisi normal dan membesar menjadi 1/6 mikron
saat dipakai. Sedangkan ukuran virus HIV hanya 1/250 mikron. Jelas
virus HIV sangat mudah bebas keluar masuk melalui pori-pori kondom.
Maka, jika dikatakan kondomisasi dapat menangkal penularan virus
HIV/AIDS, itu jelas menyesatkan dan membodohi masyarakat.
Kondom juga tidak ampuh menangkal penyakit lainnya. Dr. Ricki Pollycove,
pakar kesehatan dari California Pacific Medical Center San Francisco,
mengatakan bahwa didapatkan sejumlah temuan, kondom tidak bisa mencegah
penyakit herpes. Sejumlah orang tetap terinfeksi herpes meski mereka
sudah menggunakan kondom dengan benar (sfgate.com, 21/1/2013).
Apalagi, peluang terjadinya cacat pada kondom yang beredar tetap ada. Di
AS saja, 2 dari 100 kondom ditemukan rusak. Juga tak sedikit kondom
yang rusak akibat penyimpanan yang salah. Hal itu makin diperparah oleh
pemakaian yang salah, dan tak sedikit pelaku seks bebas yang menolak
pemakaian kondom.
Ketiga, program kondomisasi justru menyuburkan perilaku seks bebas. Para pelaku justru mendapat pembenaran untuk melakukan perzinaan. Toh, yang penting dilakukan dengan aman (pakai kondom), pikir mereka.
Program Contekan, Untungkan Kapitalis
Patut dicurigai program ini mengandung motif bisnis, langsung atau
tidak. Para pebisnis kondomlah yang akan mengeruk keuntungan dari
program seperti ini. Program ini juga akan melanggengkan dan menyuburkan
prostisusi dan perzinaan. Itu artinya bisnis kemaksiyatan ini akan
makin besar dan menguntungkan pelaku dan kapitalis bisnis ini. Jadi
kondomisasi mengandung muatan kapitalisasi untuk keuntungan segelintir
orang dengan mengorbankan keselamatan dan moral publik.
Program kondomisasi hakikatnya membebek pada pola Barat, seperti AS. Penangannya dengan formula ABC. Yaitu A (Abstinensia), tidak berhubungan seks sebelum menikah. B (Be faithful), hanya berhubungan seks dengan pasangannya saja. C (Condom), jika memang cara A dan B tidak bisa dipatuhi maka harus digunakan kondom.
Barat menganggap seks bebas dan pelacuran adalah hak asasi. Bahkan seks
menyimpang seperti homoseksual, lesbian, seks dengan cara kekerasan (sadomachocism),
dan lainnya dianggap hak asasi. Karena itulah pemerintah manapun yang
menerapkan demokrasi dan sekulerisme, seperti halnya Barat, tidak akan
pernah melarang apalagi menghilangkan aneka perilaku seks bebas. Paling
banter hanya seruan agar warganya berhati-hati dan melakukan seks secara
aman, termasuk anjuran menggunakan kondom.
Kondomisasi dan propaganda seks aman (seks bebas) disadari atau tidak
mengandung muatan jahat. Barat sengaja memasukkan dan memaksakannya ke
negeri Muslim untuk menghancurkan umat Islam. Gleed Stones mantan PM
Inggris pernah berucap, “Percuma
kita memerangi umat Islam. Kita tidak akan mampu menguasainya selama di
dada pemuda-pemuda Islam ini bertengger Al-Quran. Tugas kita sekarang
adalah mencabut Al-Quran dari hati mereka, baru kita akan menang dan
menguasai mereka. Minuman keras dan musik lebih
menghancurkan ummat Muhammad daripada seribu meriam. Maka tanamkanlah
dalam hati mereka rasa cinta terhadap materi dan seks.”
Perlu Sistem Yang Benar
Islam hanya membenarkan hubungan seks dengan suami/isteri yang sah.
Inilah perilaku seks yang aman. Perilaku seks yang aman adalah menjauhi
seks bebas. Safe sex is no free sex.
Mungkinkah akan berjangkit penyakit kelamin, kehamilan di luar nikah dan
aborsi akibat hamil di luar nikah, bila zina tidak dibiarkan? Pastinya
tidak.
Seandainya masyarakat hidup dalam tatanan sosial yang benar; pria dan
wanita tidak bercampur dan tidak bergaul bebas, saling menghormati,
free-sex dianggap sebagai penyakit sosial, niscaya masyarakat akan hidup
tenang. Berbagai penyakit menular seksual juga tidak akan mewabah.
Namun bila tatanan sosial sudah rusak, dimana pria dan wanita dibiarkan
bergaul bebas tanpa batas, perzinahan dianggap perkara lumrah, maka
berbagai bencana penyakit akan melanda. Nabi saw. bersabda:
«…لَمْ تَظْهَرِ الْفَاحِشَةُ
فِى قَوْمٍ قَطُّ حَتَّى يُعْلِنُوا بِهَا إِلاَّ فَشَا فِيهِمُ
الطَّاعُونُ وَالأَوْجَاعُ الَّتِى لَمْ تَكُنْ مَضَتْ فِى أَسْلاَفِهِمُ…»
“…Tidaklah tampak perzinaan pada suatu kaum sehingga mereka berani terang-terangan melakukannya, melainkan akan menyebar di tengah mereka penyakit tha’un dan penyakit-penyakit yang belum pernah menimpa umat-umat yang telah lalu…” (HR. Ibnu Majah, al-Hakim, al-Baihaqi)
Karena itu, seharusnya yang dilakukan adalah tindakan pencegahan
(preventif) atas perilaku seks bebas dan tindakan kuratif untuk
memberantas yang sudah ada. Karena seks bebas itulah akar masalah dari
penyebaran berbagai penyakit kelamin. Semua itu hanya bisa dilakukan
secara sistematis melalui penerapan sistem Islam dengan syariahnya.
Islam mewajibkan negara menanamkan keimanan dan membina ketakwaan dan
rasa takut terhadap azab Allah dalam diri masyarakat. Kepada masyarakat
harus ditanamkan kejinya perbuatan zina dan besarnya azab Allah kepada
para pelakunya (QS al-Isra’ [17]: 32). Juga harus dipahamkan, zina dan
seks bebas merusak tatanan masyarakat dan menghancurkan nilai-nilai
keluarga.
Preventif dilakukan secara sistematis dan multi dimensi. Faktor ekonomi
diselesaikan melalui Sitem Ekonomi Islam yang mendistribusikan kekayaan
secara adil dan merata. Sistem pendidikan berbasis akidah Islamiyah
membentuk pribadi Islami. Sistem pergaulan Islam menjauhkan
faktor-faktor pemicu ke arah pergaulan bebas. Rasa keadilan terutama
bagi korban kejahatan seksual dijamin melalui Sistem Uqubat Islam. Pintu
pernikahan pun dipermudah termasuk bagi kaum muda. Pendek kata,
penerapan sistem Islam akan sanggup meminimalkan seminimal mungkin
faktor penyebab seks bebas.
Jika dengan semua itu masih juga ada yang melanggar, maka tindakan
kuratif harus diterapkan. Betul pengidap HIV/AIDS tidak bisa disamakan
semuanya. Mereka jadi korban, tertular oleh suami/isteri, anak tertular
ibunya, orang tertular dari transfusi atau sebab selain seks bebas,
mereka akan diobati dan dijamin pengobatannya oleh negara secara gratis.
Sementara selain mereka maka selain diobati, juga harus dijatuhi sanksi
seusai kemaksiyatan, sanksi yang dilakukan yang membuat jera pelaku dan
menimbulkan efek gentar bagi publik sehingga tidak berani melakukannya.
Pelaku zina, jika belum menikah (ghayr muhshan) harus dijilid seratus kali jilid. Sementara yang sudah pernah menikah (muhshan)
harus dirajam hingga mati. Pelaku homoseksual dijatuhi hukuman mati,
subyek dan obyeknya, jika melakukannya sama sama rela. Sementara
pengguna narkoba dijatuhi sanksi ta’zir yang jenis dan kadar sanksinya
diserahkan kepada ijtihad khalifah atau qadhi sesuai koridor syariah.
Maka hanya sistem Islam sajalah yang bisa menyelamatkan masyarakat dari
seks bebas dan berbagai akibatnya diantaranya penyakit menular termasuk
HIV/AIDS.
Wahai Kaum Muslimin!
Kondomisasi merupakan program buruk, untungkan kapitalis dan musuh
Islam, dan justru mensponsori seks bebas. Akar masalahnya adalah
sekulerisme dan sistem kapitalisme yang diterapkan. Karena itu sistem
ini harus dicampakkan dan diganti dengan sistem Islam yang datang dari
Allah Pencipta Manusia, Zat yang Maha Tahu apa yang baik dan membuat
baik manusia. Itulah sistem al-Khilafah ar-Rasyidah yang mengikuti
manhaj kenabian. Maka mari segera kita wujudkan di tengah kehidupan
kita. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.[]
Komentar Al Islam:
LIPI memperkirakan Pemilu 2014 tidak akan menghasilkan pemimpin dengan
kapabilitas tinggi. Skema pemilu yang digunakan masih sama dengan
periode sebelumnya menjadi penyebabnya. (Republika, 26/11)
- Akar masalahnya adalah sistem demokrasi itu sendiri, sistem politik yang sarat modal; dan doktrin politik yang fokus pada kekuasaan dan jauh dari pelayanan rakyat.
- Jika sistem itu terus dipertahankan, hasilnya lebih banyak politisi, pemimpin, pejabat dan penguasa yang abai terhadap kepentingan rakyat, lebih mementingkan diri dan partai, dan mengutamakan para kapitalis.
- Politisi, pejabat, pemimpin dan penguasa yang baik dan berkapabilitas tinggi akan bertebaran jika Syariah Islam diterapkan di bawah naungan Khilafah Rasyidah.