Namanya adalah Hindun binti Suhail,
dikenal dengan nama Ummu Salamah. Ia dibesarkan di lingkungan bangsawan
dari Suku Quraisy. Ayahnya bernama Suhail bin Mughirah bin Makhzurn. Di
kalangan kaumnya, Suhail dikenal sebagai seorang dermawan sehingga
dijuluki Dzadur-Rakib (penjamu para musafir) karena dia selalu menjamu
setiap orang yang menyertainya dalam perjalanan. Dia adalah pemimpin
kaumnya yang terkaya dan terbesar wibawanya.
Sementara Hindun sendiri dikenal kaumnya
selain karena kecantikannya yang mampu meluluhkan setiap orang yang
melihatnya juga karena keelokan pribadinya yang memang telah tertanam
sejak kecil.
Banyak pemuda Mekah yang ingin
mempersunting Hindun. Namun yang akhirnya berhasil menikahinya adalah
Abdullah bin Abdul Asad bin Hilal, seorang penunggang kuda terkenal dari
pahlawan-pahlawan suku Bani Quraisy yang gagah berani. Ibunya bernama
Barrah binti Abdul-Muththalib bin Hasyim, bibi Nabi saw. Abdullah adalah
saudara sesusuan Nabi dari Tsuwaibah, budak Abu Lahab.
Hindun dan Abdullah hidup bahagia. Rumah
tangga mereka diliputi kerukunan dan kesejahteraan. Tak lama setelah
itu, dakwah Islam menarik hati mereka sehingga mereka memeluk Islam.
Dengan demikian mereka menjadi orang-orang pertama yang masuk Islam.
Maka mulailah mereka berjuang dalam mempertahankan keimanan dan hidup
mereka.
Sebagaimana kita pahami, orang-orang
Quraisy selalu mengganggu dan menyiksa kaum muslimin generasi awal agar
mereka mau meninggalkan agama Islam dan kembali ke agama nenek moyang
mereka. Melihat kondisi ini, Rasulullah saw mengizinkan kaum Muslimin
untuk hijrah ke Habasyah. Raja Habasyah saat itu adalah seorang pemeluk
taat Nasrani yang mengakui Muhammad saw sebagai rasul. Raja tersebut
adalah Najasyi.
Di kemudian hari, kelompok orang yang
berhijrah ke negri ini disebut sebagai kaum Muhajirin yang pertama.
Hindun dan Abdullah adalah satu diantaranya. Di Habasyah inilah Hindun
melahirkan anak-anaknya, yaitu Zainab, Salamah, Umar, dan Durrah. Sejak
itu Hindun dikenal dengan nama Ummu Salamah atau ibunya Salamah. Dan
Abdullah disebut dengan Abu Salamah, ayahnya Salamah.
Beberapa lama kemudian mendengar
keislaman tokoh-tokoh besar Mekah seperti Umar bin Khattab ra dan Hamzah
bin Abdul Mutthalb, para Muhajirin pertama inipun tertarik untuk pulang
kampung. Namun ternyata harapan mereka meleset. Kaum Muslimin masih
tetap ditekan dan disiksa orang-orang Quraisy. Beruntung sebagian besar
penduduk Yatsrib ketika itu telah berbait hingga akhirnya Rasulullahpun
berani mengizinkan mereka untuk hijrah ke Yatsrib, nama lama Madinah.
Namun tampaknya bukan hal yang mudah
untuk berhijrah. Orang-orang Quraisy dengan kejam terus berusaha
menghalangi mimpi umat islam untuk hidup tentram sambil menjalani agama
baru mereka. Ditengah perjalanan kaum Bani Makhzum (kaumnya Ummu
Salamah) mencegat dan menyandera Ummu Salamah. Sementara bani Asad,
baninya Abu Salamah menculik anak-anaknya. Abu Salamah terpaksa
merelakan keluarganya dan meneruskan perjalanan hijrahnya tanpa
orang-orang yang amat dikasihinya itu.
Keadaan demikian berjalan kurang lebih
setahun lamanya. Ummu Salamah terus-menerus menangis karena kecewa atas
perbuatan kaumnya. Akhirnya ada seorang laki-laki dari kaumnya yang
merasa iba dan membiarkan Ummu Salamah menyusul suaminya ke Madinah.
Bani Asad juga akhirnya menyerahkan kembali putranya, Salamah.
Namun kehidupan di Madinah bukanlah tanpa
perjuangan. Perang demi perang terus berlangsung. Abu Salamah ikut
serta dalam Perang Badar dan perang Uhud. Dalam perang Dzil Asyirah yang
terjadi pada tahun kedua hijriyah, Rasulullah menunjuknya untuk
mewakili beliau di Madinah.
Pada perang Uhud, Abu Salamah mengalami
luka parah dan nyaris meninggal. Namun tak lama kemudian ia pulih
kembali. Bahkan pada perang berikutnya ketika bani Asad dikabarkan akan
menyerang umat Islam di Madinah, Rasulullah menunjuk sepupu sekaligus
saudara susunya ini untuk memimpin penyerangan. Pasukan Abu Salamah
mengalami kemenangan yang gemilang. Mereka pulang dengan membawa harta
rampasan perang yang banyak.
Namun luka-luka Abu Salamah kembali
kambuh. Ia jatuh sakit. Rasullah beberapa kali menjenguk dan
mendoakannya. Sementara itu Ummu Salamah selalu mendampingi, merawat dan
menjaganya siang dan malam.
Suatu hari, demam Abu Salamah menghebat. Dengan perasaan duka yang mendalam, Ummu Salamahpun berkata kepada suaminya, “Aku
mendapat benita bahwa seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya,
kemudian suaminya masuk surga, istrinya pun akan masuk surga jika
setelah itu istrinya tidak menikah lagi. Kemudian Allah akan
mengumpulkan mereka nanti di surga. Demikian pula jika si istri yang
meninggal dan suaminya tidak menikah lagi sepeninggalnya. Untuk itu,
mari kita berjanji bahwa engkau tidak akan menikah lagi sepeninggalku.
Dan aku berjanji untukmu untuk tidak menikah lagi sepeninggalmu.”
Abu Salamah berkata pelan, “Maukah engkau menaati perintahku?”. Ummu Salamah menjawab, “Adapun aku bermusyawarah hanya untuk taat.” Abu Salamahpun melanjutkan perkataannya, “Seandainya aku mati, maka menikahlah.” Lalu dia berdoa kepada Allah
”Ya Allah, kurniakanlah kepada Ummu Salamah sesudahku seseorang yang
lebih baik dariku, yang tidak akan menyengsarakan dan menyakitinya.”
Pada detik-detik akhir hidupnya,
Rasulullah saw selalu berada di samping Abu Salamah dan senantiasa
memohon kesembuhannya kepada Allah. Akan tetapi, Allah berkehendak lain.
Beberapa saat kemudian maut datang menjemput. Rasulullah menutupkan
kedua mata Abu Salamah dengan tangannya yang mulia dan bertakbir
sembilan kali. Di antara yang hadir ada yang berkata, “Ya Rasulullah, apakah engkau sedang dalam keadaan lupa?”
Rasulullah menjawab, “Aku sama sekali tidak dalam keadaan lupa, sekalipun bertakbir untuknya seribu kali, dia berhak atas takbir itu.” Kemudian beliau menoleh kepada Ummu Salamah dan bersabda, “Barang
siapa yang ditimpa suatu musibah, maka ucapkanlah sebagaimana yang
telah dperintahkan oleh Allah, ‘Sesungguhnya kita milik Allah, dan
kepada-Nyalah kita akan dikembalikan. Ya Allah, karuniakanlah bagiku
dalam musibahku dan berilah aku ganti yang lebih baik daripadanya, maka
Allah akan melaksanakannya untuknya.”
Setelah itu Rasulullah saw berdo’a: “Ya
Allah, berilah ketabahan atas kesedihannya, hiburlah dia dari musibah
yang menimpanya dan berilah pengganti yang lebih baik untuknya.”
Abu Salamah wafat setelah berjuang
menegakkan Islam, dan dia telah memperoleh kedudukan yang mulia di sisi
Rasulullah. Sepeninggal Abu Salamah, Ummu Salarnah diliputi rasa sedih.
Dia menjadi janda dan ibu bagi anak-anak yatim.
Setelah wafatnya Abu Salarnah, para
pemuka dari kalangan sahabat bersegera meminang Ummu Salamah. Hal ini
mereka lakukan sebagai tanda penghormatan terhadapat suaminya dan untuk
melindungi diri Ummu Salamah. Suatu hal yang lazim dilakukan masa itu.
Maka Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin al-Khaththab meminangnya, tetapi
Ummu Salamah menolaknya. Ia terus hidup dalam kesedihan yang mendalam.
Akhirnya Rasulullah saw mendatanginya dan berkata kepadanya, “Mintalah kepada Allah agar Dia memberimu pahala pada musibahmu serta menggantikan untukmu (suami) yang lebih baik.” Ummu Salamah bertanya, “Siapa yang lebih baik dan Abu Salamah, wahai Rasulullah?”.
Atas pertanyaan tersebut Rasulullahpun
terus berpikir. Tidakkah kedua sahabatnya, yaitu Abu Bakar dan Umar
lebih baik dari Abu Salamah? Namun mengapa Ummu Salamah tetap menolak
lamaran keduanya? Akhirnya Rasulullah menyadari bahwa Allah swt telah
menunjuk dirinya agar menanggung beban derita perempuan yang telah
begitu banyak berkorban dalam Islam ini. Rasulullahpun segera
melamarnya.
Di kemudian hari, setelah menjalani
kehidupan sebagai salah satu Umirul Mukminin, Ummu Salamah ra dikenang
tetap istiqomah. Sebuah riwayat menyebutkan bahwa wahyu yang datang
sebelum pernikahan rasulullah dengan Ummu Salamah ra sering terjadi
dikamar Aisyah ra. Hal ini yang sering dibanggakan istri Rasulullah
termuda tersebut. Namun sejak pernikahan dengan Ummu Salamah, wahyu
lebih sering datang di kamar Ummu Salamah. Untuk diketahui, Rasullah
menempatkan Ummu Salamah di kamar Zainab binti Khuzaimah, istri nabi
yang telah meninggal dan digelari Ummul-Masakiin (ibu bagi orang-orang
miskin) karena tingkat kepeduliannya yang amat tinggi terhadap orang
miskin.
Disamping itu, Ummu Salamah juga dikenal
karena sifatnya yang bijak. Suatu ketika pada tahun ke 6 setelah hijrah,
Rasulullah mengajak para sahabat untuk melaksanakan umrah ke Mekkah.
Ketika itu sebagian besar kaum Quraisy penduduk Mekkah belum mau
menerima ajaran Islam bahkan sangat memusuhi ajaran tersebut. Oleh
sebab itu mereka tidak mengizinkan Rasulullah beserta para pengikutnya
masuk ke kota tersebut walaupun hanya untuk sekedar melaksanakan umrah.
Sebenarnya sebagian besar sahabat ketika
itu tidak mau menerima sikap ini. Mereka merasa bahwa mereka berniat
melakukan sesuatu yang di-ridhoi Allah SWT dan pasti Allah akan membela
mereka. Jadi mereka berkesimpulan mereka harus mengambil jalan
kekerasan. Namun apa yang dilakukan Rasulullah? Beliau justru menyetujui
untuk menanda-tangani sebuah kesepakatan yang intinya mereka tidak
mungkin melaksanakan umrah saat itu dan mereka harus mundur dan kembali.
Kemudian setelah kesepakatan tercapai,
Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk menyembelih hewan kurban
bawaan mereka serta bercukur layaknya orang yang telah menunaikan ibadah
umrah. Ternyata walaupun Rasulullah telah mengulangi perintah tersebut
hingga 3 kali tidak seorangpun sahabat yang mentaatinya. Sesuatu yang
sebelumnya tidak pernah terjadi. Mungkin para sahabat benar-benar kecewa
atas keputusan yang diambil Rasulullah.
Rasulullah akhirnya mengeluhkan hal
tersebut kepada Ummu Salamah yang ketika itu mendapat giliran untuk
menemani Rasulullah menjalankan tugas. Ummu Salamah kemudian menghibur
Rasulullah agar tidak usah terlalu kecewa atas sikap para sahabat.
Menurutnya lebih baik Rasulullah langsung menyembelih kurban dan
bercukur tanpa harus menunggu reaksi para sahabat. Dan memang benar
ternyata para sahabat segera meniru perbuatan Rasulullah.
Pada hari tuanya, melalui surat yang
ditata dengan kata yang indah, Ummu Salamah juga pernah mengingatkan
Aisyah ra agar tidak turut campur dalam peperangan (perang Jamal dll)
yang terjadi akibat fitnah pada masa pembunuhan Ustman bin Affan ra.
“Dari Ummu Salamah, Istri Nabi shallallahu alaihi wassalam., untuk Aisyah Ummul-Mu’ minin.
Sesungguhnya aku memuji Allah yang tidak ada ilah (Tuhan) melainkan Dia. Amma ba’du.
Engkau sungguh telah merobek pembatas
antara Rasulullah shallallahu alaihi wassalam dan umatnya yang
merupakan hijab yang telah ditetapkan keharamannya.
Sungguh Al-Qur’an telah memberimu kemuliaan, maka jangan engkau lepaskan. Dan Allah telah menahan suaramu, maka janganlah engkau niengeluarkannya. Serta Allah telah tegaskan bagi umat ini seandainya Rasulullah shallallahu alaihi wassalam mengetahui bahwa kaum wanita memiliki kewajiban jihad (berperang) niscaya beliau berpesan kepadamu untuk menjaganya.
Sungguh Al-Qur’an telah memberimu kemuliaan, maka jangan engkau lepaskan. Dan Allah telah menahan suaramu, maka janganlah engkau niengeluarkannya. Serta Allah telah tegaskan bagi umat ini seandainya Rasulullah shallallahu alaihi wassalam mengetahui bahwa kaum wanita memiliki kewajiban jihad (berperang) niscaya beliau berpesan kepadamu untuk menjaganya.
Tidakkah engkau tahu bahwasanya
beliau melarangmu melampaui batas dalam agama, karena sesungguhnya tiang
agama tidak bisa kokoh dengan campur tangan wanita apabila tiang itu
telah miring, dan tidak bisa diperbaiki oleh wanita apabila telah
hancur. Jihad wanita adalah tunduk kepada segala ketentuan, mengasuh
anak, dan mencurahkan kasih sayangnya”.
” Hai isteri-isteri
Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu
bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga
berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah
perkataan yang baik dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah
kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang
dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta`atilah Allah dan
Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari
kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”. (QS.Al-Ahzab(33):32-33).
Ummu Salamah wafat dalam usia 84 tahun
pada tahun 59 H. Ia dishalatkan oleh Abu Hurairah r.a. dan dikuburkan di
al-Baqi’ di samping makam Ummirul-Mukminin lainnya.
Wallahu’alam bish shawab.