Bencana Melalaikan Al-Qur`an


السَّلامُ عَلَيْكُم وَرَحْمَة اللهِ وَبَرَكاتُهّّّّّّ

وَقَالَ الرَّسُولُ يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْآنَ مَهْجُورًا
Berkatalah Rasul (Muhammad): “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan al-Qur`an itu sesuatu yang diabaikan.” (Al-Furqan [25]: 30)

Muqaddimah
Ibarat sebuah lakon perjalanan sang musafir, manusia—dalam kehidupannya—membutuhkan peta petunjuk arah. Lalu apa yang terjadi pada diri seorang musafir jika ia kehilangan peta petunjuk arah? Tentu ia berharap agar kejadian semacam itu tak menimpa dirinya. Sebab, apalah arti seorang musafir tanpa adanya pemandu yang bisa menunjukan rute perjalanannya. Ia tidak tahu bekal yang perlu disiapkan, jenis rintangan dan cara mengatasinya, hingga bahaya dan ancaman tersesat.
Meski sebatas analogi sederhana, tapi setiap manusia niscaya memerlukan pemandu dalam membimbing hidupnya. Hakikat dunia yang fana kian menegaskan kebutuhan tersebut. Dunia sebatas persinggahan semata menuju kehidupan yang abadi. Bagi setiap orang beriman, al-Qur`an adalah harga mati yang tak bisa ditawar lagi. Sebab, hanya dengan al-Qur`an serta sunnah Nabi SAW yang menjadikan hamba Allah SWT terbimbing dan senantiasa tercerahkan. Terlebih, secara fitrah dunia adalah kenikmatan sekaligus permainan yang melenakan. Karena itu, tak jarang kita banyak orang yang lupa dan keasyikan “bermain” tanpa mengindahkan aturan.

Makna Ayat
Ayat ini menceritakan curahan hati Nabi Muhammad SAW ketika melihat sikap sebagian umatnya terhadap al-Qur`an. Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan, ayat ini turun berkenaan dengan sikap orang-orang musyrik Makkah yang secara terang-terangan menolak dakwah yang disampaikan Nabi SAW ketika itu. Bahkan sebagian orang-orang kafir membuat kegaduhan lain sebagai tandingan terhadap ayat-ayat suci al-Qur`an. Kejadian itu dijelaskan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya:
“Dan orang-orang kafir berkata: ‘Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh al-Qur`an ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan mereka’.” (Fushshilat [41]: 26)
Hal tersebut menjadi kegelisahan Nabi SAW yang dilaporkan kepada Allah SWT dalam ayat di atas. Bagi orang beriman, kerisauan Nabi SAW terhadap sikap orang-orang tersebut adalah sesuatu yang sangat wajar. Sebab, titik tolak keimanan sekaligus tolok ukurnya berangkat dari cara seseorang dalam berinteraksi dan menyikapi al-Qur`an. Sebagai satu-satunya panduan yang benar, al-Qur`an dan sunnah Nabi SAW menjadi tawaran yang tidak bisa ditolak. Jika ingin menggapai kebahagiaan di dunia terlebih di akhirat, maka syarat mutlaknya adalah dengan al-Qur`an. Sebaliknya, jika ajaran al-Qur`an ini diabaikan, apalagi ditolak, niscaya bayangan kesengsaraan itu tampak jelas di hadapannya.

Muhammad al-Amin asy-Syinqiti menjelaskan, curahan hati Nabi SAW ini hendaknya dipahami sebagai warning kepada umatnya. Ini perkara besar yang tidak boleh disepelekan. Penyampaian kepada Allah SWT ini bukanlah sekadar laporan pengaduan apalagi keluhan dalam menjalani dakwah. Tapi ini bentuk kasih sayang dan perhatian Rasulullah SAW akan nasib umatnya. Sebab, sebagai utusan Allah SWT tahu persis apa akibat dari perbuatan mengabaikan ajaran al-Qur`an. (Tafsir Adhwa al-Bayan fi Idhah al-Qur`an bi al-Qur`an).
Mengabaikan Al-Qur`an

Ibnu Katsir menjelaskan, mengabaikan al-Qur`an bukanlah semata-mata ketika orang itu mengingkari isi al-Qur`an sebagaimana orang-orang kafir Quraisy menolak dakwah yang disampaikan Nabi SAW. Ini menegaskan, boleh jadi seseorang mengaku beriman tapi dia tergolong dalam kelompok orang-orang yang diadukan kelakuannya oleh Nabi SAW tersebut. Dalam kaidah ilmu tafsir, perkara ini biasa dikenal dengan kaidah al-ibratu bi umum al-lafdzi la bi khushush as-sabab (pelajaran itu diambil dari makna ayat secara umum, tidak dikhususkan pada sebab turun ayat).

Dalam syariat Islam, pengingkaran terhadap al-Qur`an termasuk perbuatan dosa besar. Bahkan jika hal itu terjadi pada seorang Muslim, maka orang itu terindikasi sebagai pelaku perbuatan kufur. Simpul iman yang selama ini terjalin kokoh bisa berurai gara-gara sikap mengabaikan al-Qur`an. Tak heran jika Nabi SAW sampai mengadu kepada Allah SWT. Sebab dampak perbuatan itu sangat berbahaya. Tidak hanya merugikan diri sendiri, tapi juga mengancam hubungan penghambaan seseorang dengan Allah SWT, Sang Pencipta.

Lebih jauh Ibnu Katsir menjelaskan, seorang Muslim yang enggan memperbaiki bacaan al-Qur`an (tahsin tilawah), tidak berusaha menghafalnya (tahfidz al-Qur`an), atau tidak mau mempelajari (tadabbur al-Qur`an) termasuk dalam kategori tidak acuh terhadap al-Qur`an. Juga orang yang mengabaikan perintah dan melanggar aturan-Nya sebagai wujud dari sikap meninggalkan al-Qur`an. Mereka condong kepada selain al-Qur`an, seperti lebih menggandrungi nyanyian serta apa saja yang memalingkan dari bacaan al-Qur`an, termasuk dalam perbuatan menjadikan al-Qur`an sebagai mahjuran (sesuatu yang ditinggal).

Sebab Kemunduran Umat
Sebagai pemuncak peradaban terbaik, orang-orang saleh terdahulu benar-benar berhasil menjadi suri teuladan sepanjang masa. Tak heran, para Sahabat didaulat secara mutlak sebagai generasi terbaik sepanjang sejarah kehidupan manusia. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu menyiratkan, tidak ada resep rahasia dalam keseharian para Sahabat. Kecuali “hanya” mengamalkan al-Qur`an setelah mereka pelajari dan hafalkan sebelumnya. Ibnu Mas’ud menceritakan, para Sahabat tidaklah melangkah ke ayat-ayat selanjutnya, kecuali mereka telah menghafal ayat yang dipelajari itu dan langsung mengamalkannya.

Mukjizat al-Qur`an dan janji pertolongan Allah SWT tak pernah berubah hingga hari Kiamat kelak. Tapi kita semua patut miris dengan kondisi umat Islam saat ini. Ibarat buih di tengah lautan, umat Islam begitu mudah dipermainkan oleh musuh-musuh Islam. Bukan karena jumlah umat Islam yang minoritas. Bukan pula sebab tiadanya orang-orang yang menghafal al-Qur`an atau orang yang paham agama. Bahkan setiap tahun, ribuan sarjana Muslim lahir dari ratusan perguruan tinggi Islam yang tersebar di berbagai daerah.

Lalu apa yang menyebabkan umat Islam begitu terpuruk? Tak lain jawabannya adalah perbedaan pola interaksi dengan al-Qur`an. Jujur, hari ini kita lebih asyik dengan fitur-fitur menarik handphone daripada membuka lembaran mushaf al-Qur`an. Jujur, waktu kita lebih banyak dilalaikan dengan sesuatu yang tidak bermanfaat daripada membuka mushaf al-Qur`an. Jujur, kalaupun kita membacanya, maka bacaan tersebut belum mampu menghunjam ke dalam jiwa, layaknya seorang Bilal yang bangkit dari keterpurukan hidup sebelumnya.
Allahu al-musta’an.